15

6.4K 450 8
                                    

"Kamu dimarah-marahin ya sama mama?"

Vano berhenti mengganti chanel tv dan menoleh pada Jasmine. Istrinya itu sedang menatapnya intens dan ia hanya balas tersenyum kecut.

"Hm. Iya. Pas baru sampe sini."

"Maaf ya, Van. Mama malah nyalahin kamu. Numpahin ke kamu." balas Jasmine menghela nafas berat. Vano meraih tangan kanan Jasmine yang diberi gelang rumah sakit. Menggenggamnya dan meletakkannya di kepalanya sendiri. Vano memang duduk di kursi sebelah bangsal istrinya.

"Apaan sih, nggak papa. Aku juga bego, pas kamu udah hamil gede nekat luar kota. Terus pas hari kamu lahiran, itu aku bener-bener nggak konsen. Gelisah melulu. Firasat kali ya?" kekeh Vano sembari menonton televisi. Jasmine cemberut tapi gemas juga pada Vano.

"Iya. Anak kamu tuh, pengen cepet-cepet keluar. Biar ayahnya juga cepet pulang." keduanya tertawa bersamaan. Hubungan dingin yang sempat tercipta itu kini terlupakan. Meskipun salah satu dari mereka tidak membahasnya atau menyelesaikannya dengan jujur masalah yang mengganjal di hati masing-masing, tapi mereka sudah cukup bersyukur dan menikmati yang ada. Jasmine dengan segala keikhlasannya terhadap Vano, Vano juga degan segala mengalahnya untuk Jasmine.

Pintu kamar Jasmine terbuka. Menampakkan dua orang yang tak asing bagi mereka. Dan Vano terkejut sampai bangkit dari duduknya. Menyambut si tamu.

"Mbak Sinta? Mas Pram?"

Sinta dan Pram yang rela jauh-jauh datang dari Kalimantan. Membawa dua kotak brownies coklat dan parcel buah untuk ibu baru.

"Hai. Gimana? Sehat kan?"

Jasmine sumringah dan mencium pipi kakak iparnya tersebut.

"Sehat. ASI juga lancar. Kapan datengnya, mbak? Raka Riki mana?"

"Kemaren sore. Anakku lagi sama eyangnya, nggak mau ikut kesini."

"Lho, bayinya mana nih, Van?" tanya Pram suami Sinta.

"Belum liat mas? Ayo deh aku anter. Sekalian aku juga mau beli makanan buat kalian. Ini kan udah jam makan siang." tawar Vano.

"Boleh deh. Aku beliin nasi uduk lauknya ikan patin klo ada ya, Van!" celetuk Sinta bersemangat. Semuanya tertawa kecuali Vano yang memberengut.

"Di kantin rumah sakit cuman ada mie goreng, lontong balap sama lumpia, mbak. Udah ah yuk, mas." mereka semua kembali tertawa sampai Pram dan Vano keluar. Sinta tersenyum kepada Jasmine. Duduk di samping Jasmine dan memasang muka ikut bersuka cita.

"Gimana rasanya jadi ibu?" tanya Sinta yang dijawab Jasmine dengan erangan lega.

"Excited. Pas lahiran sih emang sakit. Tapi pas si kecil udah keluar, rasanya perut aku beneran kosong. Aku sampek diem aja, mbak. Nyerna keadaan bisa secepet itu."

Kedua wanita cantik nan keibuan itu sontak tertawa bersama. Saat Sinta menghentikan tawanya dan memandang Jasmine dalam, disitu ia bermaksud berbicara secara pribadi. Beruntungnya Vano dan suaminya sedang keluar.

"Jas, mbak...boleh ngomong dari hati ke hati sama kamu?" tanya Sinta pelan. Senyum Jasmine surut berubah penasaran.

"Ngomong apa mbak?"

Sejenak Sinta membenarkan posisi duduknya yang terasa mengganjal. Dan kemudian kembali menatap adik iparnya tersebut dengan sendu.

"Maaf sebelumnya klo kamu tersinggung atau ngerasa nggak enak. Aku udah tau klo kamu...mengandung anak bukan dari Vano."

Ada sengatan petir atau deburan ombak yang menampar hati Jasmine. Wanita itu terasa membeku. Tak berekspresi, memutarkan rekaman memori dimana ketika ia mendengar Sinta dan Vano berbicara tepat di pesta tujuh bulanan dulu. Mungkin Jasmine hanya mendengar sisanya, tapi perempuan itu sangat yakin dan menarik kesimpulan kalau Vano sudah bercerita mengenai kisah rahasia mereka dengan sang kakak. Jasmine menunduk malu. Telapak tangannya berkeringat.

ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now