16

6.7K 462 10
                                    

Sudah larut, jam berkunjung pun sudah ditutup. Bahkan gadis mungil kesukaan Vano sudah dikembalikan ke ruangan bayi. Memang selagi sang ibu masih di rumah sakit, bayi masih dalam perawatan dokter. Vano menutup korden jendela karena sudah saatnya Jasmine istirahat. Setelah itu dia melepas sepatunya dan berbaring pada sofa kamar inap untuk ikut bergabung istirahat.

Jasmine yang melihat itu mengulum senyum. Entah sejak Sinta mengutarakan semua perasaan yang dimiliki Vano terhadapnya, Jasmine memandang Vano dengan sosok berbeda. Bukan semakin minus, tapi semakin menawan hatinya. Vano yang lembut, sahabatnya yang baik, ternyata selama ini mencintainya begitu tulus. Dan betapa Jasmine menyesal selama ini dia buta. Bahwa beberapa tahun silam,ada lelaki yang mencintainya amat besar, malah dia memilih seorang pria yang sama sekali tak bertanggung jawab.

"Ayah..." ucap Jasmine menatap Vano sendu. Vano menoleh terkejut, menatap sosok Jasmine yang tidur dibangsal seolah istrinya itu berkepala dua. Melihat muka idiot Vano, otomatis Jasmine tersenyum geli.

"Ayah, sini tidur sama bunda."

"Apa?" tanya Vano masih linglung dengan semua perkataan Jasmine. Wanita itu mendengus. Lalu sedikit bergeser untuk menyisakan beberapa ruang di bangsalnya dan menepuk-nepuk sisi itu mengajak Vano.

"Sini, tidur sama bunda."

Ayah-bunda? Vano meyakini diri sendiri kalau memang Jasmine memanggil dirinya dengan sebutan Ayah. Apa dia tak salah dengar? Atau kuping Vano sudah penuh kuman? Takutnya, ketika Vano mengiyakan dan ternyata dia salah sangka, ampun malunya Vano. Tapi melihat gelagat Jasmine bahwa dia memang memanggil Vano begitu, lalu mengulurkan tangan kirinya untuk segera disambut Vano, alhasil Vano terbangun dengan kikuk.

"Ta..tapi nanti..."

"Cukup kok. Bunda...mau tidur dipeluk ayah, boleh?" sebuah permintaan kecil seperti seorang gadis mungil meminta permen kepada orang tuanya. Hati Vano menghangat bukan main, bibirnya tak bisa ia tahan untuk mengembang dengan senyum lebar nan bahagia. Vano bangkit dan menerima uluran tangan halus tersebut. Vano perlahan merebahkan diri di bangsal Jasmine dan tanpa babibu atau sebelum malu, Vano memeluk Jasmine. Yang beruntungnya, Jasmine juga segera memeluk tubuh Vano yang wangi. Menyelimuti kaki-kaki mereka dalam satu selimut.

Ahh...sudah lama sekali mereka tidak berpelukan. Terakhir kali sebulan yang lalu mungkin dikala hubungan mereka belum mendingin. Vano tak bisa untuk tidak tersenyum. Dibiarkannya lengan kerasnya itu dijadikan bantal oleh Jasmine, sementara dia mengusap rambut dengan aroma buah-buahan itu penuh sayang. Jantungnya berdebum dengan artian indah. Saat Jasmine merangkul erat Vano dengan nyaman.

"Ayah..." sebut Jasmine lagi menengadah untuk dapat melihat wajah suaminya. Vano tersenyum, bergumam kecil memandang retina coklat madu yang begitu cantik itu.

"Aku minta maaf. Sudah bohong sama ayah kalau akan manggil mama buat nginep di rumah. Sebenernya waktu itu, aku milih sendirian aja biar nggak terlalu ngerepotin. Tapi aku bodoh, aku gegabah. Aku ketakutan waktu perutku sakit dan ayah...nggak ada di deket aku. Aku sedih." ungkit Jasmine mengenai masalah yang tempo lalu. Dimana Jasmine berjanji akan memanggil ibunya untuk diajak menginap sementara Vano kerja di luar kota.

Vano hanya diam, dia tak menyangka kalau kemarin itu Jasmine berbohong. Dia juga tak mengerti mengapa Jasmine memilih sendirian saat kandungannya sudah tua tanpa ada yang menemani. Diusapnya pipi Jasmine yang halus itu, dan terlena akan pelukan Jasmine yang tambah erat di sekitar pinggangnya.

"Aku maafin. Asal, jangan diulangi lagi. Aku bisa gila kalau terjadi apa-apa sama kamu, Jasmine. Kamu hamil, nggak akan ada yang ngerasa direpotin. Oke?"

Wanita itu mengangguk menyesal. Menyerukan mukanya di dada bidang suaminya. Dan dalam hati berjanji tak akan pernah melakukan hal bodoh itu lagi. Karena sekarang, Jasmine akan patuh dengan Vano. Dia tak ingin membuat Vano menjadi gila dengan tingkah kekanakannya.

