•30

3.6K 264 14
                                    

2 bulan setelah itu,

"Selamat datang, silahkan pesanan anda."seruku sambil meletakkan segelas kopi di atas meja pelanggan nomor tiga. Aku membungkuk ramah saat seorang pelanggan baru, masuk dari balik pintu dan duduk. Ku lirik teman kerjaku dan memintanya untuk melayani pelanggan itu dengan gerakan mataku.

Aku tersenyum kembali pada orang yang baru saja ku layani dan kembali ke meja kasir.

Dua bulan sudah berlalu. Keadaanku tidak ada bedanya dengan yang dulu. Aku masih bekerja di cafe sebagai pelayan tetap. Melanjutkan kuliah yang semakin sibuk. Pulang ke apartement dan tidur hanya empat jam, setelah itu aku kembali menyibukkan diri dengan jadwal yang padat. Semua itu ku lakukan untuk melupakan rasa sakitku. Semata-mata ku lakukan untuk diriku sendiri. Untuk kesembuhanku.

Jimin?

dia sudah pergi. Sebulan yang lalu, Jimin datang ke apartementku.

Saat itu ..

"Pergilah, Jim. Aku tidak mau melihatmu lagi."Cetusku pada Jimin. Dia menyentuh tanganku. Menerobos masuk dan mendudukkan ku di sofa biasa kami duduk sambil bergurau. Tapi kali ini suasananya berbeda. Tidak sehangat dulu saat aku dan Jimin masih bersikap biasa saja.

Ku dengar Jimin mendengus di sampingku.

"Aku akan pergi ke London besok."

Aku menoleh dan mendapati sepasang mata sendu milik Jimin.

"...dengan Seulgi."lanjutnya

Hatiku mencelos saat nama itu keluar dari bibirnya. Ku tatap nanar matanya yang juga menatapku sedih.

Aku membuang muka. Mengalihkan pandanganku, mencoba mengabaikan perkataannya yang menyakitkan.

Jimin mengambil tanganku dan menggenggamnya. sebuah belaian lembut ku dapati dari sentuhan tangannya di kepalaku.

Jimin tersenyum. Senyum manis yang menyiratkan sesuatu dari dalamnya.

Sebuah senyuman yang mengatakan bahwa Jimin tidak akan kembali.

"Aku tidak mau, saat aku pergi ke London nanti, kau masih memiliki dendam padaku. Jadi, aku datang kesini untuk meminta maaf. Aku tahu yang ku lakukan salah. Kau pantas membenciku. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud demikian."

Aku tidak kuat lagi, mataku sudah tidak kuat menahan banyaknya jumlah air mata yang membendung mataku. Jimin mengusap pipiku, menghapusnya lembut dan memberi sebuah kecupan sayang disana.

"Ku harap ini yang terbaik. Kau harus bisa menemukan orang yang lebih baik dariku. Aku tahu kau dan Taehyung saling mencintai. Kalau kalian masih memiliki rasa yang sama, percayalah kemanapun kau pergi, dimanapun itu, Taehyung akan jadi milikmu."

Tangisku semakin pecah. Seperti derasnya hujan. Banjir seolah tidak mempan mengobatinya. Sebuah pelukan terakhir dia berikan. Jimin mengusap lembut punggungku. Seperti yang biasa dia lakukan dulu, dikala aku membutuhkan pelukan. Jimin selalu ada disana. Dia adalah malaikatku. Aku merasa begitu berdosa karena sempat membencinya.

"Jim... aku minta maaf.. aku egois. aku.."

"Sstttt, it's okay. Manusia tidak selalu berbuat benar, terkadang mereka melakukan kesalahan untuk membuat diri mereka menjadi lebih baik lagi kedepannya. Aku sudah melewati fase itu karena kau. Jadi, jangan menangis."

Ku gelengkan kepalaku kecil. Ku peluk tubuhnya erat. Perasaan takut kehilangan Jimin menggerogoti jiwaku sampai tidak terkira.

Aku begitu jahat. aku jahat pada Jimin. Aku benci diriku sendiri.

STIGMA  Where stories live. Discover now