•12

3.2K 344 10
                                    

" I am still the same me. the same me before here."



"Kenapa pulang selarut ini? Aku sudah menunggu dari tiga jam yang lalu. Kau kemana saja?"aku mendengus dan melotot ke arah Jimin yang menghujaniku dengan sejuta pertanyaan tidak pentingnya.

"Hey!"Jimin memegang kedua pundakku dan mensejajarkan wajah kami. "Aku capek Jim, aku mau tidur."kataku dengan nada pelan. Teramat pelan sampai-sampai Jimin harus bertanya kembali. "Kau bilang apa?"

Aku mendesah berat dan mendorong dada bidangnya perlahan. "Aku mau tidur."

Jimin melongo dan memperhatikan punggungku yang sudah hilang bersamaan dengan suara tertutupnya pintu kamar.

Kutarik selimut sampai batas leher, dan aku memiringkan posisiku menghadap lampu tidur. Tidak lama pintu kembali terbuka menampilkan sosok Jimin tengah berdiri diambang pintu dengan kedua tangan terlipat di dada. Melihat tak ada respon, Jimin menghampiriku dan duduk tepat di sampingku. Tangannya terulur, membelai lembut setiap helai rambutku dengan jari mungilnya. Aku terdiam dan Jimin menyibak selimut yang menutupi tubuhku perlahan.

"Jim.."

Dia tersenyum dan menyipitkan matanya. "Tidur saja, aku disini."bisiknya lembut masih membelai rambutku. Aku mengangguk dan menepuk sisi ranjang yang kosong, Jimin menaikkan sebelah alisnya. "Temani aku sampai tidur."kataku pelan. Jimin tertawa kecil dan segera melompat kegirangan. Dia berbaring menyamping menghadap ke arahku. "Apapun untukmu tuan putri."aku terkekeh dan memainkan kerah baju Jimin. Jimin memegang tanganku dan membuka kancing bajunya. Sontak aku melotot dan Jimin hanya menaikkan kedua bahunya, "Siapa tahu kau sedang ingin dihangatkan?"guraunya dengan nada nakal. Aku mencubit perutnya dan dia meringis. "Oke oke maaf?"

"Hm."gumamku malas seraya mendekap tubuh Jimin. "Aku peluk bentar ya?"kataku meminta izin. Jimin dengan senang hati mengangguk dan merentangkan tangannya. Mendekapku erat dan mencium keningku. Aku merasa teramat kantuk terlebih lagi Jimin menyanyikanku sebuah lagu. Suaranya yang lembut dan jernih membuatku tak kuasa menahan mata untuk terpejam.

Di lirik itu, Jimin seolah bilang padaku. "In my imagination, you're with me. We'll be everything i want us to be."

Di dalam khayalanku, kau bersamaku. Kita akan menjadi apapun yang aku inginkan.

Aku mendongak dan menatapnya bingung.

"Kenapa kau nyanyikan itu?"tanyaku

Jimin mengerutkan dahi dan melepas pelukannya. "Kenapa memangnya? Tidak enak ya?"

Aku menggeleng, "Bukan begitu, tapi liriknya-"

Jimin manggut-manggut dan membenahi posisi. Dia menyenderkan bahu di pembatas kasur sambil masih menatapku. "Oh itu, aku suka saja liriknya. Memangnya kenapa? Jangan bilang, kau berpikir itu untukmu?"

Aku hampir saja tersedak dan gila. Ku lambaikan tanganku di depan Jimin yang justru tertawa. "Aku bencanda kok. Udah sana, tidur lagi."guraunya konyol. Aku menarik selimut dan memejamkan mata. Aroma vanilla dari tubuh Jimin bisa membuatku hilang kendali kalau aku tidak membalikkan badan dan membelakangi tubuhnya. Aroma vanilla yang terlalu kuat dan membuat mabuk siapa saja yang mencium. Jimin melingkarkan lengannya di pinggangku. "Aku harap kita bisa seperti ini terus."


Aroma wangi kopi membuatku bangun segera. Aku berjalan ke dapur dan melihat Jimin tengah duduk di meja bar dengan dua gelas kopi yang masih panas dan mengeluarkan kepulan asap. Dia tersenyum saat melihatku berjalan ke arahnya.

STIGMA  حيث تعيش القصص. اكتشف الآن