26

5.6K 394 35
                                    

"Kamu mau dagingnya?" Ian mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Jasmine. Tapi sedetik kemudian dia merasa malu sendiri. Ia kira Jasmine bertanya padanya. Namun salah besar. Vano yang tersenyum manis disitu.

"Boleh. Sesendok aja." kata Vano menyerahkan piringnya kepada Jasmine untuk diambilkan beberapa potong daging rendang. Disepakati, malam ini Ian ikut makan malam. Bukan diajak. Lebih karena terpaksa. Hana habis meraung tidak ingin ditinggal Ian. Sebetulnya Ian tersanjung anaknya itu tidak mau jauh-jauh dari Ian. Tapi kalau pada akhirnya Ian melihat keromantisan Jasmine pada Vano, rasanya lebih baik dia menenggelamkan diri.

Mencoba menghilangkan rasa sedihnya, Ian berpaling kepada putrinya. Hana sudah duduk dengan kursi sendiri. Kursi bayi yang tinggi. Dan tengah memainkan makanannya, bukan memakannya.

"Hana, dimakan nak telurnya. Jangan dibuat main." kata Ian manis. Hana abai. Dia terus bermain.

"Hana, ayo dimakan. Nanti bunda tambahin brokoli lho." kali ini Jasmine menegur. Memang Jasmine adalah ibu yang tegas. Kalau Vano memanjakan Hana, Jasmine lebih sering berbuat sesuai kelakuan Hana.

Ditegur seperti itu, Hana malah melempar telurnya sampai tercecer di meja. Ian terkejut, segera meraih lap untuk membersihkan. Tapi terlambat, dia melihat Jasmine juga tengah menatapnya sedikit tajam. Seolah tak memperbolehkan Ian mendekat.

"Biar aku aja." kata Jasmine sedikit ketus membersihkan meja Hana. Lalu tanpa babibu, Jasmine menggendong Hana dan mangkuk kecilnya. Membawanya ke depan untuk menyuapi Hana supaya mau membuka mulut. Vano tertawa kecut. Makanan yang ia kunyah terasa seperti kardus.

"Santai aja, Yan. Nggak usah tegang." kata Vano mencoba menghibur. Ian hanya mengedikkan bahu sembari memberi senyum gagal.

"Nggak papa, Van. Gue udah kebiasa digalaki Jasmine."

Vano mengangguk dan melanjutkan makan malamnya.

***

Setelah momen makan malam itu, kini hampir setiap hari Ian bergabung dalam jamuan keluarga Jasmine. Bukan Jasmine yang mau. Tapi Hana yang nakal. Tiap kali merengek ketika Ian mulai akan pulang. Dia bisa saja mengusir Ian, atau yang lebih buruk, mengunci Hana dikamar dengannya. Karena sesungguhnya Jasmine malas duduk bersama Ian dan makan malam seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara mereka.

Jasmine juga kesal dengan Vano. Suaminya itu selalu mengizinkan Ian untuk masuk. Suatu hari Jasmine pernah mulai jengah dengan kehadiran Ian. Ia ingin untuk beberapa hari saja Ian tak muncul kemari. Tapi lagi-lagi Vano selalu mengingatkan bahwa dirinya harus memberi kesempatan Ian karena lelaki itu juga bersungguh-sungguh menyesal dan ingin memperbaiki keadaan. Mengingatkan kalau Hana tetap anak kandung Ian. Membuat Jasmine putus asa dan membiarkan Vano selalu membukakan pintu. Jasmine tak mengerti, hati Vano itu terbuat dari apa.

Sore ini, Jasmine tengah membereskan kamar. Hana tengah bersama ayah-ayah mudanya diruang televisi seperti biasa. Diam-diam Jasmine melirik dari pintu yang setengah terbuka. Ian membawa sebuah kotak tanggung berwarna merah jambu. Melihat itu putrinya kegirangan. Dia tertawa di dalam baby walkernya dan melompat meminta kotak itu. Saat dibuka, ternyata berisi boneka barbie cantik.

Jasmine tersenyum mengejek. Hanya orang bodoh yang memberikan barbie kepada anak kecil berusia masih batita. Tunggu lima menit, maka kepala barbie yang cantik itu akan potel dan hilang. Benar saja, Hana sudah menarik-narik kepala barbie pemberian papanya. Jasmine tertawa dalam diam. Dan mendadak dia menghentikan tawanya saat melihat Ian tertawa lepas yang nampak tulus dimata Jasmine.

Wanita itu mendekat ke arah pintu. Mengintip interaksi antara putrinya dengan ayah kandungnya yang begitu natural. Aura kesombongan Ian yang dulu pernah dilihat Jasmine hilang tak bersisa. Yang ada hanya Ian yang membutuhkan kasih sayang. Cukup rapuh dan menerima apa yang orang beri. Kalau dia, Ian adalah pria penuntut. Sebagaimana lelaki itu menuntut Jasmine untuk bercinta di luar nikah. Hingga timbulah dia bunting tanpa suami.

