8

5.9K 424 9
                                    

Jasmine melihat Vano yang masuk ke kamar mereka setelah mengerjakan beberapa pekerjaan di ruang kerjanya. Wanita itu mengamati Vano yang tengah mengecek ponselnya sejenak, lalu mengusap perutnya yang membesar.

"Vano." panggil Jasmine lembut.

"Hm." jawab Vano masih tak menggubrisnya.

"Vano..."

"Ya?" masih menatap layar ponsel.

"Kesini!" Barulah Vano mendongak menatap Jasmine bingung. Wanita itu tersenyum misterius melambaikan tangan memerintahkan untuk Vano segera mendekatinya. Dan lelaki tersebut menurut.

"Kenapa?" Jasmine tidak menjawab pertanyaan Vano membuat dia bingung. Lantas Jasmine meraih telapak tangan Vano mendekat, dan meletakkannya di atas bukit perut itu. Vano mematung. Terlebih ketika Jasmine membuat senyum indah nan cantik hanya untuknya. Menyenangkan melihat reaksi Vano yang begitu.

"Dia bangun..." bisik Jasmine tak sedih sama sekali. Justru kebalikannya.

"...dia lagi main kayanya." imbuhnya menggerakkan tangan Vano untuk berkelakar disisi lain perutnya.

Yang bisa dilakukan Vano ialah, diam. Tak tahu harus berbuat apa. Merasakan gejolak kecil, kedutan lucu ditangannya itu membuat jantungnya seperti diremas-remas dalam arti positif. Bibirnya membuka tapi suaranya tak keluar.

"Lucu kan?" tanya Jasmine senang. Vano mengangguk kaku. Nafasnya memburu.

"Ini...dia...dia udah bisa...gerak?" tanya balik Vano tersendat.

"Udah lama sebenernya. Cuman kemarin-kemarin nggak gitu aktif. Yang ini kayanya seneng banget bikin aku kegelian. Sampe bikin aku teriak saking bandelnya nendang-nendang didalem."

Jasmine menyaksikan reaksi itu dari yang kaku, sampai bola mata Vano berkaca-kaca. Bisa saja semua orang menertawakan Vano sekarang karena kentara sekali lelaki itu mau menangis. Tapi tidak bagi Jasmine. Dia terenyuh melihat suaminya itu merasakan bayinya tumbuh pesat dan sehat dan nakal didalam perut ibunya. Sekali lagi Jasmine teringat, kalau bayi ini bukan bayi Vano. Tapi Vano mencintai bayi ini seperti Vano mencintai Tuhannya sendiri.

"Dia lucu banget, Jas." Vano membuncah tertawa bahagia, mengelus perut Jasmine mengikuti pergerakan anak itu dengan seksama. Si kecil nampak menendang di segala arah, bermain dengan riang.

Jasmine tak balas tertawa juga. Dia hanya meraih jemari Vano dan mencengkramnya erat. Menatap suaminya penuh haru.

"Ini anak kamu, Vano. Anak kita."

Jasmine dimata Vano sangat cantik mengucapkan dua kalimat indah itu. Dibalik temaramnya lampu tidur. Jasmine menggenggam tangannya tanpa ragu, meyakinkan Vano bahwa si kecil yang sedang bermain itu milik Jasmine dan Vano seorang. Tak ada yang lain. Di rumah kecil mereka.

Senyum culas Vano keluar. Air matanya hampir keluar, dan dia memilih untuk menunduk. Mengeratkan pegangan Jasmine dan mencium perut Jasmine lama tanpa disangka-sangka membuat getaran dahsyat ditubuh Jasmine. Si kecil senang dicium papanya.

"Jangan nakal, adek. Bunda sama...Ayah disini."

Jasmine mengusap air mata bahagianya.

***

Semua berjalan normal kembali. Dan semua terasa indah ketika pernikahan yang diawali dengan tanggung jawab semata, menjadi penuh kasih sayang. Seperti biasa, ketika Jasmine melihat kamar lain yang dijadikan Vano ruang kerjanya nampak berantakan, Jasmine menggeleng kesal. Suaminya itu kadang suka memberantakan rumah tanpa sadar. Naluri keibuannya bekerja. Jasmine membereskan kertas-kertas gambar hasil tangan Vano dan menumpuknya agar rapi. Pensil warna, penggaris, debu rautan, semua Jasmine bersihkan.

