25

5.5K 370 16
                                    

Setiap hari, pukul empat sore, Ian akan mengetuk rumah Jasmine. Dan yang membukakan selalu Vano. Jasmine sudah hafal siapa tamu di kala sore itu, jadi dia akan masuk ke kamar dan memerintah Vano untuk yang menyambut Ian saja.

Dan setiap hari pula lah, Ian bertemu dengan Hana. Mengajaknya ngobrol, atau sekedar main bersama. Itu semata-mata adalah bentuk penebusan dosa Ian pada putri kandungnya. Jadi Vano mengizinkan. Walaupun dia tak tahu, kalau Ian begini juga punya maksud lain. Diam-diam, dia berharap Jasmine dapat melihatnya. Ikut bergabung dengannya, dan memaafkannya. Tapi sepertinya, itu hanya akan menjadi mimpi Ian saja. Melihat dinginnya Jasmine saat ini.

"Masuklah." sambut Jasmine datar, membukakan pintu rumah lebar-lebar membuat Ian sore itu sedikit terkejut. Biasanya kan yang membuka si Vano.

"Vano...dimana?" tanya Ian ragu-ragu.

"Kamar mandi." lalu Jasmine mengabaikan Ian. Dia memilih menuju dapur. Tak mempersilahkan Ian duduk atau menawari minum. Jadi Ian berdiri mematung.

"Duduk, Yan." tiba-tiba sosok Vano muncul dengan handuk di lehernya. Diikuti suara berisik roda baby walker yang ditumpangi Hana. Melihat itu, Ian langsung sumringah.

"Hana..." panggil Ian ramah. Gadis itu sepertinya sudah familiar dengan tampang ganteng Ian. Jadi dia mendekat dan membalas jabat tangan Ian ala si kecil Hana. Hana tertawa senang. Ternyata, Ian membawakan sebuah boneka bulu.

Vano menyeringai kecil, dia duduk di sofa dan menyalakan televisi. Menemani si tamu. Ian melirik kecil.

"Kerjaan gimana, Van?"

"Ha?" Vano agak linglung ditanyai begitu. Pasalnya, selama ini Vano dan Ian tidak terlibat pembicaraan santai. Yang ada kaku, tegang, sedih, akibat masalah yang Ian buat. Hubungan erat keduanya seolah membeku. Ian menyesal sendiri. Padahal Vano adalah sahabat terbaik yang selalu mendukung maupun membantu Ian dikala susah.

Ian nampak terkekeh kecil sambil menggoda pipi gembul Hana yang memainkan boneka pemberian papanya.

"Kerjaan lo, gimana kabarnya?"

"Oh, lancar kok." jawab Vano canggung mengusap tengkuk merasa aneh.

"Kalau lo? Eum gimana?" tanya balik Vano memecah kekikukan di antara mereka.

"Gue ikut bokap. Bantu-bantu bokap diperusahaan." dengus Ian nampak tidak begitu suka dengan apa yang ia lakukan.

"Bagus dong. Lo kan bakal jadi penerusnya om Dodi."

"Gue pengennya sih bikin PT sendiri. Tapi masih belum bisa. Belum ada modal. Udah cukup gue nyusahin banyak orang. Kali ini gue mau lepas dari sokongan bapak gue." jawab Ian sendu.

"Nguung...nguung..." sahut Hana mengacung-acungkan boneka barunya. Ian tersenyum lembut.

"Kenapa, nak? Oh terbang ya bonekanya?"

"Bang..bang.." pekik Hana. Bermain bersama Ian.

Melihat itu, Vano sedih sendiri. Agaknya masa dimana Ian menghilang, itu membuat Ian totally changed. Diam-diam Vano bersyukur akan hal itu. Meskipun dia tak bisa berbohong kalau ada rasa takut yang terpendam saat sahabatnya itu kembali. Takut Hana diambil. Dan Jasmine...juga diambil.

"Gue yakin lo pasti bisa kok. Lo kan biasanya pede masalah ginian." remeh Vano dengan nada bercanda, seketika membuat Ian tersenyum lebar. Ada sorot mata berterima kasih tulus untuk Vano.

"Thanks udah diingetin gimana narsisnya gue." Keduanya terkekeh santai.

"Oh ya, lo mau minum apa?"

ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now