23

5.2K 377 7
                                    

"Kasih dia kesempatan. Tuhan saja Maha memaafkan, kenapa kita nggak?"

Bisikan Vano membuat Jasmine tersenyuh sekaligus tak kuasa untuk melepas suaminya tersebut. Sehingga Jasmine terpaksa mau untuk dibimbing menuju pintu depan, dimana Vano mulai membukakan pintu rumah mereka. Dan berharap pintu maaf Jasmine terbuka lebar untuk Ian yang berdosa. Jasmine menahan nafas, pintu depan menampakkan Ian yang memasang muka putus asa. Dengan bibir membiru seperti kedinginan, dan seraya berucap pilu. Sampai Jasmine tak percaya, inikah pria rupawan yang ia cintainya dulu?

"Jasmine..." kata Ian terharu karena wanita yang ia nanti sudah mau melihatnya betul-betul. Vano menghela nafas dan semakin membuka pintu lebar-lebar.

"Masuklah." Vano mempersilahkan tapi tangan kirinya tetap memegangi Jasmine, takut wanita itu limbung atau malah berteriak. Vano melirik raut muka Jasmine yang mengeras dan menahan seluruh emosinya. Terus terang ia tidak ingin melihat Jasmine begini. Tapi Ian juga sudah melewati kehidupan yang menyedihkan, sehingga ia juga tak tega. Vano harus menjadi penengah di antara mereka. Meskipun terbesit rasa cemburu mulai menguak dan Vano hanya bisa memendamnya. Bagaimanapun, Ian pernah melakukan hubungan itu dengan istrinya. Dan Jasmine mencintai Vano karena sudah ditinggalkan Ian, seperti menjadikan Vano sebagai pelarian. Vano kecil hati.

"Jas...aku..." Ian maju selangkah dengan amat pelan mulai memasuki lantai rumahnya. Suaranya tercekat memandang mata Jasmine dengan sorot pandangan menderita. Wanita itu tak bergerak. Menatap Ian dingin.

"Kamu mau apa?" tanya Jasmine tenang namun sarat penuh tajam. Hawa beku menyelimuti, sampai lutut Ian jatuh ke lantai dan Jasmine serta Vano terhenyak mendapati Ian bersujud, bersimpuh di kaki Jasmine dengan suara kacau.

"Aku minta maaf...Sungguh ampuni aku...aku sudah melakukan kesalahan besar, Jas..." Vano yakin kalau Ian menangis dibalik tundukannya di kaki Jasmine. Sungguh diluar dugaan. Vano pikir, Ian akan mengejar Jasmine sampai ke ujung dunia agar dimaafkan. Atau setidaknya seperti dalam film picisan yang ditonton Jasmine jika sang lelaki bersalah kepada sang wanita. Mengiriminya bunga setiap hari, makanan kesukaan, atau mendendangkan musik untuk merayu. Tapi ini, Bastian si anak kaya, sejuta pesona, dan sempurna, kini hancur lalu bersimpuh meminta ampun kepada Jasmine yang sudah ia lukai.

Jasmine menatap nanar pada Ian dan berpindah pada Vano. Lelaki itu mengulum senyuman pahit. Dengan isyarat pada Jasmine untuk segera memaafkan apa kekhilafan Ian. Jasmine membisu, memberanikan diri menyentuh pundak Ian yang bergetar di bawah. Dirasakannya kakinya mulai basah. Sejujurnya, Jasmine risih.

"Ian." sebut Jasmine.

"Maafkan aku...maafkan aku,Jas...Kumohon...maafkan aku..Aku sangat menyesal..."

"Bangun!" tegas Jasmine meminta untuk Ian stop melakukan drama.

"Jasmine...kumohon..."

"Sudah cukup!!" sengit Jasmine mendorong bahu itu untuk menyingkir dan Jasmine mundur beberapa langkah dengan mata nyalang. Ian menengadah masih menampilkan wajah penuh penyesalan.

"Aku maafkan. Sudah...aku maafkan. Sekarang kamu bisa pergi." selesai dengan perkataan itu, Jasmine segera berlari menuju kamar dan mengunci pintu kamarnya untuk bersembunyi.

Vano menghirup nafas besar. Tidak menyalahkan Jasmine yang jelas merasa risih sekaligus jijik dengan permintaan maafnya Ian. Siapa yang tidak terkejut, bukan? Ian sendiri berdiri terhuyung, menyisir rambut dengan kesepuluh jarinya frustasi. Maaf memang ia dapatkan, tapi kesenjangan untuk bertemu kembali sudah ditolak oleh Jasmine.

"Van, gue..."

"Lo bisa pulang sekarang." kata Vano datar. Ian mendesah kecewa.

"Tapi, Van.."

"Udah cukup buat hari ini, Yan. Hargai batasan Jasmine. Gimanapun dia pernah hancur karena lo." terang Vano dengan sabar.

"Gue tahu...gue tahu..." balas Ian menerawang tersenyum pilu. Membuat Vano sedikit iba.