Rivano memang suka menggambar sejak kecil. Passionnya itu ia teruskan sampai sekarang menjadi sarjana arsitek. Dan ketika Jasmine menjalin hubungan dengan Ian, Vano memilih menghindar untuk sekolah lagi dan menjadi dosen. Ketika Vano kembali, Jasmine sudah berbadan dua.

Jasmine menghembuskan nafas lelah. Mengapa mendadak dia mengingat masa lalu. Sekarang ia harus menutup masa lalunya. Meskipun dosa dan rasa bersalah pada Vano terus membayangi, ia tak mau lagi mengungkitnya. Jasmine disini hidup untuk masa kini dan masa depan. Tak ada lagi masa lalu. Tak akan ada lagi Ian.

Di tengah kesibukannya membereskan meja Vano, Jasmine menangkap sesuatu yang asing. Sebuah surat yang sudah dibuka dan dibaca. Tergeletak di meja seolah tak hiraukan sang empunya.

"Surat terima proyek pembangunan hotel..." Jasmine tertegun. Membaca dengan seksama dan memastikan kalau ini memang benar surat suatu proyek kerja sama. Melibatkan Vano, suami Jasmine untuk bekerja sama dalam pembangunan apartemen di suatu tempat ini.

Jasmine terdiam. Melihat kolom tanda tangan yang harusnya dibubuhi tanda tangan Vano. Tapi itu tidak ada, kosong. Vano belum setujukah? Mengapa tak bilang pada Jasmine terlebih dulu?

"Kamu dapet proyek, Van?" tanya Jasmine kemudian. Vano yang baru masuk setelah mencuci baju membulatkan kedua bola matanya sempurna. Tapi dia hanya mengedikkan bahunya cuek, melangkah menuju kulkas untuk mengambil air minum.

"Kok nggak tau sih, Van?" tanya Jasmine lagi meletakkan surat proyek itu ke meja makan.

"Aku tolak, Jas. Itu apartemen ada di Bali. Klo aku ngerjain disini sih nggak papa. Tapi harus tinggal di Mes sana selama enam bulan, ya aku nggak mau lah." terang Vano datar mengibaskan kausnya yang keringetan. Jasmine semakin bingung.

"Lho, emang kenapa? Kamu nggak suka tinggal di Mes?"

"Bukan. Enam bulan disana, jauh dari kamu. Terus kamu sendirian disini. Klo kamu ada apa-apa gimana? Mending disini aja ngajar kaya biasanya."

Seketika Jasmine membisu. Jadi Vano menolak kesempatan besar cita-citanya itu demi Jasmine? Demi dirinya, Vano lagi-lagi berkorban dan meninggalkan hal yang disukainya? Sungguh Jasmine merasa kecil hati. Ia tak pantas menerima kebaikan Vano yang melimpah.

"Maaf...Vano..." murung Jasmine sedih terduduk di kursi meja makan. Vano yang menyadari perubahan sedih Jasmine segera mendekatinya. Berlutut menatap matanya sendu.

"Hei, nggak perlu minta maaf. Nggak papa. Aku lebih seneng disini jagain kamu. Jagain bayi kita. Aku juga nggak akan bisa kerja klo jadi kesana, mikirin kamu yang jauh." Vano mengusap pipi lembut Jasmine dengan sikap menenangkan. Wanita itu menunduk sedih.

"Gara-gara aku..."

"Bukan gara-gara kamu, Jas."

"Tapi ini cita-citamu kan, Van. Ngerancang bangunan besar. Dan aku..."

"Kamu sama dia..." Vano beralih pada perut menggelembung Jasmine,"...juga cita-cita aku. Dan sekarang bener-bener aku pingin ngewujudin yang ini."

Tetap saja. Jasmine merasa tak enak. Walaupun seribu kali Vano bilang tak apa-apa, baginya malah masalah. Dia mengekang hidup Vano. Membuat Vano harus terpenjara dirumah berpetak ini. Mengurusinya, memberatkannya, merepotinya. Jasmine benci pikiran ini.

"Kamu prioritasku sekarang. Uang bisa dicari dari tempat lain. Klo memang kesempatan ini aku tolak, akan ada kesempatan lain. Life is so full of unexpected. Oke?"

Vano mengusap kepala Jasmine sayang. Hingga wanita itu memejamkan mata, meraih tangan Vano untuk digenggam erat. Menciumnya hormat penuh permohonan maaf. Vano tersentuh.

Maaf, Vano. Lagi-lagi aku menyakitimu.

***

ETERNAL LOVENơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