12

5.8K 418 7
                                    

"Ian..aku...hamil..."

"Sungguhan?"

"Ya. Liat dua garis tespack itu. Tandanya positif. Anak kita, Ian."

"Nggak...nggak..Jas.."

"Apa?"

"Aku belum siap. Aku sama kamu masih muda. Gimana mau punya bayi?"

"Siap? Kita nggak akan pernah siap. Semua orang tua nggak ada yang siap, Ian. Tapi ketika kita mencoba, kita akan bisa melakukannya sama seperti layaknya orang tua. Kamu sama aku..."

"Gugurkan janin itu!"

"Ap..apa?"

"Gugurin, Jas. Aku belum mau nikahin kamu. Jadi suami teladan, nyebokin anak, bikinin dia susu. Aku masih pengen nikmatin masa mudaku."

"Kamu sinting,Ian! Ini anak kandung kamu. Dan aku nggak akan pernah ngunci kamu dimenara cuman karena kamu masih pengen seneng-seneng. Kamu masih bisa main sama temen kamu. Tapi ini anak kita...Ian. Dia punya ayah sama ibunya..."

"Aku bakal cari kenalan masukin kamu ke klinik aborsi. Atau klo kamu nggak mau, aku bisa cari obat penggugur dimanapun."

"Ian, aku nggak mau gugurin anak ini!"

"Itu masih janin, Jas!! Dia belum hidup! Masih berupa kacang kecil merepotkan!! Selagi dia belum bernyawa, kita akan gugurkan! Kita nggak dosa, dan kita masih bisa seneng-seneng."

"Nggak!! Enggak!!! Ini anak kamu...anak akuu!!"

"Gugurkan atau aku pergi dari kamu!"

"Yan..huh..huh...Yan..nggak..."

Vano terbangun ketika mendengar erangan dan ranjang sebelah yang bergerak-gerak gelisah mengenainya. Malam masih larut, dan Jasmine masih tertidur. Tapi dengan keringat membanjiri tubuhnya, dan dia melenguh. Vano tersadar sepenuhnya.

"Ian!! Iaann..!!"

Dan jantung Vano berhenti. Kantuknya hilang dan hatinya kebas. Mendengar Jasmine dalam tidurnya memimpikan kekasih lampaunya, Bastian,Ian. Dan dari situlah Vano tersadar. Vano tak pernah ada disudut hati Jasmine sampai kapanpun dan sekeras apapun Vano berusaha.

"Jasmine. Bangun. Hei, kamu cuman mimpi. Jas...nggak papa, ini aku, Vano."

Jasmine tersentak bangun. Matanya terbuka lebar dengan nafas tersengal. Dilihatnya Vano yang nampak cemas memeganginya.

"Aku..aku.."

"Nggak papa. Kamu cuman mimpi buruk. Mau minum dulu?"

Jasmine tak menjawab pertanyaan Vano, dia malah bangun dan pergi keluar untuk ke kamar mandi. Meninggalkan Vano yang terpekur diam dengan seribu perasaan sakitnya.

Sementara Jasmine ketakutan. Ia membasuh mukanya dengan air dingin sampai merasakan si kecil ikut terbangun di dalam perut. Merasakan juga rasa takut itu. Setelah sekian lama, Jasmine memimpikan Ian. Dimana suatu kondisi yang Jasmine tak ingin mengingatnya. Ian menyuruhnya untuk menggugurkan bayinya. Saat ia merasa jatuh di titik paling rendah hidupnya.

Jasmine membenci Ian sepenuhnya.

***

Sejak malam itu, terciptalah dinding beku tak kasat mata. Antara Vano dan Jasmine. Mungkin Jasmine masih melayani Vano, menyiapkan pakaiannya, memasak makanannya, dan menyeduh kopi untuk suaminya. Vano juga masih selalu mengingatkan Jasmine untuk minum susu, dan memotongkan buah untuknya. Tapi komunikasi mereka mendingin. Singkat dan acuh. Vano dengan patah hatinya karena menganggap Jasmine merindukan kekasihnya itu, sementara Jasmine yang berusaha tegar ketika semakin hari menghadapi kenyataan kalau sewaktu-waktu Vano akan meninggalkan kehidupannya karena Vano tak benar-benar menyayangi dia setulus hati.

Seperti pagi ini. Vano dan Jasmine sarapan dalam diam. Tak ada ocehan lucu Jasmine bercerita mengenai tetangga sebelah, ataupun Vano yang berkeluh kesah tentang mahasiswanya yang bandel bukan main. Tak ada lagi usapan lembut, senyuman hangat, pelukan kecil di antara mereka. Tak ada dan rasanya hampa.

Lalu sorenya, mereka sama-sama menonton tv. Hanya saja duduk dengan jarak yang jauh. Jasmine menatap layar televisi kosong. Dia merindukan Vano yang memeluknya spontan. Tapi sepertinya Vano berhenti melakukan itu lagi.

"Hari Jumat aku harus ke Jogja, Jas. Pulang Minggu sore." suara Vano memecah lamunan sedih Jasmine.

"Jogja? Ngapain?"

"Nemenin mahasiswaku sayembara disana. Aku ditunjuk jadi dosen pembimbing. Kamu nginep dirumah mama aja ya?" saran Vano dengan muka cemas.

"Ngapain? Aku disini aja deh. Aku sendirian juga nggak papa kok."

Sekalian aku belajar hidup sendiri tanpa kamu, Van.

"Nggak papa gimana sih. Kamu udah mau lairan, aku takut kenapa-napa, Jas. Dan nggak ada aku dirumah."

"Hari H-nya kan masih lama, Van. Nggak usah khawatir. Tetangga sebelah juga ada. Nanti aku janji telpon kamu tiap waktu." jawab Jasmine dengan senyum culas menenangkan Vano bahwa tak perlu risau. Jasmine bisa mengatasinya sendiri. Lagi pula, Jasmine masih akan melahirkan seminggu lebih ke depan.

Tapi salah jika itu membuat Vano hilang gundahnya.

"Aku bakal minta izin buat nggak jadi ikut, besok."

Jasmine seketika menoleh horor.

"Kok gitu sih?! Iya iya...aku telpon mama suruh nginep disini nanti. Aku males kesananya."

Dan barulah begini Vano tenang. Dia tersenyum berterima kasih, dan bangkit berdiri. Sejenak mengelus puncak kepala Jasmine dan berlalu untuk bekerja diruangan kerjanya. Jasmine terenyuh. Dadanya bergemuruh dan ingin sekali memeluk Vano. Tapi ia tak bisa. Ia tak mau ditolak kedua kalinya. Setelah ia pernah ditolak mentah-mentah oleh Ian. Kasian hatinya, kasian juga si kecil.

***


ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now