7

1K 192 80
                                    

👑 🦊 👑

👑 🦊 👑

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🍁🍁🍁

Hari ini—tanggal 9 Maret—untuk kesekian kalinya Jiyeon berkata pada dirinya sendiri: "Aku akan bercerai dari Seokjin." Tanggal 15 Maret sekonyong-konyong terasa sangat dekat, waktu yang diperkirakan pengadilan memutus sidang cerai dan akhir pekannya Seokjin menikahi Sera.

Berita pernikahan itu dia dapat dari penjahit rumah mode Elie Saab yang mengabarinya, salah sangka, mereka pikir gaun dibuat untuk merayakan tujuh tahun pernikahannya dengan Seokjin. Ada jarum kecil serasa tertarik di ujung relung hati terdalam sampai paru-parunya, saat penjahit itu berbicara penuh kebahagiaan mengabari gaun sudah hampir jadi.

"Gaunmu hampir selesai Jiyeon, ya ampun, suamimu romantis sekali," katanya. "Seokjin datang sendiri kemari, memilih model dan memintaku menjahitnya dengan cepat."

"Elena, gaun itu bukan untukku," ucap Jiyeon dengan tenggorok yang tersekat.

"Oh, maaf—aku pikir, aduh, aku benar-benar minta maaf."

Jiyeon tidak menyangka Seokjin akan bertindak secepat ini, dia bahkan belum ada persiapan sama sekali. Lalu pembicaraan tentang hak asuh Reeya ikut mencuat dari pikirannya yang kusut. Reeya akan diasuh bersama-sama, pembagian hari sama rata. Keputusan terakhir yang dia bicarakan dengan Seokjin, meski dia tidak rela Reeya tinggal satu rumah dengan pelacur itu.

"Aku ingin Reeya tidak diperebutkan, aku ingin semuanya berakhir dengan baik."

"Tidak ada hal berakhir baik di antara kita, semenjak kau mengirimkan seorang pelacur untuk suamimu sendiri, Jiyeon. Aku akan memenangkan hak asuh Reeya—"

"Seokjin," sela Jiyeon, menurunkan ego dan memohon. "Hanya Reeya yang aku punya, tolong, kita—akan membaginya sama rata."

"Kau lupa, kalau selama ini kau juga punya aku yang bersedia melakukan apa saja untukmu, tapi kau tidak pernah menganggapnya. Apa kau tahu, kalau itu menyakitiku, Jiyeon?"

Tatanan kata sanggahan tertahan begitu saja di ujung tenggorok, dia tidak ingin membahas perasaan Seokjin terhadapnya karena tekatnya sudah bulat.

"Ah, sepertinya aku saja yang sakit," gumam Seokjin, tapi bisa didengar jelas oleh Jiyeon. "Pergilah, jangan pernah datang lagi. Kita—sudah selesai."

Haruskah dia merasa bersalah pada Seokjin, karena tidak bisa membalas perasaan kepadanya? Bukankah cinta tidak bisa dipaksakan? Anehnya, Jiyeon merasakan hal sebaliknya.

Dering ponsel mengalihkan atensi Jiyeon. Ayahnya menelepon hanya untuk bilang, dia harus segera mengklaim saham Hyunjin atas nama Reeya, sehingga bisa memberi suara pada Hoseok.

"Ayah, aku tidak bisa melakukannya."

"Kenapa tidak bisa? Kau berhak mengurusnya sampai Reeya cukup umur, kau tidak melanggar aturan, Jiyeon."

Tuan Kim dan Sang PelacurWhere stories live. Discover now