29

6.5K 470 57
                                    

"Jas, Vano sudah biasa sendirian. Dia cowok yang mandiri."

"Kita akan jadi keluarga bahagia. Karena aku...ayah kandung Hana. Hana butuh aku, dan kita berdua butuh kamu. Maukah kamu mempertimbangkannya?"

"Bun...bunda..."

"Mungkin memang sulit bagimu. Tapi...aku mau nunggu kalau kamu bersedia."

"Jasmine!"

"Hah?!" seperti jiwanya ditarik kembali ke dasar bumi. Pandangan yang mengabur itu kini kembali fokus dan terpampang wajah Vano tepat dihadapan Jasmine dengan raut bingung.

"Kenapa?"

Vano mengerutkan keningnya kecil tanda tak suka. Jadi selama semenit tadi, Jasmine tidak mendengarkannya? Gerangan apa yang dipikir begitu serius oleh Jasmine?

"Kamu nggak dengerin aku ya?"

"Emang...ayah tadi ngomong apa?" tanya balik Jasmine. Sekonyong-konyong suara lagu dari televisi dan pekikan Hana terdengar, menggantikan musik hampa yang sedari tadi menyusup di hati Jasmine. Suaminya itu mendengus.

"Aku bilang, sabtu besok sudah nggak lembur. Jadi bisa ngajak Hana jalan-jalan lagi." ulang Vano menelisik apakah Jasmine akan kembali senang seperti dulu?

Tapi wanita itu malah mengusap wajahnya. Kemudian melanjutkan aktifitasnya mengaduk kopi. Sial, Ian jelas menyita sebagian otaknya membuat dia tidak konsen melakukan apapun.

"Terserah, yah. Terserah. Bunda ikut ayah aja. Kalau masih lembur juga nggak papa. Nggak ada yang ngelarang kan." ketus Jasmine frustasi. Memang beberapa minggu ini Vano sering lembur. Merelakan quality time mereka yang hanya bertiga tanpa Ian. Sehingga waktu bersenang-senang buat mereka bertiga itu diganti oleh Ian. Membuat Jasmine lelah, sedihnya lagi membuat Vano cemburu.

Mendengar jawaban Jasmine yang senewen, jelas mempengaruhi hati Vano. Dia sadar, sikap Jasmine kian hari kian berubah. Sejak perang dingin mereka tempo lalu mengenai 'takut omongan orang'. Romantisme keduanya terkikis oleh waktu. Vano tidak tahu, apakah dia kini menyesal sudah mengizinkan Ian masuk ke dalam hidup Jasmine lagi? Bak seseorang yang menjilat ludahnya sendiri, Vano sekarang tidak menyukai keberadaan Ian ditengah-tengah dirinya dan Jasmine. Yang paling sengsara adalah Hana yang sangat menempel pada lelaki itu. Karena Ian berkunjung setiap hari. Sementara Vano lembur hampir lupa waktu.

"Maaf. Aku janji besok sabtu nggak lembur." kata Vano murung mengingat betapa dia sudah melewatkan waktunya yang berharga.

"Hm."

Vano mengamati istrinya tersebut yang saat ini sedang membuat susu. Dilihatnya jam, pukul enam sore. Dan rumah nampak damai tanpa kedatangan sang pujangga Ian.

"Tumben Ian nggak dateng lagi?" tanya Vano melahap pepayanya. Jasmine melirik kecil Vano dengan sudut matanya. Memang sudah beberapa hari ini Ian tidak mampir kemari. Terakhir ketika dia memohon Jasmine untuk kembali ke sisinya. Sejak itu Ian tak muncul.

"Dinas luar kota. Ke Manado atau kemana gitu." mendengar jawaban Jasmine, Vano mendongak kaget.

"Kamu kok tahu?"

"Dia whatsapp aku."

"Kenapa dia nggak ngasih tahu aku juga?"

Reaksi Jasmine hanya menggeleng datar. Menyorongkan kopi Vano kepada pemiliknya.

"Mungkin dia nggak enak ganggu kamu. Ayah kan sibuk."

"Jas..." Ketika Vano bangkit dan meraih mug kopi untuk disingkarkan, tidak sengaja kulit mereka bersentuhan. Keduanya terdiam. Vano mungkin memang merindu bagaimana indahnya dirinya disentuh Jasmine. Tapi andai dia tahu, perubahan signifikan hati Jasmine kala ini. Wanita itu meraih telapak tangan suaminya, merasa tercekat saat dia merasakan betapa tangan lelakinya ini begitu kasar. Seperti selalu melakukan pekerjaan yang begitu berat. Jasmine menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca saat mengusap telapak tangan Vano. Telapak tangan yang menuntunnya ke jalan yang benar, yang menyayanginya, yang rela berkorban melindungi dirinya sejak Vano memilih untuk menikahi dirinya.

ETERNAL LOVENơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