13

4.1K 363 2
                                    

"Udah kasih tau mama kan?" Vano memakai parkanya dan membereskan tas ranselnya yang sudah diisi beberapa pakaian. Istrinya, Jasmine mengangguk mengikuti langkah Vano menuju pintu.

"Nanti mama dateng siangan. Tiketnya sudah?"

Vano mengacungkan tiket pesawatnya kepada Jasmine dengan senyum tengil, lalu menyimpannya di saku jaket. Dan keduanya berpandangan dalam diam serta lama. Sorot mata yang penuh pancaran pengharapan. Vano tersenyum lembut, menyisir rambut Jasmine dengan jari-jarinya membuat gerakan statis diperut Jasmine bergejolak. Jantungnya juga berdebar-debar.

"Pokoknya ada apa-apa, telpon aku langsung ya?"

"Iya,pasti." jawab Jasmine tersenyum. Lalu dia membatu ditempat, saat bibir padat nan hangat Vano menempel di keningnya. Lama dan penuh khidmat tanpa nafsu. Membuat seluruh tubuh Jasmine menggelenyar hebat. Lututnya sedikit lagi ambruk kalau Vano tak segera menyudahi kecupan sayangnya di kening Jasmine. Pria itu beralih ke perut Jasmine yang besar. Mengusapnya dan menciumnya juga. Penuh kelembutan. Jasmine hampir menangis.

"Ayah pergi dulu, adek. Jaga bunda kamu." pamitnya lantas melambaikan tangan pada Jasmine. Masuk ke mobil dengan senyum terakhirnya yang indah.

Jasmine menutup pintu rumahnya cepat-cepat dan langsung merosot di lantai. Dia menangis, terisak cukup berat. Perutnya terasa nyeri sesekali tapi ia tak peduli. Dia merasakan bahagia sekaligus sedih secara bersamaan. Ini pertama kalinya Jasmine dicium oleh Vano tapi rasanya...perih. Jasmine tak bisa membayangkan lagi, bagaimana nanti dia hidup ketika Vano benar-benar meninggalkannya? Tanpa perhatiannya, pertolongannya. Rasanya lebih baik begini saja sudah tak apa-apa. Vano yang merasa bertanggung jawab pada Jasmine meskipun Vano tidak mencintai Jasmine.

Wanita itu menangis semakin pilu. Ya, Jasmine mulai mencintai suaminya sendiri.

***

Meminta mama untuk menemaninya dirumah ialah kebohongan. Jasmine berbohong supaya Vano bisa bekerja lega tanpa diusik oleh Jasmine disini. Dan wanita itu malas dengan ibunya sendiri karena omelan ketidak sukaannya sejak Jasmine mengandung. Seolah ibunya terpaksa menerima keadaan anaknya begini, terpaksa menerima Vano dan calon cucunya itu. Lalu alasan terakhir, karena Jasmine ingin berlatih hidup mandiri tanpa merepotkan siapapun.

Ini sabtu, besok Vano akan pulang. Jasmine sedang memakan serealnya dengan lesu sembari mengelus perut besar sembilan bulannya. Si kecil bangun dan bergerak aktif sekali membuat ibunya agak mulas. Tidak hanya pagi ini, kemarin juga mulas lebih sering. Di jadwal dokter sih, Jasmine masih akan melahirkan sekitar seminggu ke depan. Tapi entah kenapa mulas ini benar-benar datang berlebihan. Atau karena gadis kecil sedang mood bermain. Entahlah.

Jasmine memutuskan untuk tidur saja karena entah kenapa merasa lelah. Hormon ibu hamil memang mudah capek dan mengantuk. Diabaikannya rasa sakit perutnya dan beranjak ke kamar mandi untuk pipis, ketika ia terkejut bukan main. Jasmine mengalami flek dan itu tanda. Jasmine panik. Dia berjalan ke kamar dimana ponselnya tergeletak.

Merasakan perutnya yang semakin nyeri lebih dari sebelumnya. Nafas Jasmine tersengal karena takut. Dia flek, takut akan bayinya kenapa-napa, dan dia sendirian di rumah. Dilihatnya jam, masih pukul sembilan. Tak mungkin dia telpon Vano, dia pasti sibuk mengarahkan mahasiswanya lomba. Akan sangat menganggu nanti. Akhirnya Jasmine mendial nomor ibunya dengan gemetar.

