11

6.2K 424 3
                                    

Jasmine memutari kebun belakang rumah orang tuanya dengan penasaran. Kemana perginya suaminya itu? Mendadak hilang. Hanya ada banyak saudara berpesta kebun disini. Jasmine memutuskan untuk masuk ke dalam rumah lewat dapur dan terusik sedikit saat ia mendapati ada bayangan seseorang berada di ruang tamu yang sepi. Wanita itu tersenyum ketika wajah Vano muncul dari celah rak pajangan yang berada di ruang tamu, dia hendak menghampirinya ketika mendengar obrolan suara lain.

"Kenapa, Van? Kenapa kamu terusin?" itu suara bergetar Sinta. Kakak kandung Vano. Jasmine stop melangkah.

"Klo aku nggak ngenalin Jasmine ke Ian, nggak akan gini jadinya, mbak. Aku yang salah, aku harus bertanggung jawab."

"Aku sedih liat Jasmine hancur dan tersakiti karena Ian, mbak. Dia lagi hamil dan Ian ngebuang mereka. Aku nggak tega, bahkan Jasmine hampir aborsi karena nggak kuat nanggung semuanya. Dia takut dihajar papa mamanya, omongan orang,jadi aib dan karena kehamilan itu Ian ninggalin dia."

Seketika saraf Jasmine mengejang kaku. Alih-alih diam, ia malah berlari menuju kamarnya. Ia tak mau mendengar semua pengakuan dosa Vano. Sudah cukup rasanya tahu bahwa ternyata selama ini Vano benar-benar hanya menikahinya karena kasihan pada Jasmine. Tak tega Jasmine menjadi aib bagi orang terdekatnya. Bukan karena sepenuh hati atau...suka.

Jasmine mengunci diri. Menangis tanpa suara dan hatinya sakit. Mengapa bisa sesakit ini, Tuhan? Ia tahu sejak awal pernikahan mereka hanyalah berdasarkan saling menebus dosa. Tapi ketika Jasmine mulai merasa nyaman dengan Vano, lelaki itu menerimanya, bayinya...lalu hari ini Jasmine terasa dihempaskan ke lapisan tanah yang penuh batu tajam menusuk hatinya.

Vano tak pernah menyukainya, atau menyayanginya. Jasmine hanya bertepuk sebelah tangan, dan mulai terlalu dalam. Hingga Vano memberinya ultimatum yang tak dapat ditampung sendiri.

***

Vano melirik istrinya itu yang nampak lesu. Sejak kepulangan mereka dari rumah orang tua Jasmine, wanita itu mengalami perubahan signifikan. Jasmine lebih banyak diam. Dan Vano tak mengerti ulah siapa itu. Bahkan tidur pun mulai memunggungi seperti di awal pernikahan mereka yang dingin.

"Ini." Jasmine menyodorkan satu kotak makan siang untuk Vano seperti biasa. Vano tersenyum, tapi yang disenyumi tak membalas. Malah melengos kembali membereskan meja dapur.

"Nggak mual kan pagi ini? Udah diminum vitaminnya?" tanya Vano hangat mendekat pada Jasmine seraya mengusap bahunya. Jasmine merespon dengan menggelengkan kepala pelan, membuat Vano terheran.

"Kamu kenapa, Jas?"

"Nggak papa. Pergilah nanti telat." sambung Jasmine cepat tak mau menatap mata suaminya. Semangat kehamilannya turun drastis. Ia tak sanggup menerima perlakuan baik Vano sementara dibelakang, lelaki itu mengasihani dirinya sangat.

Vano yang merasa ada yang tidak beres tapi memilih untuk diam karena tak mau kelewat batas menyentuh teritori Jasmine, hanya mengangguk. Vano kira itu alamiah dari hormon ibu hamil. Moodnya bisa naik dan turun. Sebelum meninggalkan Jasmine, dia merapikan rambut Jasmine sayang seperti yang biasa ia lakukan sebelum bekerja. Memberitahu dengan tingkahnya bahwa Jasmine tak perlu resah. Vano akan selalu mendampinginya.