"Besok, gue boleh ke sini lagi kan?" izin Ian berharap besar pada Vano. Yang seketika membuat Vano merasa cemas. Vano tahu makna perkataan Ian. Vano tahu kalau Ian ingin berjumpa dengan anaknya. Dia tak mengangguk, tak juga menggeleng. Hanya membuka pintu semakin lebar.

"Pulanglah."

Vano menatap punggung Ian yang berjalan lesu menuju jalanan yang mulai gelap.

***

"bu..bu..." Hana mengacung-acungkan botol susunya kepada Jasmine yang langsung tersentak dari lamunan. Jasmine tergagu sebentar, lalu menghela nafas sebelum menggendong Hana.

"Hana mau susu?" tanyanya lembut.

"Cucu buu..."

"Ayo kita bikin susu." Setelah membuatkan Hana susu dan gadis kecil itu mengenyot puas minumannya, nampak si cantik mulai mengantuk di gendongan ibunya. Kepalanya terkulai di bahu Jasmine seraya ibunya menepuk-nepuk pantat menggemaskan Hana dengan sayang.

"Hana bobok...ooh Hana bobok..." Jasmine menyanyikan lagu nina bobo versi Hana dengan pelan dan lembut. Membuat Hana semakin memejamkan mata dan tidur.

Sementara dari ruangan lain, Vano melihat semua itu. Sejak Jasmine terdiam merenung memandang televisi dengan pandangan kosong. Mengikuti kemana Hana melangkah dan berperilaku posesif. Entah tebakan Vano benar, Jasmine melakukan tindakan defensif dan menutup diri semenjak Ian muncul kemarin. Vano bangkit dari kursi kerjanya dan mendekati istrinya tersebut. Tersenyum hangat.

"Sini, biar ayah yang tidurin." katanya membuka kedua tangan. Tapi yang mengejutkan, Jasmine melonjak akan suara kecil Vano dan langsung mundur. Menatap suaminya itu dengan pandangan takut. Demi Tuhan, itu hanya Vano.

"Nggak usah. Aku aja." jawab Jasmine datar lalu masuk ke dalam kamar. Jasmine seolah linglung dengan sekitarnya dan itu membuat Vano getir. Sedasyat itukah efek Ian dikehidupan Jasmine? Hingga Jasmine menjauhkan Hana dari dirinya. Vano tahu, Jasmine bertingkah jauh lebih protektif pada Hana karena Jasmine ketakutan. Khawatir, jika suatu saat Ian mungkin akan merebut Hana dari tangan Jasmine. Padahal sungguh mati, Vano akan siap memasang badan paling depan jika Ian berani melakukan itu.

Vano mengikuti Jasmine ke dalam kamar, ketika Hana sudah dibaringkan di box tidurnya. Dan Jasmine masih memandangi gadis kecilnya tersebut. Vano mendekat memeluk tubuh Jasmine erat dari belakang. Tak peduli jika Jasmine bisa memukulnya karena kaget.

"Aku tau kamu takut. Tapi jangan cemas dan stres, okay? Ada aku buat kalian berdua."

Kalimat manis yang bukan semata-mata untuk merayu, tapi Vano bersungguh-sungguh. Dan Jasmine dapat menangkap sinyal keseriusan Vano karena memang lelaki itu sangat bertanggung jawab. Dan mencintainya juga. Jadi yang bisa dilakukan Jasmine hanya berbalik memeluk erat Vano. Tangis yang ia pendam pun pecah di dada suaminya. Jasmine amat lelah.

"Hana punyaku...punya kamu...punya kita...bukan Ian, Van..." lirih Jasmine. Vano mengusap rambut halus Jasmine dan membopongnya menuju ranjang. Menidurkan wanita itu perlahan seperti takut remuk jika diletakkan sembarangan. Setelah itu, Vano bergabung untuk berbaring bersama dan memeluk Jasmine dalam kungkungannya. Jasmine menyembunyikan wajahnya di tubuh besar Vano masih menangis.

"Aku tau. Tapi...dia tetep ayah kandungnya kan."

"Seorang ayah nggak akan pernah berani buat ngebunuh anaknya sendiri."

"Sshh...itu sudah berlalu, sayang. Ian..sudah menyesal. Dia bilang itu ratusan kali waktu menemui aku di kantor. Dia bercerita banyak. Dan itu buat aku sedih juga."

Jasmine nampak tertarik, dengan simbah air mata dia menatap Vano penuh tanda tanya. Vano meraih dagunya, dan mengecup sebentar bibir mungil itu sebelum bercerita.

"Semoga setelah kamu denger cerita ini, kamu bisa bener-bener maafin dia. Jasmine."

"Aku nggak tau..." Jasmine kembali merebahkan kepala di dada suaminya. Vano menghela nafas, mengeratkan pelukannya sekali lagi.

"Ian, dia kembali karena ada seorang gadis kecil yang mati tepat di kedua tangannya."

***

A/N : maaf klo terlalu drama ya ^^' typo?


ETERNAL LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang