6

6K 410 2
                                    

Jasmine resmi menjadi ibu rumah tangga dengan kandungan yang berjalan lima belas minggu. Lebih menyenangkan, lebih santai, dan lebih bebas. Dia tak harus merasakan perih di mata karena terlalu sering membaca layar komputer.Atau merasa sesak dan pegal duduk selama delapan jam di bangku kerja. Serta tak lagi buru-buru menyelesaikan deadline. Jasmine menghabiskan waktu luang dirumah dengan bersih-bersih kecil, menonton banyak acara televisi, dan membaca buku kehamilan sambil nyemil buah.

Dia hendak membuat susu hamil ketika Vano baru saja mengirimi pesan mengingatkan bahwa dia harus minum susu. Vano yang bossy tapi menggemaskan, batin Jasmine merasa senang mendapatkan perhatian Vano.

"Yah habis." katanya menemukan kotak susunya kosong. Jasmine berpikir, mungkin dia harus lebih dulu ke mini market yang jaraknya hanya satu blok dari sini. Sekalian dia membeli sabun cuci piring dan beberapa cemilan seperti es krim. Sejak semakin besar janinnya, dia jadi suka makan es krim coklat.

Ketika Jasmine telah selesai berbelanja dan berjalan pulang, mendadak rintik-rintik air langit turun membasahi. Jasmine menjadi kelimpungan karena tak membawa payung. Gerimis semakin deras hingga membuat genangan air. Jasmine berlari kecil dan segera berteduh di salah satu warung kopi yang tutup. Nampak beberapa orang juga menghindari hujan dengan mengebut serta berlari.

Langit nampak gelap sekali padahal masih pukul dua siang. Rambut panjang Jasmine sudah lepek dan bajunya setengah basah. Bagaimana ini? Dia tak bisa pulang. Memutuskan untuk telpon Vano? Tidak. Dia ada mengajar kelas siang dan tak sampai hati Jasmine menyuruh Vano untuk menjemputnya hanya karena hujan sepele.

Jasmine menghembuskan nafas. Hujan terlihat berhenti di titik kota itu dan enggan pindah. Membuat siapa saja juga enggan keluar dan memilih mendekam dirumah. Jasmine mengusap bahunya kedinginan ketika angin sore bertiup kencang. Dia ingin pulang dan tak bisa pulang. Hanya satu jalan, dia harus menembus hujan.

***

"Aku pulang, Jasmine." sapa Vano pukul lima sore. Dia mengernyitkan kening mendapati rumah nampak sepi dan sayup. Lampu tak dinyalakan saat sepetang ini. Hujan sudah reda, tapi petichor masih dapat tercium. Vano tak menemukan Jasmine.

"Jasmine?" panggil Vano kembali dan menemukan suara kecil dari balik pintu kamar. Vano masuk dan terkejut. Jasmine berbaring lemah dengan selimut di ranjang. Wajahnya kusut dan pucat.

"Kamu sudah pulang?" sambut Jasmine mencoba tersenyum yang hasilnya mengerikan.

"Kamu kenapa?" tanya Vano berlutut. Dia menyentuh kening Jasmine. Panas sekali.

"Kamu demam, Jas."

"Aku tadi kehujanan waktu ke mini market. Nggak bawa payung." jawab Jasmine serak dan bangkit bangun untuk menyiapkan kebutuhan Vano ketika dia dirumah. Tapi Vano tak memperbolehkannya.

"Tidur aja, biar aku yang bikin makan malem. Kenapa nggak naik becak? Atau telpon aku?" Vano kembali membantu Jasmine untuk merebah. Menyelimutinya. Dan sedikit ngeri melihat obat parasetamol dinakas. Pasalnya Jasmine sedang hamil. Apa boleh minum sembarang obat?

"Kan kamu lagi kerja. Cuman demam ini nggak papa." senyum Jasmine layu.

"Aku telpon dokter Maria dulu. Apa kamu boleh minum obat lain selain obat hamil. Pokoknya kamu rebahan aja ya. Aku bisa ngurus sendiri kok."

Melihat kecemasan Vano yang berlebihan, entah kenapa ada perasaan aneh menjalar di jantung Jasmine. Sebegitukah Vano mengkhawatirkan dirinya. Rasanya begitu aman dan nyaman ketika ada seseorang yang begitu betul memperhatikanmu.

"Makasih, Vano."

Makasih suamiku.

***

Vano memeras handuk di baskom air hangat sembari berdoa dalam hati. Meletakkan handuk itu tepat dikening Jasmine yang tertidur tak nyenyak. Hanya demam, katanya. Dan demam itu semakin tinggi. Dokter Maria tak bisa datang karena sedang diluar kota, tapi dia memberi arahan pada Vano untuk merawat Jasmine. Tanpa disuruh pun, Vano akan selalu merawat Jasmine.

Tubuh mungil berbalut selimut tiga lapis itu nampak menggigil. Keringat deras mengucur. Vano tak tahan lagi melihat Jasmine jatuh sakit membuatnya ikut sakit. Tapi dia harus sabar. Jika salah satu dari mereka sakit, salah satunya harus sehat untuk merawatnya bukan? That's marriage.

Vano memijat kedua kaki Jasmine yang membeku. Memberinya balsem sesekali supaya menghangat. Lalu dibetulkannya selimut itu dengan benar. Saat Vano hendak mengompres Jasmine lagi, ia mendengar gumaman Jasmine yang lirih dan tersendat.

"Dingin...di..ngin..." gumamnya. Vano putus asa. Dan malam ini hujan kembali datang. Selimut pun sudah semua ia keluarkan. Akhirnya dengan pikiran kosong, Vano merebah di samping Jasmine lalu memeluk tubuh wanita itu erat seolah menghangatkan. Tak ia hiraukan jantungnya yang berdebar. Tak ia hiraukan juga aroma shampo bunga yang tercium dari rambut Jasmine membuat ia rindu akan sosok ceria Jasmine yang lama, yang dulu masih dapat tertawa lepas saat bersamanya.

"Ssshhh..aku disini, Jasmine. Tidurlah." Peluk Vano lebih erat seraya mengusap punggung Jasmine. Ajaibnya, wanita itu lambat laun terlelap tenang di kungkungan Vano. Tak mengigau lagi, dan menggigilnya perlahan hilang. Vano merasa damai. Dia juga lelah dan ikut memejamkan mata tertidur tanpa pernah melepaskan Jasmine.

***

ETERNAL LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang