9

6.1K 451 10
                                    

Telpon berdering di suatu sore. Jasmine tergopoh-gopoh untuk menyambut gerangan si penelpon.

"Halo?"

"Jas, ini mama." Sebut penelpon dari sebrang sana membuat Jasmine terdiam sejenak. Cukup terkejut karena mamanya yang menghubungi dia duluan.

"Ya ma?"

"Inget acara tujuh bulanan nggak kamu?"

"Iya aku inget kok. Aku juga udah bikin list yang mau aku beli."

"Acaranya dirumah mama aja ya, sayang. Papamu suka sakit tangannya, kolesterol jadi susah nyetir. Nanti mama bantu."

Jasmine memijat puncak hidungnya merasakan sedikit pening. Bukan karena berat bayinya yang sudah hampir berumur tujuh bulan, tapi karena tak tahu harus menanggapi permintaan mama.

"Nanti aku bilang Vano dulu deh." Jasmine mendengar mamanya mendengus meskipun Jasmine tak bisa melihatnya.

"Dia harus setujulah. Ini buat anaknya kok. Bilang sama dia jangan pelit-pelit mau jadi ayah..."

"Ma!" tegur Jasmine kesal dan tak terima suaminya diolok seperti itu. Memang, mama Jasmine begitu sensi dengan Vano. Untungnya Vano lelaki dan cenderung cuek.

"Mama cuman kasih tau, Jas. Bener kan ini semua buat 'anaknya'!" sindir mama lagi.

"Udah dulu, ma. Jasmine mau masak." Jasmine hampir melempar telpon rumahnya jauh-jauh.

***

Sesuai kesepakatan, akhirnya Jasmine harus kembali ke rumah ibunya di tengah kota. Untuk mempersiapkan dan merayakan acara tujuh bulanan Jasmine. Maka dari itu Jasmine dan Vano menginap selama weekend ini.

"Mama nanti juga undang ibu-ibu dua blok dari sini. Terus pakde Yanto, bude Sri,tante Mila,keluarga Bian. Udah aku sms katanya mau kok jauh-jauh dari Solo kesini."

Jasmine diam saja. Mengaduk-aduk makan malamnya tak selera karena ucapan angkuh mama. Suaminya sendiri hanya sibuk menghabiskan makanan dan menyimak apapun yang dikatakan mertuanya dengan senyum canggung.

"Meriah banget." celetuk papa Jasmine meminum air putih.

"Nggak usah berlebihan, ma." kata Jasmine lebih dari sekedar usul. Demi Tuhan ini bukan acara anak raja. Mamanya malah memasang tampang tak suka.

"Nggak berlebihan kok. Mama cuman nggak enak aja sama semuanya, kan biasanya klo mereka ada acara ya ngundang mama. Jadi, Vano. Butuh biaya banyak lho, undangan, dekorasi, catering. Mama nggak mau masakin. Mama capek. Pilih yang praktis aja."

Vano sekuat tenaga tidak mengeluh atau menampilkan senyum pahit mendapat sindiran pedas dari ibu Jasmine. Dia sudah menebak akan begini jadinya jika dia bertemu dengan beliau. Ketidaksukaan mertua wanitanya itu cukup melelahkan, sang ibu seperti tak akan pernah memaafkan Vano atas perbuatannya yang berani menghamili putrinya duluan tanpa izin dan restu.

Yang bisa dilakukan Vano hanya tersenyum mengangguk dan meminum banyak air putih untuk meredakan tenggorokannya.

"Ya, ma. Vano udah punya tabungan kok."

Sang mama tersenyum mengejek. "Brapa kira-kira, Vano?"

PRANG!!

Cukup sudah. Jasmine tak kuat lagi. Ia membanting sendoknya sampai benda perak itu berdenting nyaring dengan piring membuat semua orang disitu kaget.

"Klo suamiku yang nanggung semuanya, Mama nggak berhak nentuin acaraku. Karena itu haknya Vano sama aku!"

Vano mencoba menarik tangan istrinya, tapi terlambat. Jasmine sudah menjauh dan masuk ke kamar dengan pintu nyaris terbanting.

***

Saat Vano masuk kamar, dia mendapati Jasmine duduk murung di sofa yang menghadap ke jendela. Menampakkan halaman belakang yang asri hasil kerja kerasnya dulu dengan Mama ketika masih lajang. Vano mengamati lamat-lamat kamar muda Jasmine yang di dominasi warna kuning. Lalu tersenyum kecil. Tak meragukan pilihannya saat dulu sekali pernah memberikan hadiah pertama kali berupa mawar kuning untuk Jasmine sebagai ucapan selamat tinggal ketika Vano akan berkuliah post graduate.

"Hei."

Jasmine tersenyum lemah dan bersandar pada badan Vano. Lelaki itu mengusap kedua bahunya lembut dan memeluknya dari belakang penuh sayang.

"Jangan ngambekan."

"Aku nggak ngambek! Aku cuman kesel sama mama." kilah Jasmine membela diri sendiri.

"Mama kamu kan cuman pengen acara kita nanti jadi meriah."

"Aku nggak mau acara besar, Van. Aku cuman pengen pesta kecil, penuh makna dan sakral. Nggak perlu lebay ngundang hampir semua sodara jauh. Dan aku benci cara mama nyindir kamu, nyuruh-nyuruh kamu tanggung semuanya tapi mama yang nentuin. Emang kamu apa? ATM berjalan?!"

Jasmine nampak bersungut-sungut membuat Vano terkekeh dan merasa tersanjung. Ya, dia tak bohong kalau Vano cukup sakit hati dihina ibu mertuanya seakan dirinya hanya pegawai bergaji rendah enam digit saja. Dilihat dari rumah kontrakan yang kecil, mobil lawas hampir mogok, tak pernah mendapati Jasmine menenteng tas hermes atau mengenakan dress Herve Leger , pasti membuat ibunya sangsi akan kebahagiaan rumah tangga mereka.

"Nggak papalah. Nggak ada salahnya juga sekali-sekali bikin acara kaya gini, buat anak kita." bujuk Vano mengusap bahu Jasmine lagi. Tapi wanita itu masih berwajah masam.

"Enggak. Pesta kecil aja. Aku nggak mau. Klo kamu nurutin mama, aku juga ngambek sama kamu ntar."

Vano kicep. Dia menggeleng kuat dan berjanji akan menuruti apapun kata istrinya.

"Aku mau undang ayah ibu kamu juga. Terus kak Sinta apa bisa dateng?" tanya Jasmine mulai melunak, membalas pelukan hangat Vano. Vano nampak berpikir.

"Aku telpon dulu deh besok. Toh dia juga udah setengah tahun nggak pulang."

Jasmine tersenyum manis dan menyerukkan wajahnya di dada bidang Vano yang beberapa bulan ini tempat ternyaman baginya untuk tidur.

***


A/N : part depan diprivate acak yaa ^^ bukan karena ngemis folower, tapi karena sedikit berkonten dewasa jadi harus diprivate

ETERNAL LOVEOnde histórias criam vida. Descubra agora