Tapi, dia tidak bisa membohongi diri sendiri kalau saat ini Jasmine tengah terharu. Ian memang tidak memeluk Hana. Hanya lelaki itu terlihat sekali ingin memeluknya. Menimangnya lama. Di balik daun pintu, Jasmine tersenyum pilu. Karena tak tahan jika tiba-tiba dia berubah gila untuk mengizinkan Ian membawa pulang Hana sehari-dua hari, dia menutup pintu kamar. Bersembunyi disana terduduk di ranjang. Sembari merenung memikirkan masa lampaunya yang buruk setelah ditinggal Ian.

Mengapa kini dia sedikit goyah?

Mengapa Jasmine nampak syahdu melihat tawa Ian dan Hana keluar bersamaan?

Ada apa dengan dirinya? Bukankah Jasmine sudah kepalang benci pada mantannya itu?

Atau...sesuai kata Vano, Jasmine mulai harus memaafkan Ian sepenuhnya?

Jasmine mengerang. Dia mengusap mukanya dan menghela nafas kasar. Dia tak tahu. Dan dia tak ingin tahu. Efek Sebastian dihidupnya cukup membuat Jasmine berantakan untuk berpikir. Untuk malam ini saja, dia ingin mengunci diri di kamar dan intropeksi. Yang sebetulnya, dia hanya tak ingin makan malam bersama Ian karena takut akan perasaannya yang mendadak aneh. Meskipun Vano memanggilnya beberapa kali, Jasmine tetap tak bergeming.

***

Vano merasa aneh. Dia melihat ruang tengah dan kamarnya cukup penuh beberapa boneka. Atau mainan asing yang Vano tak pernah beli. Apa mungkin Vano mulai pikun?

"Perasaan aku nggak pernah beliin Hana ini?" tanya Vano ketika Jasmine meletakkan Hana dikarpet untuk bermain. Jasmine melihat Vano memegang boneka elsa frozen bergaun biru cantik yang ukurannya hampir setubuh anaknya.

"Oh, itu dari Ian." jawab Jasmine acuh tak acuh membuat Vano mengerutkan kening.

"Ini juga?" tunjuk Vano ke boneka lain. Bahkan yang tengah dipegang Hana.

"Iya. Yang kamu beliin kan cuman lego sama mainan dapur plastik itu kalau nggak salah kan?"

"Kamu...inget semua yang dibelikan Ian?" Vano mulai terpancing dengan nada menyelidik. Mengamati Jasmine yang total cuek dengan ucapannya.

"Soalnya setiap kali dia kesini selalu bawa boneka. Gede-gede lagi. Dia kan gabung sama perusahaan ayahnya. Jelas duitnya banyak." terang Jasmine tersenyum misterius. Tapi cukup membuat Vano terpekur.

"Kamu tahu dia?"

"Dia kapan hari cerita sendiri kok."

"Dan seberapa jauh kamu tahu dia, bunda?" tanya Vano lirih tapi yang ditangkap Jasmine malah Vano tengah berbicara dengan lembut.

"Nggak banyak. Cuman itu aja. Hana juga suka boneka besar kaya gitu. Syukur deh papanya bisa beliin kan."

Syukur karena papanya bisa membelikan.

Sebuah kalimat yang justru menohok Vano walaupun Jasmine mengatakannya tanpa maksud. Membuat pria itu terdiam seribu bahasa dan mengingat kalau selama ini pemberian Vano tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Ian? Well, Ian memang tidak angkuh seperti dahulu. Tapi kekayaan Ian masih tetap abadi tujuh turunan. Sebuah derajat yang Vano tahu, dia tak bisa menyainginya.

Kala itu, Vano berusaha menghindar sejenak dari Jasmine dan Hana. Dia mengurung diri sendiri di ruang kerja dengan berdalih kalau dia banyak kerjaan. Padahal yang sebenarnya Vano tengah menata hatinya sendiri tanpa bantuan orang lain, bahkan Jasmine yang biasanya menghangatkannya. Vano tahu dia sudah tak bisa mengelak. Ketakutan ketika sahabat lawasnya itu datang sudah terjadi.

Jasmine berlagak mulai menerima semua pemberian Ian. Tanpa sepengetahuan Vano. Lelaki itu menelungkupkan mukanya ke meja. Mawas diri tapi ia tak akan pernah bisa melakukan apa-apa. Dia tahu dia penyelamat kesiangan bagi Jasmine. Tapi dia juga tak akan bisa menyelamatkan kembali, kalau Ian meminta Hana karena Hana adalah darah dagingnya. Dan Jasmine...Vano tak tahu. Mungkin Vano akan hancur lebur dalam sekejap.

***

ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now