{pulang (2)}🌌

1.3K 102 12
                                    

Hari yang ryan tunggu, kepulangannya. Setelah dinyatakan membaik oleh dokter, ia diizinkan untuk pulang. Jika dihitung, 14 hari sudah ia berada di rumah sakit.

Dia tak merasa kesepian, banyak orang mengunjunginya. Mulai dari guru sekolah, teman-teman sekelasnya, dan pernah sekali pak tomo menjenguknya. Hanya dia, ya dia. Yang tak pernah menemui ryan.

Meskipun keluarga leta sering mengunjunginya, tak sekalipun matanya menangkap sosok leta. Setiap ia bertanya, mereka hanya menjawab dengan seulas senyuman dan gelengan kepala.

Apakah leta benar-benar pergi?

Sebegitu bencinya kah leta padanya?

Ryan bertanya-tanya, lamunannya terhenti tepat ketika mela menepuk bahunya. Ia menoleh, yang ia lihat adalah mela yang tengah tersenyum kearahnya.

"Udah sampe.... "

Ryan baru sadar. Ia menghela napas pelan, sepertinya mulai hari ini hidupnya akan berubah. Ya, tanpa gadis itu.

"Kuat jalan? "

Ryan mengangguk, namun tubuhnya justru bertentangan dengan jawaban yang ia berikan. Aldi dengan sigap menahannya.

"Kalo gak kuat yang bilang, nyet! Nyari kesempatan ya lo sama bebeb mela! "

"Awww!! " pekiknya.

Mereka saling merangkul ryan, dan itu memberikan efek untung kepada mela. Pasalnya, ia bisa mencubit pinggang aldi.

"Kok dicubit sih yank? "

"Omongan tuh dijaga! "

Aldi menggaruk tengkuknya gatal sembari meringis pelan, baru disadari bahwa ryan sedari tadi termenung. Entah apa yang pemuda itu pikirkan.

"E-eh, yan. B-bukan maksud gue n-ngomong kaya gitu."

Ryan mendongak seraya tersenyum tipis, "gak papa kok di."

Ia menatap kosong ke depan, namun hal itu justru membuat mela khawatir.

"Yan, are you okay?"

Ryan mengangguk, "gue oke, cuma pusing sedikit."

Mela mengangguk lalu memberi isyarat pada aldi untuk membawa tubuh pemuda itu memasuki rumah. Di ambang pintu mereka disambut oleh beberapa kerabat ryan, bunda eva dan ayah vito langsung memeluknya.

"Welcome to home sayang.... "   bunda eva mengecup kening ryan.

Sementara ryan hanya tersenyum tipis, walaupun kini rumahnya ramai namun hatinya masih sepi. Ia menunggu kehadiran gadis itu.

•°•°•°•°•

Kedua insan ini tertawa melihat pemandangan di depan mereka, sesekali si gadis menyenderkan kepalanya pada bahu si lelaki. Mereka nampak seperti sepasang kekasih.

"Ish, kak degooooo! "

"Hahaha"

Mereka kembali tertawa, tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitar mereka.

"Kok pipi leta merah? "

Leta memalingkan wajahnya. Sekali lagi, dego menjawil hidung mela.

"Kakak berhenti gak?!! "

Tawa dego semakin membahana, sementara pipi leta semakin bersemu merah.

"Iya-iya, jangan ngambek gitu dong jelek tau."

Leta menahan senyumnya, namun tak bisa.

"Nah, gitu dong. Calon pacarnya dego harus cantik."

"Idih, siapa juga yang mau jadi pacar kakak."

"Masa? Terus selama ini nempel sama gue, maksudnya apa? "

Dego kembali tertawa ketika leta memalingkan wajahnya sembari menahan malu, tanpa mereka sadari seseorang menatap mereka dengan tangan terkepal.

"Lo keparat go! Pengkhianat! "

Ia memukul pohon disampingnya, tak peduli jika kini tangannya terluka. Tanpa ia sadari, seseorang sedari tadi memperhatikannya.

"Selamat menikmati za.... Lo dan semua orang kesayangan lo, akan menderita.... " gumamnya.

•°•°•°•°•

Ryan mendudukan dirinya di sofa keluarga, rumahnya kini dipenuhi oleh sahabat, keluarga, serta keluarga nia. Mereka tampak antusias atas kepulangannya.

"Gimana yan? Udah enakkan? "

"Udah kok ma, lebih baik daripada kemarin."

"Syukurlah."

Sepintas obrolan itu ryan lakukan dengan mama tena yang duduk disampingnya. Di saat semua orang tengah sibuk dengan obrolannya, dia menoleh ke arah dr. Rio.

"Dok...."

Ia menoleh, "kenapa? Sakit? "

Ryan menggeleng, "leta? "

Tubuh dr. Rio menegang, apa yang harus ia jawab? Apakah ia harus kembali berbohong pada ryan? Ayolah, pemuda itu terlalu banyak menanggung kesakitan.

"Dia.... "

Jawaban dr. Rio menggantung, hingga suara deringan ponsel menyelamatkannya.

"Hallo."

"Maaf dokter, ada keluarga pasien yang ingin bertemu anda."

"Oh, baiklah. Saya akan segera kesana."

Dr. Rio memutuskan panggilannya, ia beralih menatap ryan.

"Yan, ada panggilan dari rumah sakit. Dokter pergi ya? "

Ryan menghela napas kecewa, lalu tersenyum tipis sembari mengangguk. Dr. Rio mengusap rambut ryan pelan, kemudian ia bangkit dan berpamitan dengan yang lain.

Seusai dr. Rio pergi, ryan memegang lengan bundanya. Bunda eva menoleh.

"Kenapa? "

"Kamar, ryan cape."

Bunda eva menatap ryan dengan sorot mata khawatir.

"Ada apa yan? Sakit? "

Ryan menggeleng, "gak bun, ryan pusing. Pengen istirahat."

"Sini, bunda bantu."

Ryan bangkit dalam rangkulan bunda eva. Namun, ayah vito lebih dulu menghentikannya.

"Biar ayah aja bun, bunda ambil air sama obat terus bawa ke kamar ryan. "

Bunda eva mengangguk, tatapan ayah vito beralih pada aldi. Paham atas apa yang dimaksud ayah vito, aldi segera membantunya membawa ryan ke kamar.

•°•°•°•°•

Hai!!

Cuma mau tanya pendapat, di cerita ini kalian lebih suka sama karakter siapa?

Adegan apa yang paling kalian suka?

Tokoh mana yang gak kalian suka?

Terakhir, reaksi pertama kalian dulu waktu baca cerita ini apa?

Komen-komen ya....

Bye....

Cokelat love story (END) Where stories live. Discover now