22

5.8K 372 9
                                    

typo?

Lamunan Vano terpecah ketika suara isakan Jasmine terdengar. Diliriknya istrinya itu yang sedang duduk di karpet menemani Hana yang tengah bermain boneka. Tapi dirinya menangis, tak dapat menghentikan kesedihan dan amarah yang berkecamuk setelah Ian mengetuk pintu rumah mereka.Karena tak mengerti, Hana hanya tertawa-tawa saja memberi ibunya bermacam-macam boneka.

Vano mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mengerang lelah. Lalu dia ikut duduk di atas karpet, mendekati Jasmine seraya memeluknya. Menyandarkan kepala wanita yang ia cintai itu di bahu kokohnya. Mencium puncak kepalanya. Jasmine nampak bergetar.

"Aku...nggak mau ketemu dia lagi, Van..." bisik Jasmine membalas pelukan Vano. Lelaki itu paham, mengangguk mengusap punggung Jasmine sayang.

"Aku tahu. Maafin aku sudah bertindak kasar." jawab Vano yang dibalas dengan Jasmine semakin memeluknya erat.

"Aku nggak mau dia ketemu Hana. Aku benci dia! Seujung kuku pun aku nggak mau Ian nyentuh Hana!" tekan Jasmine penuh emosi yang segera ditenangkan Vano.

"It's okay. Nggak akan aku biarkan. Ada aku, kamu sama Hana aman sekarang."

Jasmine menangis, dan Vano merenung mencoba menetralkan perasaannya yang kacau balau berkat Ian. Vano tersenyum miris melihat putrinya yang cantik itu tertawa menunjukkan boneka kepadanya.

Hana, ayah kandungmu datang, nak.

***

Vano mengoreksi hasil kerjaan mahasiswanya dengan kalut. Dipijat keningnya dan mencoba konsentrasi kembali saat pintu ruangan kerjanya diketuk. Pak Yanuar, asisten ketua jurusan masuk dengan senyum sopan.

"Pak, ada tamu." katanya.

"Siapa?"

Senyum sopan pak Yanuar lenyap, diganti dengan ringisan aneh.

"Eng...katanya sih kerabatnya bapak."

Membuat Vano mengernyit penasaran.

"Dia bilang namanya?"

"Ini...orangnya sama saya, pak."

Vano terhenyak saat pak Yanuar membuka pintu lebar-lebar dan menampakkan sosok tamu itu. Ian lagi. Pantas saja Pak Yanuar ragu, melihat kondisi muka Ian yang babak belur mirip preman. Dia jelas sangsi bahwa ada preman bertamu ke ketua jurusan. Untung saja Vano sudah naik jabatan dan dapat ruangan sendiri sehingga privasi seutuhnya dia dapatkan.

Lelaki itu menghela nafas, meletakkan pulpennya dan mengibaskan tangan.

"Makasih, pak Yan. Suruh dia masuk."

Ian masuk ragu-ragu, berterima kasih kecil kepada pak Yanuar. Setelah menunggu pak Yanuar menutup pintu, Ian masih mematung diposisinya dan Vano sama sekali tidak mempersilahkan duduk. Hanya menatap tajam pada Ian seolah mantan sahabatnya itu terdakwa yang pantas dieksekusi.

"Berani juga lo, setelah ditolak di rumah terus lo kesini?" desis Vano. Ian tak tahan lagi. Menatap Vano putus asa.

"Gue nggak tau harus kemana lagi, Van. Cuman disini gue bisa ketemu sama lo lebih lama. Gue minta maaf, Van. Gue tahu gue ngebuat kesalahan yang fatal..."

"Lo nyakitin Jasmine. Harusnya lo yang minta maaf ke Jasmine!"

"Tapi gue tahu Jasmine nggak akan pernah mau ngeliat gue lagi. Cuman lo satu-satunya penghubung gue ke dia. Please, Van. Gue...udah nyesel...yang gue lakuin di masa lalu itu salah..." Ian menunduk dalam. Jika Vano akan memukulinya lagi disini, Ian tidak akan pernah melawan. Dia tahu dirinya salah.

"Sebelum itu, gue mau nanya. Darimana lo tau rumah gue?"

"Gue ke rumah nyokap lo. Dia ngasih tau alamat lo, dan...dia juga bilang kalau sekarang lo nikah sama Jasmine." jawab Ian pilu.

"Setelah semuanya, apa mau lo, Yan? Kenapa lo balik?"

"Gue mau minta maaf ke Jasmine, Van. Meskipun gue tahu, Jasmine bakal buang mentah-mentah semua permintaan maaf gue ke dia...Dan gue...juga mau liat anak gue..." balas Ian dengan mata berkaca-kaca dan nafas tersengal. Perkataan itu memicu emosi Vano. Kalau saja ia tidak tahu tempat, bisa habis Ian disini.

Vano berdiri melangkah mendekati Ian. Mendorong dada Ian menjelaskan dengan tindakan bahwa Vano tidak menyukai gagasan itu. Setelah dulu Ian meminta Jasmine aborsi, sekarang dia minta diketemukan dengan anaknya? Meh, langkahi dulu mayat Vano.