"Klo mau makan apa, telpon aku ya? Nanti pulang ngajar aku beliin."

Jasmine menyembunyikan tetesan air matanya yang jatuh.

***

Sabtu pagi adalah hari yang pas untuk menghilangkan suntuk. Vano yang tahu kalau akhir-akhir ini Jasmine dalam mode buruk, iseng mengajaknya ke mall. Cuci mata. Wanita biasanya suka dimanja dengan tas, sepatu, gaun, ataupun lisptik merah mahal. Dan Vano berjanji, ketika Jasmine menginginkan suatu apa saat ini, Vano akan segera mengeluarkan kartu debitnya. Tak apa. Menyenangkan istri berkali lipat pahalanya. Bonus adek bayi menari di perutnya jadi Vano bisa sentuh.

Vano menggandeng Jasmine yang memaksakan senyum loyonya. Sebetulnya Vano ingin bertanya tapi belum berani. Biarlah Jasmine sendiri yang menceritakan masalahnya jika hatinya sudah membaik. Dikira Jasmine akan masuk ke salah satu butik pakaian wanita, tapi genggaman itu membuat Vano berhenti melangkah. Jasmine menatap intens sebuah toko bayi. Vano mengerti, tersenyum dan mengajaknya masuk.

"Kita belum prepare apa-apa ya buat si adek. Bagus-bagus disini." seru Vano menyenangkan hati Jasmine. Dia pergi sejenak untuk melihat sebuah stroller keren di depan kaca etalase. Sementara Jasmine beranjak ke rak pakaian dimana ia melihat sebuah sepatu mini berwarna merah jambu.

Jasmine tersenyum kecil dan menyentuh sepasang sepatu tersebut. Merah jambunya mengingatkan Jasmine akan bayinya yang berjenis kelamin,gadis. Dokter sudah melihatnya, dan itu memang gadis. Akan sangat sempurna sepatu ini dipakai suatu hari untuk si kecil.

Mata Jasmine berputar ke sudut lain untuk menemukan sesuatu yang lebih lucu, saat pandangannya bersiberok pada dua orang di sudut rak boneka. Sepasang suami istri tengah tertawa bersama. Perut si istri nampak menggelembung besar mirip Jasmine. Bedanya, raut muka cantik itu amatlah bersinar. Apalagi ketika suaminya, tertawa dan mengelus perutnya kegirangan. Menempelkan salah satu boneka beruang pada perut besar itu. Seolah anak mereka mendengarnya.

Mereka dikelilingi cinta. Dan sangat sangat bahagia. Tanpa mereka tahu, Jasmine sekarang memandanginya dalam. Dengan hati pilu dan iri. Memimpikan ia menikahi seseorang yang amat ia cintai-bukan karena rasa bersalah, anak dengan hasil cinta mereka juga-bukan karena takut menjadi anak haram, maupun rumah tangga yang indah-bukan karena canggung satu sama lain bak orang asing.

Mata Jasmine berkaca-kaca dan ia mundur ke belakang. Menetralkan nafasnya supaya ia tak larut dalam kesedihan ini. Bayinya bergelung membuat Jasmine sontak mengelus perutnya sedih.

Maafin bunda ya, dek. Bunda bikin kamu ikut sedih.

Lamunan Jasmine terputus saat Vano menepuk kecil pundaknya bingung. Jasmine nampak murung sambil memegangi perutnya.

"Kenapa, Jas? Perutmu sakit?"

Jasmine menampilkan senyum ikhlas. Ikhlas jika Vano suatu saat nanti akan benar-benar meninggalkannya untuk kebahagiaan Vano sendiri. Telah selesai untuk menebus dosanya.

"Si adek kayanya suka sama sepatu ini. Dia gerak-gerak gitu." ujar Jasmine menunjukkan sepatu pink kecil tadi, mengalihkan kesedihannya. Dan itu berhasil. Vano terkekeh senang.

"Manis ya sepatunya. Ya udah sini aku yang bayar. Mau beli yang lain?"

Itu dulu saja sudah cukup. Jasmine menggeleng dan mengikuti Vano menuju kasir. Merelakan garis takdir hidupnya.

***

ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now