"Ayo maa...angkat maa..." Gagal. Hanya operator. Lalu Jasmine beralih pada nomor ayahnya. Hasilnya nihil. Jasmine menggigit bibirnya, bingung siapa lagi yang akan ia hubungi. Dipencetnya nomor ponsel dengan perut yang semakin bertambah sakit.

"Assalamualaikum." jawab seseorang disebrang telpon.

"Waalaikumsalam. Tante Sus...ini Jasmine te...Jasmine minta tolong..."

"Jasmine? Kenapa nak? Kamu nangis?" kata Tante Sus, tetangga sebelah Jasmine.

"Perut Jasmine...sakit...sakit banget...te.." Jasmine menangis menahan perih.

"Ya ampun. Kamu dimana? Suami kamu mana?"

"Suami saya lagi di Jogja. Saya dirumah, tante. Sakit..." Jasmine merasakan ia mengeluarkan air kencing di celananya. Dan dia semakin menangis ketakutan.

"Kamu mulas? Tante segera ke rumah kamu ya, sama Om Sharman. Tunggu nak..."

Jasmine mengerang penuh kesakitan. Dan mengucap doa, jika dirinya tidak selamat. Setidaknya, anaknya harus hidup.

***

Melahirkan itu menyakitkan. Benar adanya bahwa melahirkan itu sama seperti ketika 20 tulang manusia serentak untuk patah. Nyeri bukan main. Jasmine hampir tak sanggup, nafasnya semakin pendek. Bagian kewanitaannya luar biasa pedih hanya untuk memperjuangkan anak semata wayangnya. Dia menangis. Berharap Vano disini, menemaninya. Meskipun Vano tak mencintainya, setidaknya Vano akan menenangkannya dengan pelukan.

"Vano..." rintih Jasmine.

"Ngejan lagi ya, bu. Ayo harus kuat. Kepalanya mulai keluar, bu." ujar dokter Jasmine. Selanjutnya, Jasmine mempertaruhkan apapun termasuk nyawanya supaya gadis kecilnya dapat menghirup nafas pertama kali di bumi.

"Vano...maafin aku..."

***

Vano membenahi duduknya yang terasa tidak nyaman. Tatapannya layang dan cemas menatap mahasiswanya yang sedang presentasi di depan hasil karya yang mereka kerjakan selama beberapa minggu ini. Padahal para mahasiswa arahan Vano begitu lancar dan cadas menjawab beberapa pertanyaan dari juri, tapi tetap saja Vano merasa ganjil dan aneh dihatinya.

"Kenapa, pak?" bisik Pak Arda, rekan sesama dosen arsitek di kampus Vano. Pria itu tersenyum kecut.

"Nggak tau, pak. Kok saya ngerasa nggak enak hati ya dari tadi pagi?"

"Lah, bapak takut punya ekspetasi tinggi kali buat mereka dapet juara satu. Makanya jadi worry gitu." kekeh Pak Arda bercanda. Vano menggeleng tak yakin.

"Bukan masalah lomba ini yang saya cemasin, pak."

Pak Arda terdiam. Salah waktu ketika dia mencoba bergurau.

"Coba hubungi dirumah, pak. Siapa tahu ada apa-apa. Bukannya istri pak Rivano lagi hamil tua ya?"

Jasmine.

Jantung Vano langsung berpacu keras. Dia minta izin untuk ke belakang dan menelpon Jasmine yang ada dirumah. Saat deringan ke lima, Jasmine mengangkatnya membuat lega membanjiri Vano.

"Halo, Jas. Kamu..."

"Vano?!! Kamu pulang sekarang!! Pulang!!" bentakan nyalang dari sebrang membuat Vano mencelos kaget. Itu bukan Jasmine, itu ibunya. Vano gemetar mendapati perintah keras tersebut.

"Kenapa, Ma? Jasmine dimana?"

"Dia ngelahirin dan kamu nggak ada dirumah?! Cepet pulang kamu, Vano!! Pulang!!"

Warna putih pucat menyebar di muka Vano. Keringat dingin juga membanjiri tubuhnya. Rasanya saraf Vano kaku bukan main. Dia tak bisa bergerak, bingung mau melakukan apa. Yang ada di otaknya hanya Jasmine, Jasmine, dan bayinya.

Vano limbung dan matanya berubah gelap.

***

ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now