Keheningan damai menyelimuti. Anehnya, Vano merasa pelukan Jasmine bertambah dekat dengannya. Seolah hati mereka menyatu dan saling bertaut membuat ia bahagia. Rasanya Vano ingin menghentikan waktu supaya tidak berganti hari. Dia butuh seperti ini. Jasminenya yang tenang, membutuhkannya, tidur di sampingnya, bahkan memeluknya.

"Aku belum memberi nama anak kita." kata Jasmine setelah keterdiaman mereka, hampir mengantuk karena kepalanya diusap lembut oleh Vano. Dia jadi rindu masa kecil ketika sebelum tidur dia juga diusap seperti ini oleh papanya sendiri.

Vano bergumam, menyembunyikan hidung mancungnya di helaian rambut Jasmine tersipu.

"Aku...sudah." balasnya ragu-ragu. Seketika itu Jasmine terkejut. Dia menatap Vano dengan binar kaget.

"Kamu...sudah?"

Vano mengangguk.

"Hm. Aku memikirkan nama... Hana." ujar Vano menerawang dan masih mencium ubun-ubun istrinya tersebut. Jasmine sangat tertarik, dengan muka penuh tanya dan sedikit menyesal. Dia ibu kandung dari si kecil saja belum menyiapkan nama. Tapi Vano...sungguh Vano adalah keajaiban untuk Jasmine si pendosa.

"Hana? Artinya?"

"Anugrah. Jadi, dia adalah anugrah di antara kita." peluk Vano erat seraya memejamkan mata. Dia tak masalah jika Jasmine menolak usulannya dan wanita itu akan memberi usulan nama lain. Vano hanya mengutarakan sesuatu yang sudah ia pikirkan jauh hari setelah mendapati janin Jasmine berjenis kelamin wanita. Dan alangkah senangnya dia ketika melihat sorot mata bersinar nan haru itu muncul menatapnya balik. Serta senyum lebar terpatri di sudut bibir Jasmine.

"Itu cantik. Jadi, Hana?"

"Hana." Vano mengangguk mendekatkan keningnya ke kening Jasmine.

"Hana Kurniawan."

"Apa?" cicit Vano menjauhi Jasmine. Tapi wanita itu hanya senyum dikulum merasa polos menyebutkan marga keluarga Vano tersebut di belakang nama anak Jasmine.

"Hana Kurniawan. Anugrah di antara keluarga Kurniawan. Gimana?"

Sepersekian detik, Vano hanya terpaku. Tidak menyetujui ataupun menolak Jasmine. Dia hanya mencerna semua apa yang dikatakan Jasmine yang begitu mendadak dan menyerang hatinya. Jasmine menggigit bibirnya setelah sadar mungkin Vano tak suka. Jasmine takut kalau Vano menuduhnya lancang sembarangan memakai nama belakang Vano untuk dipakai di anak gadisnya. Menunggu respon Vano yang lama, membuat dia menunduk sedih. Agaknya Vano memang tidak menyukai usulan tersebut. Pelukan Jasmine merenggang.

Karena memang Vano tidak suka dan tidak senang.

Tapi Vano lebih dari itu.

"Itu...indah, Jas. Itu...aku..."

"Kamu suka?"

Vano tertawa suka cita. Kembali mengeratkan pelukannya dan tak ingin melepas Jasmine. Vano merasa kewalahan menerima semua kebahagiaan yang hari ini dijatuhkan bertubi-tubi oleh Jasmine. Dan hal terakhir inilah membuat dia tak bisa bernafas. Sesak karena saking gembiranya dia ingin meledak. Hal sepele tapi luar biasa menggetarkan nurani Vano.

"Aku suka banget. Makasih, Jas. Makasih." erang Vano diantara rambut Jasmine membuat rasa cemas wanita itu sirna terganti akan kebahagiaan. Membalas pelukan Vano dengan khidmat akan kehangatan tubuh suaminya.

"Hana Kurniawan. Akan jadi anugrah buat keluarga Kurniawan." kata Vano berulang kali. Jasmine terkikik.

"She is the master piece of Kurniawan's."

"Always be. Makasih, Jasmine."

"Bunda! Biasakan panggil aku bunda, ayah!" tegur Jasmine cemberut merapikan rambut Vano yang berantakan. Suaminya itu tertawa saja dan menyerukkan mukanya yang syarat akan nikmatnya dunia tersebut di kening Jasmine. Tanpa aba-aba pun, Jasmine dapat merasakan bibir tebal Vano mengecup keningnya lama dan cinta berpendar dari Vano menuju seluruh sarafnya. Hingga dia memejamkan mata bahagia.

"Makasih, bunda."

Dan keduanya memutuskan untuk tidur sambil masih terus berpelukan erat. Sesaat setelah Vano mulai setengah tidur, sekonyong-konyong Vano dapat merasakan kalau Jasmine mendekatkan bibirnya ke telinga Vano seraya berbisik.

"Aku cinta kamu, Vano."

Dan Vano pergi ke alam mimpi dengan senyuman.

***

ETERNAL LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang