5

6.6K 448 7
                                    

Jasmine baru saja selesai berganti baju dengan setelan kerjanya dan hendak menyiapkan sarapan ketika melihat Vano sibuk didapur. Jasmine mengerutkan kening mendapati buah-buahan segar dipotong dan dihidangkan dalam mangkuk tanggung, lalu suaminya mengaduk segelas besar susu putih.

"Kamu cuman mau sarapan ini?" tanya Jasmine kepada Vano. Lelaki itu menggeleng.

"Ini buat kamu semua. Terus ini, susu hamil. Diminum biar ibu sama adek bayi sehat." Jasmine masih terbengong mendengar jawaban Vano ketika Vano menyorongkan gelas susu ke tangan Jasmine. Dia tersenyum culas dan mengacak puncak rambut istrinya gemas.

"Aku mandi dulu."

Sepeninggalan Vano, Jasmine hanya menatap susu dan buah-buahan tersebut dengan pandangan takjub. Dia masih tak habis pikir, kapan Vano pergi ke super market untuk membeli susu hamil dan buah sebanyak itu? Jasmine menyentuh dadanya yang berdegub kencang. Dia merasa terlena sekali dengan perhatian kasat mata yang dibuat Vano. Entah apa yang ia buat di masa lalu sampai Vano berkorban hidup dan mati untuk Jasmine. Apakah Vano tengah merasa bersalah amat mendalam padanya karena sudah mengenalkan si brengsek Ian? Jasmine pikir itu benar.

Jasmine hanya mampu menggigit bibir berusaha mengenyahkan masa lalu, dan dengan senang hati melahap habis makanan yang dibuat Vano.

***

Satu lagi sikap berlebihan Vano selama dua pekan ini selain membuatkan susu hamil dan potongan buah untuk sarapan : mengantar Jasmine kerja. Bukan hanya sekedar mengantar lalu di drop di depan gedung. Lebih dari itu. Vano memastikan Jasmine selamat sampai di meja kerjanya.

"Romantis terus nih. Hati-hati bu, jalannya." sapa Pak Seno, satpam kantor Jasmine. Wanita itu harus menahan rona merah malunya setiap pagi, dan Vano hanya tersenyum santai.

"Terima kasih, Pak."

Vano berubah begini semata-mata karena tidak ingin kejadian fatal Jasmine pingsan terulang kembali. Cukup traumatik baginya. Maka dia rela terlambat absen dua puluh menit hanya untuk memastikan istri kesayangannya tidak akan memilih tangga menuju lantai kerjanya.

"Mbak Jas, mas Vano." sapa Vivian dan Barry rekan kerja Jasmine ramah. Sudah pemandangan yang biasa bagi mereka melihat pasangan ini datang bersama selama dua minggu ini. Mereka juga tahu alasan dari tingkah Vano yang kata Jasmine lebay.

"Aku kerja dulu ya." pamit Vano saat dia sudah mengantar Jasmine di lantai lima. Selalu begini. Mereka akan berpisah di depan lift, lalu Vano akan menunggu Jasmine hingga dia duduk di bangku kerjanya dari balik dinding kaca. Jasmine mengangguk tersenyum berterima kasih. Mencium tangan suaminya hormat.

"Makasih, ya. Kamu ati-ati."

"Iya. Nanti aku jemput kaya biasa."

Dan Jasmine masuk ke dalam ruang kerjanya, meninggalkan lambaian tangan untuk Vano sebelum lelaki itu pergi.

***

Vano melirik kecil Jasmine yang duduk agak jauh di sebelahnya. Membawa semangkuk potongan buah segar yang dibuat Vano untuk pencuci mulut. Jasmine mengunyah dadu semangka sembari ikut menyaksikan portal berita di tv yang Vano tonton.

"Van..." kata Jasmine diantara kunyahannya.

"Ya?"

"Aku...mau resign."

Vano melotot tak percaya. Dan Jasmine hanya memandangnya seolah berkata 'did i do something wrong?' dengan pipi kanan menggembung karena melon.