"Anak lo? After all this time,lo bilang anak lo?" ejek Vano sakit hati. Namun, sakit hatinya mereda tatkala melihat mata sayu Ian. Sorot mata yang penuh penderitaan. Menjelaskan bahwa selama ini Ian juga sama tersiksanya. Ian juga terluka.

"Seberapa besarpun lo benci gue, Jasmine jijik sama gue, tapi anak itu tetep darah daging gue, Van." Vano mencoba mencari kebohongan akan kesedihan yang ada di mata Ian. Tapi sepertinya nihil. Ian mungkin benar-benar sudah menyesal dan kini sangatlah amat bersedih.

"Ngomong sama lo itu nggak ada gunanya."

"Please, Van...kasih gue kesempatan...Sebelum ini, gue pernah ngalamin kejadian buruk. Bikin gue harus...ketemu sama anak Jasmine. Gue udah bukan diri gue yang dulu, Van. Tolong, permintaan gue yang terakhir. Bantu gue, Van...bantu gue..."

Vano terdiam seribu bahasa. Batinnya berkecamuk tatkala mendengar cerita menyedihkan Ian saat ini. Di satu sisi, ia menjadi ingin membantu Ian untuk sekali saja melihatkan rupa Hana kepada ayah kandungnya. Namun disisi lain, Vano tak tega akan reaksi Jasmine. Dan dia sudah berjanji, akan menjauhkan Ian darinya.

***

"Bunda..." sapa Vano berusaha selembut mungkin pada wanita yang kini menatapnya garang. Hana sedang tidur, dan kini emosi Jasmine memuncak setelah tahu siapa yang Vano bawa sepulang dari kerja. Ian diluar, menunggu dibuka kan pintu.

"Kamu janji bakal jauhin dia dari aku, dari Hana. Tapi kenapa kamu bawa dia!!" tekan Jasmine tajam dengan mata berkaca-kaca. Vano masih memasang tampang memelas dan mencoba meraih Jasmine untuk dipeluk. Tapi istrinya itu mundur menjauh.

"Aku tahu kamu nggak akan nerima semua penjelasan apapun. Tapi...Ian sudah menyesal berat, Jas. Sama kamu, sama anak kita. Dan dia butuh permohonan maaf kamu."

"Maaf? Semudah itu? Setelah dia campakin aku sama Hana? Apa kamu bisa bayangin dia pernah nyuruh aku bunuh Hana, Van?! Lalu sekarang minta dimaafkan?!"

"Ian sudah dihukum, Jas. Kamu nggak tahu selama dia menghilang, dia mengalami banyak kejadian buruk nimpa dia. Sekarang dia kembali ingin ketemu sama kamu dan dia menyesal."

"Jangan karena dia sahabat kamu terus kamu bela dia!!" bentak Jasmine mengoyak kedua tangannya yang disentuh Vano. Masa bodoh dengan cintanya kepada Vano. Selama lelaki itu membela Ian, tak akan ada lagi cinta-cintaan.

"Aku mohon, sayang. Kasih dia kesempatan. Aku begini karena kasihan sama dia. Dia beneran ingin nebus dosa ke kamu." balas Vano frustasi dan mendapat pukulan di dadanya seketika.

"Aku bukan tempat penebus dosa buat dia!!" Jasmine mengamuk memukuli dada bidang Vano. Lelaki itu dengan cepat menghentikannya dan meraih Jasmine untuk masuk ke dalam kungkungan. Tangisan Jasmine teredam dari kemeja kerja Vano. Merasakan sakit yang menyebar di hatinya. Entah sampai kapan drama ini selesai. Selama Ian masih berkeliaran, Jasmine yakin dia pasti dapat merasakan sakit yang luar biasa. Bagaimana ketika dia dicampakkan, dia disuruh memilih ditinggalkan atau membunuh anaknya.

Vano mengusap punggung Jasmine seraya membawanya masuk ke sudut rumah supaya anaknya tidak terganggu akan kemarahan Jasmine. Kasihan anak itu, tak tahu apa-apa. Hingga Jasmine mulai lelah menangis, bersandar di tubuh Vano, lelaki itu berbisik.

"Mau ya? Kasih dia kesempatan. Tuhan saja Maha memaafkan, kenapa kita nggak?"

Tubuh Jasmine bergetar. Dia tidak siap harus berhadapan lagi dengan Ian yang pernah mengoyak hatinya. Dia tidak menolak, tapi juga tak mengiyakan. Hingga kebisuan Jasmine dianggap iya oleh Vano. Karena tahu Jasmine nampak ketakutan atau terluka, dalam pelukannya, dibimbingnya wanita itu sesekali mencium puncak kepalanya. Jasmine menahan nafas, saat Vano mulai membuka kunci pintu depan. Menampakkan Ian yang memasang muka putus asa.

***

ETERNAL LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang