27

5.4K 359 58
                                    

Vano pulang sedikit terlambat. Karena ada rapat dewan di kampus. Dia baru bisa keluar dari sana pukul setengah enam sore dan sampai rumah jam enam ketika dia melihat mobil familiar berhenti di pelataran parkirnya. Dia hanya menatap kosong mobil itu dan tanpa sadar mencengkram erat gagang setir, lalu keluar dengan hati yang kacau.

Benar saja, pemilik mobil itu seperti biasa sudah berada di dalam. Bermain bersama Hana. Di tambah pemandangan asing bagi Vano. Istrinya menemani Ian. Bahkan Jasmine ikut tersenyum melihat Hana menjambak rambut Ian keisengan.

Merasa ada sosok yang muncul, ketiganya menoleh. Hana berseru melihat ayahnya sudah pulang. Ian tersenyum ramah dan Jasmine melebarkan bola matanya.

"Sudah pulang? Telat banget." katanya tanpa beranjak dari sofa. Bagi Vano, terlihat Jasmine enggan untuk stop bermain dengan Hana dan Ian. Membuat Vano nyeri di hati. Seperti ada yang menusuk tapi Vano tak bisa mengenyahkan jarum-jarum itu.

"Hm. Aku masuk dulu." balas Vano dingin dan segera berlalu. Tidak ingin memandang istri yang sedang bernostalgia dengan mantan kekasih. Dia memasuki kamar kerja dan menutup pintunya. Sesuatu yang aneh menghinggapi hati Jasmine. Vano sedikit tidak ramah. Mengapa?

Dilihatnya Ian yang juga membalas tatapan Jasmine dengan tatapan bertanya. Mungkin lelaki itu juga merasakan kalau Vano nampak lain dari biasanya.

"Aku masuk dulu." pamit Jasmine bangkit.

"Oke. Aku sama Hana."

Jasmine mengetuk pintu ruang kerja Vano dua kali lalu membukanya. Tersenyum kecil seraya masuk saat Vano melepas dasi, memunggunginya.

"Ayah sudah makan?"

"Hm."

"Mau direbusin air hangat buat mandi?"

"Nggak usah." Vano menghela nafas dan melepas kemejanya. Membuangnya asal. Kini ia tinggal memakai kaus putih dan duduk di meja kerja membongkar isi tas. Kening Jasmine berkerut bingung, sesuatu telah mengusik Vano merubahnya menjadi seperti ini. Wanita itu mengambil pakaian kotor Vano untuk dimasukkan ke keranjang nantinya. Dia mengamati Vano dengan diam.

"Ada masalah ya dikampus?" tanya Jasmine hati-hati. Dan jawaban Vano hanya gelengan. Jasmine melengos lesu. Suaminya itu memasang mode tak ingin diganggu. Dilihat dari detik ini ia sudah berkutat dengan laptop maupun laporan-laporan segunung. Akhirnya Jasmine menyerah dan hendak keluar, menunggu sampai malam tiba mungkin Vano akan siap berbagi di ranjang. Tapi ketika ia memutar kenop pintu, barulah suaminya itu bicara.

"Lain kali kalau aku belum pulang, jangan terima tamu sembarangan buat masuk. Apalagi kalau laki-laki. Bisa timbul fitnah."

Bak balok-balok es tak kasat mata jatuh menghujani tubuh Jasmine membuat wanita itu menggigil akan nada dingin Vano dari belakang. Secepat kilat dia menoleh, mendapati Vano sudah memandangnya dengan pandangan amat tidak suka. Pancaran mata yang pernah Jasmine lihat ketika Ian datang pertama kali untuk menemui mereka.

"Apa?"

"Gimana kalau terjadi sesuatu? Nggak ada aku kan? Terus jadi omongan orang. Itu nggak pantes." tegur Vano sungguh-sungguh. Jasmine sungguh tak bisa percaya. Benarkah yang bicara seperti ini adalah Vano? Kerasukan setan mana Vano sampai dia bisa tak abai akan masalah kecil seperti itu?

"Memang kenapa? Apa peduliku mau dijadikan omongan orang? Dan kenapa mesti takut sekarang kalau dari dulu, sejak kita pindah, kita selalu dibicarakan semua orang yang deket sama kita? Kenapa, Van, kenapa?! Kenapa kamu baru ngomong sekarang?!" emosi mulai meluapi ubun-ubun Jasmine yang tersingguh akan ucapan Vano. Merasa dilawan, Vano berdiri dan menatap nyalang pada Jasmine.

ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now