7

6.3K 450 7
                                    

Jasmine membuka mata perlahan tanpa sentakan. Tapi dia meringis mendapati sinar matahari yang cukup terang memasuki retinanya yang tak terbiasa. Jasmine mengerjap linglung dan merasakan disorientasi. Perlahan bangkit untuk meregangkan otot-ototnya yang sejak semalam cukup kaku.

Terasa berat dan dekat. Itu yang pertama kali Jasmine rasakan. Otomatis dia menoleh ke sisi kiri ranjang dan terkesiap. Vano –suaminya- tertidur memeluknya erat. Nampak baju kerja kemarinnya belum diganti, dan bekas handuk mengkompres jatuh disampingnya. Jasmine teringat, semalam ia demam dan meriang. Disentuhnya kening itu, tidak panas lagi.

Seketika Jasmine tersentil haru. Vano merawatnya sungguh-sungguh hingga ia dapat melewati malam kritis dan paginya sembuh total. Vano suaminya, tak pernah mengeluh. Selalu menomor satukan dirinya, dan ikut berperan dalam menjaga kehamilan Jasmine yang sepenuhnya tahu itu bukan darah daging Vano. Jasmine menutup bibirnya menahan isak tangis yang keluar, dan memilih untuk mengelus kening Vano hingga lelaki itu semakin nyenyak. Meringsek ke tubuh Jasmine tanpa sadar. Jasmine tersenyum.

"Terima kasih, Vano. Terima kasih akan kasih sayangmu. Aku janji...aku akan menjadi istri yang baik buat kamu."

Vano tersenyum dalam mimpi indahnya.

***

Vano menghabiskan sarapannya tergesa-gesa karena ia sudah sangat terlambat. Walaupun ia sudah izin ke progdi kalau dia sedikit telat dengan alasan istrinya sedang sakit, dia harus tetap datang cepat.

"Aku berangkat dulu ya." pamit Vano meraih ranselnya. Jasmine terkejut, dan mempercepat pekerjaannya membungkus makanan.

"Eh, Vano. Sebentar!!"

"Kenapa?" Vano balik lagi menatap Jasmine heran. Apalagi saat wanita itu menghampirinya dan menyerahkan tas bekal berwarna hitam dan biru.

"Ini apa?"

Jasmine malah tersenyum manis.

"Kakap sama capcay. Udah dipisah biar nggak basi nanti dimakan siang. Have a nice day."

Vano tak bisa menyembunyikan perasaan yang membuncah itu. Padahal hanya bekal sederhana, dan dia senang bukan main. Sudut bibirnya tertarik ke atas tak percaya. Jasmine sampai merona malu karena ini pertama kali membuatkan bekal pada suaminya. Duh, dia menyesal. Kenapa tidak dari dulu dia begini?

"Makasih ya. Kamu jangan hujan-hujan lagi. Baru juga sembuh." ingat Vano dan mengacak rambut Jasmine. Wanita itu terkekeh mengangguk senang.

"Ya udah sana berangkat. Udah siang."

Vano melotot dan mengangguk.

"Makasih ya, istri." gurau Vano berlari memasuki mobilnya. Tapi itu lebih dari sekedar candaan, sampai Jasmine membeku. Dia terpatung di depan pintu sampai mobil lawas Vano berjalan keluar dari rumahnya. Barulah dia tersenyum kecil nan manis, pipinya semerah buah persik.

"Sama-sama, suami."

***

Vano pulang dengan bersenandung. Dia benar-benar memiliki mood yang baik dikampus. Mahasiswa yang kerjaannya salah saja tidak ia marahi seperti biasanya. Hanya tertawa dan memerintahkan segera diperbaiki.

Mungkin berkat bekal keberuntungan. Masakan asli dari tangan istrinya. Benar-benar jimat.

"Hai." sapa Jasmine membukakan pintu sebelum Vano sendiri yang membukanya. Wanita itu tersenyum secerah matahari pagi, dan Vano membalasnya lebar juga. Tak lupa mengusap puncak kepala Jasminenya tersayang.

"Hai. Lagi ngapain?"

Keduanya masuk dan Vano mendapati tv menyala dan meja tamu berserakan jajanan pasar.

ETERNAL LOVEWhere stories live. Discover now