4

6.7K 420 1
                                    

Mobil tua Vano berhenti dipelataran kantor asuransi tempat Jasmine bekerja. Jasmine melepas sabuk pengamannya, dan segera meraih tangan suaminya untuk dicium patuh. Hal-hal kecil seperti ini sudah biasa terjadi selama sebulan mereka menikah. Rumah tangga mereka berjalan normal, meskipun tak ada adegan intim, sedikit berjarak, dan kurang adanya cinta. Terutama dari pihak Jasmine. Tapi mendapat perlakuan bakti Jasmine kepadanya, Vano merasa sudah cukup untuk membuat harinya tentram.

"Aku kerja dulu ya." pamit Jasmine tersenyum lembut. Vano mengangguk dan mengusap puncak rambut Jasmine sayang.

"Have a nice day."

Jasmine terkekeh dan keluar menuju kantor.

Ketika Jasmine hendak memencet tombol lift, dirinya harus kecewa karena baru saja membaca sebuah kertas ditempel di pintu lift dengan penjelasan bahwa lift sedang rusak. Wanita itu melirik tangga darurat lalu beralih ke perutnya yang sekarang cukup dikatakan menggembung maju. Diusapnya perut itu khawatir. Menimbang-nimbang apa sebaiknya dia menunggu lift berfungsi lagi atau menaiki tangga ke lantai lima. Dipikir-pikir, sampai kapan dia akan menunggu lift menyala. Bisa-bisa absennya merah.

Akhirnya Jasmine memutuskan untuk menaiki tangga seperti para karyawan lain. Dengan heels tujuh centi yang kata Vano mirip pensil runcing, dan anak di dalam perutnya, perlahan Jasmine menapaki satu persatu anak tangga. Dua lantai terlewati dan dia merasa masih baik-baik saja. Sejenak ia beristirahat, lalu kembali mendaki. Hampir menuju lantai lima, nafasnya mulai tersengal. Keringat deras juga mengucur. Betisnya nyut-nyutan, dan sedikit pening. Sampai ke lantai tujuannya, Jasmine tersenyum lega.

Lihat, tak terjadi apa-apa. Jasmine mengusap perutnya, merasa bangga karena anaknya cukup kuat untuk diajak beraktivitas berat. Tapi saat ia membuka pintu ruangan kerjanya, Jasmine merasakan denyutan sakit timbul di perutnya. Perih nan ngilu.

"Aahh..aahhh...sakittt..." erang Jasmine memegangi perutnya dan pusing. Jasmine meraih dinding terdekat untuk dibuatnya pegangan. Ketika rasa nyeri itu bertambah tinggi volumenya hingga tanpa sadar Jasmine menangis menahan sakit dan tak bisa apa-apa.

"Lho, mbak Jasmine? Mbak Jasmine kenapa??Mbaakkk...mbaaaakkk..."

Jasmine melihat kabur bayangan seseorang yang mendekat padanya dan merasa amat bersyukur ada satu utusan Tuhan untuk datang menolongnya. Lalu semuanya gelap dipandangannya.

***

Vano meraih jemari Jasmine yang kulitnya mendingin. Digenggamnya erat seraya berdoa kepada Tuhan. Vano merapikan sulur rambut si cantik bermuka pucat itu dengan sabar. Ketika ia tengah mengajar pagi ini, tiba-tiba nama Jasmine muncul diponselnya. Dan ketika yang menelpon Vano bukanlah suara istrinya, melainkan rekan kerja Jasmine dan mengabari kalau Jasmine pingsan, Vano langsung berlari dan ngebut.

Kelelahan saat janin masih rentan. Itu kata dokter. Adela, si penolong inilah mengatakan bahwa lift kantor rusak dan semua karyawan harus naik tangga tak terkecuali Jasmine. Dan itulah penyebabnya. Vano berucap syukur ratusan kali, walaupun Jasmine sempat pingsan dan perutnya mengalami perjuangan hidup dan mati, Tuhan melindungi mereka. Jasmine tertidur karena lelah dan bayinya selamat.

"Maafkan aku...Jasmine. Maafkan aku...Bangunlah..." rintih Vano sedih melihat bibir itu memutih. Dan Tuhan memang Maha baik, permintaan Vano dikabulkan.

"Vano..." sebutnya pertama kali dengan suara parau dan mata berat terbuka. Jasmine terbangun memang karena mendengar suara doa Vano. Lelaki itu terhenyak, tak lama kemudian mendekatkan wajahnya pada Jasmine.

"Jas, akhirnya kamu bangun. Ada yang sakit? Mau minum?" tanya Vano kelabakan membuat Jasmine terpaksa harus mengingat kembali memorinya hingga ia sampai di ruangan serba hijau muda yang ia rasa bukan kamarnya.

"Ah...anak...anakku..." sentak Jasmine ketakutan dan menyentuh perutnya. Kelegaan membanjiri hati Jasmine tatkala merasakan bukit perutnya masih utuh, dan Vano tersenyum hangat sekaligus lelah.

"Dia baik disini. Masih baik. Tapi kata dokter, kamu nggak boleh capek-capek. Dia masih kecil, Jas. Sekali kamu pingsan kaya tadi, mungkin dia nggak akan hidup."

Peringatan Vano cukup membuat Jasmine waspada. Dia mengangguk mantap dan menahan tangis. Anaknya selamat. Itu saja tak ada yang lain. Dan Jasmine harus benar-benar menjaga kondisinya supaya tak akan lagi terulang kecelakaan seperti pagi tadi. Diusapnya perut itu dengan sayang. Bayi yang dulu pernah membuat Jasmine risih, sekarang ia akan menangis darah jika itu pergi.

"Maaf, Vano." ujar Jasmine lirih menyadari kesalahannya. Vano menggeleng menenangkan istrinya. Diusapnya kepalanya dengan manis, menguatkan Jasmine.

"Aku yang minta maaf sama kamu, Jas. Aku...hampir gagal jagain kamu sama dia."

"Kamu lebih dari itu, Vano. Kamu slalu ada buat aku. Aku yang keterlaluan. Membuat bayiku harus meregang nyawa."

"Ssshh...udah. Udah lewat. Yang penting kalian selamat. Kamu ada yang sakit?"

Meskipun Jasmine merasa perih di bagian tungkai kakinya, tapi Jasmine tak merasakannya karena perhatian Vano dapat menutupi semua rasa sakit itu. Termasuk rasa sakit yang pernah Ian buat.

***

ETERNAL LOVEOù les histoires vivent. Découvrez maintenant