3

7K 464 4
                                    

Jasmine tengah memasukkan sisa tumis buncis udang makan malamnya ke wadah lalu menyimpannya di dalam kulkas untuk dihangatkan besok pagi. Serta perkedel dan dadar jagungnya. Saat ia melirik suaminya –Vano tengah hilir mudik membawa barang-barang entah sedang apa.

"Lagi ngapain?" tanya Jasmine mengelap tangannya. Vano nampak sibuk membersihkan kamar kedua yang dijadikan gudang itu.

"Bersihin kamar ini. Sayang kan klo jadi gudang. Sempet bersihinnya baru malem gini habis pulang kerja." ujarnya.

"Aku bantu ya?"

"Nggak usah. Kamu nonton tv aja sana. Nanti kamu capek."

Jasmine tersenyum lembut. Meraih gagang sapu dan menyapu kamar yang semula penuh dengan kardus menjadi lowong karena sudah dipindahkan.

"Jasmine!" tegur Vano.

"Aku cuman hamil, Van. Bukan cacat. Klo nyapu doang nggak capek kali."

"Aku bisa bersihin ini sendiri kok."

"Berdua lebih cepet kan. Emang mau jadiin apa kamar ini?" tanya Jasmine seraya menyapu. Vano menghembuskan nafasnya, meskipun wajah cemasnya masih terpatri tapi ia membiarkan saja Jasmine bergerak kecil seperti itu. Kata dokter juga bagus untuk kandungannya. Ia melanjutkan untuk mengambil beberapa kardus.

"Ya kamar tidur juga. Klo udah bersih, aku nanti yang tidur disini." jawaban itu sontak membuat Jasmine menoleh cepat.

"Kenapa?" tanyanya tak rela. Ditatapnya Vano dengan serius, tapi lelaki itu tidak membalas tatapannya. Masih sibuk dengan memilah-milah barang.

"Aku tau kok...klo kamu nggak mau tidur sama aku. Maksudnya...seranjang. Lagian tidur dikarpet bikin punggungku nyeri klo bangun. Makanya aku mau pasang kasur juga disini."

Hati Jasmine mencelos mendengar kata-kata Vano. Dia mencoba membohongi diri sendiri, kalau ia tidak salah. Padahal Vano sudah menghargai perasaannya, kenapa dia tak bisa berbuat sama sepertinya?

"Katanya...kamu bakal ada disamping...aku.." parau Jasmine pelan tapi masih bisa ditangkap Vano. Lelaki itu mendekat, mengusap puncak kepala Jasmine seperti dulu ketika mereka masih menjadi teman dekat. Rindunya, sudah lama sekali Vano tak mengusap pucuk kepala Jasmine.

"Aku disamping kamu kok, Jasmine. Cuman sebelah kamar ini. Klo ada apa-apa aku masih bisa denger." tenang Vano dengan senyum teduh. Jasmine memberengut lucu dan menggemaskan. Meletakkan sapunya dan menunduk.

"Kasurku..muat kok buat dua orang. Kenapa harus tidur disini? Kamu...bisa tidur sama aku...Dari awal, aku nggak pernah bilang nggak mau. Kamu aja yang langsung ngasumsi kaya gitu. Milih tidur dikarpet sendiri. Aku istrimu, Van. Mau gimanapun, aku juga ingin bersikap baik...sama kamu. Bukan menganak tirikan hanya karena kita...menikah karena kamu berusaha menutupi aibku."

Selepas celotehan panjangnya yang tersendat-sendat itu keluar, Jasmine hendak pergi ketika Vano mencekal tangannya.

"Jas..." Jasmine mengoyak pelan cengkraman Vano dan memilih masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Vano yang terkejut akan kata-katanya. Lelaki itu menutup mukanya dengan kedua tangan. Tak menyangka jika anggapan Jasmine seperti itu. Dia tidak ingat bahwa selama ini Jasmine berusaha bersikap sebagaimana layaknya seorang istri sebenarnya. Tapi jangan salahkan Vano juga jika dia berpikir begitu selama ini. Vano hanya takut kalau Jasmine risih padanya ketika mereka akan tidur bersama dalam satu ranjang. Lebih baik mengundurkan diri sebelum ditolak. Karena rasanya amat sakit.

***

Vano membuka pintu kamar perlahan-lahan dan mendapati Jasmine sudah berbaring menghadap tembok memunggunginya. Vano mengulum senyum. Ia masuk dan mematikan lampu. Karpet yang biasa ia pakai untuk tidur selama beberapa minggu ini ia tinggalkan. Dia memilih untuk mengiyakan perkataan Jasmine. Istrinya. Berbaring di sisi kosong disebelah Jasmine.

Dengan gerakan kaku takut menyentuh setiap inci tubuh Jasmine, Vano berbaring terlentang. Walaupun kakinya masuk ke dalam satu selimut yang sama dengan Jasmine, akan selalu ada jarak diantara mereka. Vano menatap langit-langit atap kamar yang kusam.

"Sudah tidur?" tanya Vano melirik kecil pada Jasmine. Tubuh mungil itu tak bergeming. Vano kembali dalam lamunannya. Tak tahu bahwa dari posisinya, Jasmine masih membuka mata. Meresapi kenyamanan hangat ketika Vano disampingnya persis.

Saat Vano hendak memejamkan mata, ia mendengar samar suara mendayu milih Jasmine.

"Cuman ini...yang bisa kulakukan buat menebus balas budiku sama kamu, Vano... Aku akan nyoba buatjadi istri yang baik. Nggak akan acuh sama kamu."

Balas budi. Kalimat yang cantik jika seseorang ingin menebus kebaikan seseorang. Tapi entah kenapa rasanya bagi Vano terasa amat hampa.

"Aku ikhlas kok, Jas. Aku nggak mengharapkan imbalan." bisik Vano menyambut omongan Jasmine. Sedikit berbohong karena jelas Vano ingin imbalan tersebut. Yaitu cinta Jasmine padanya.

"Aku juga ikhlas, Vano. Sekarang kamu suamiku. Sampai suatu hari...kita selesai. Kamu bahagia sama wanita pujaanmu, dan aku akan membawa anak ini."

Dan hati Vano hancur berkeping-keping.

***

ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now