"Kenapa?"

"Uhm.. aku cuman mau fokus sama kehamilanku. Aku juga nggak mau ngerepotin kamu lebih banyak sampai harus nganterin aku ke ruang kerja terus kamu jadi telat absen. Aku juga harus jaga diri nggak melakukan hal-hal berat dan bikin stres. Kerjaan klo lagi deadline suka bikin frustasi kan." aku Jasmine mengatakan niatannya yang sudah bulat sejak beberapa hari lalu ia pikirkan masak-masak.

Jasmine kira Vano akan kesal karena membiarkan lelaki itu membiayai hidupnya dan anak yang bukan dari darah Vano, tapi Vano memang unexpected. Dia tersenyum lalu memeluk Jasmine reflek membuat Jasmine terkejut.

"Makasih, Jas. Kamu masih sayang sama anakmu." balas Vano tulus tanpa peduli bahwa ini kali pertamanya mereka berpelukan. Selama ini, tak ada aktivitas intim diantara mereka selain mengacak rambut, tidur satu selimut dengan saling memunggungi, dan sekedar bergandengan tangan supaya terkesan real menikah.

"Kamu...nggak marah?" tanya Jasmine ragu membuat Vano bingung.

"Marah kenapa?"

"Ya karena kamu bakal jauh lebih berat nyari duit buat hidup kita. Sewa rumah, makan tiap hari, obat hamil, susu hamil, dokter..." sebut Jasmine semua yang ia resahkan. Lagi-lagi Vano menjawab dengan sejuta senyum hangatnya. Lelaki itu memang memiliki senyum menawan.

"I'm a man, Jasmine. Itu udah kodratnya seorang lelaki untuk kerja buat keluarganya." kata Vano mengusap puncak kepala Jasmine.

Sungguh Jasmine tak mengerti. Dia lebih tak bisa menerima sikap Vano yang seperti itu. Harusnya Vano marah, kesal, dan menampakkan wajah ogah-ogahan. Bukannya girang bukan main. Yang bisa ia lakukan hanyalah menghela nafas.

"Cuman sebentar sampai anak ini lahir kok, Vano. Setelah itu aku bakal cari kerja lagi. Aku nggak mau nyusahin kamu lebih dalem. Aku masih punya tabungan buat hidup kita sementara ini, dan klo anakku nanti sudah besar. Aku yang akan tanggung biaya sekolahnya. Biar kamu nggak terbebani." balas Jasmine seolah perkataan ini tak akan menyakiti siapapun.

Seketika jiwa Vano lepas dari raganya. Dia tak merasakan sakit, tapi dia merasa kebas tak bersisa. Seakan patah hati yang dibuat Jasmine untuknya terlalu sering dan sudah menjadi kebiasaan bagi hatinya. Dan boom! Meledak lalu lenyap rasanya.

Vano menjauh, senyumnya memudar. Pancaran matanya hampa membuat Jasmine kebingungan mendapati perubahan mendadak Vano. Apa dia salah bicara? Bagian mana?

Dalam hati Vano tertawa keras yang amat pahit.

Kecanduan merasakan sakit, Vano?

Skak matt ketika dia menarik diri lagi dari elo?

Udah yakin klo selama ini dihatinya nggak pernah ada elo?

Enak rasanya diinjek, Vano?

"Vano?"

Vano mengganti chanel televisi dengan drama Indonesia yang ia sangka wanita akan menyukai acara seperti ini. Lalu mengulum senyum getir bermaksud pergi menjauh sejenak dari Jasmine.

"Aku mau lembur dulu. Kamu klo ngantuk tidur duluan ya. Jangan lupa diminum susunya." katanya dan beranjak dari sofa.

"Tapi...kamu beneran setuju kan aku resign?" tahan Jasmine seolah tak cukup menghunus kapak di antara jantungnya.

"Iya, Jasmine. Terserah kamu mau seperti apa. Aku akan dukung."

Seperti keputusanmu selalu menjauh dariku.

Vano pergi dengan kecewa.

***

ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now