{akhir}🍁

2.5K 126 15
                                    

Mereke kembali seperti semula, diiringi canda tawa mereka bermain bersama. Hubungan mereka semua membaik. Pada akhirnya semua kehidupan akan menemui akhir.

Namun, mungkin kebersamaan mereka tak bertahan lama. Hari ini, tepat hari ke-5 mereka menikmati kebahgiaan lagi-lagi kesedihan itu datang.

Ryan entah mengapa merasakan rasa sakit itu lagi. Ditengah semuanya berkumpul, ia memekik kesakitan. Sontak saja itu membuat panik semua orang.

Lagi dan lagi, sosok Ryan harus berjuang. Pintu ruang rawat terbuka, menampilkan sosok Dr. Rio dengan wajah murung.

"Ryan baik-baik aja, kan?"

Dr. Rio menghela napas pelan, lalu menggelengkan kepalanya pelan.

"Jantung dari Abi ternyata gak cocok buat Ryan. Komplikasi."

Leta membekap mulut tak percaya, air matanya meluruh. Baru saja ia merasa bahagia haruskah ia mengakhirinya?

"Tak ada harapan lagi, maaf...."

Mereka terduduk lemas, sungguh mereka tak sanggup untuk kehilangan lagi. Sudah cukup.

•°•°•°•°•

Mata itu kembali terpejam setelah beberapa hari terbuka, kesedihan tak henti-hentinya melanda. Tangan dingin miliknya tergenggam oleh seorang pemuda disana.

"Kenapa harus lo Yan?"

Hening, hanya suara detak jantung Ryan pada mesin itu yang terdengar.

"Kita nungguin lo, kita kangen sama lo Yan."

Setetes air mata terjatuh dari matanya, ia menangis dalam diam.

"Gue cengeng, ya? Mirip sama Rendi tayiong, lo kapan bangun lagi? Tidur mulu, gak cape apa?"

Suasana kembali hening.

"Maaf, tangan lo jadi basah."

Ia mengusap tangan Ryan lembut. Ditatapnya sahabat yang paling ia sayangi, mengapa takdir begitu jahat hingga ini semua terjadi pada Ryan?

"Yan, gue tau gue banyak salah sama lo. Buat lo marah. Sorry, bukan gue gak peduli tapi gue sayang sama lo. Cuma gue gak tau gimana cara ngungkapinnya."

Isakannya terdengar, "beri gue jawaban Yan, kasih gue alasan semua ini. Gue pengin nikmati waktu sama lo, gue sayang sama lo. Sahabat terbaik yang gue punya."

Ruangan itu diisi oleh suara isakannya. Genggamannya mengerat pada tangan dingin Ryan, tak lama jemari putih itu bergerak. Membuatnya menoleh pada Ryan.

Kelopak mata itu terbuka, menampilkan iris mata biru kristal yang menenangkan.

"Di...."

Aldi tersenyum, "lo bangun?"

Ryan mengangguk, "pa-pang-gil se-mu-a."

Aldi mengangguk, dengan segera ia memanggil semua orang yang menunggu diluar. Kini, ruangan itu terisi penuh.

"Kenapa?"

"Ma-ka-sih."

Bunda Eva menggeleng, "gak perlu, ini semua memang kewajiban kita."

"Le-ta."

Leta mendekati Ryan, ia paham Ryan membutuhkannya.

"Iyan kenapa?"

"Ma-af."

Leta menggeleng, "gak usah minta maaf. Iyan gak salah."

Garis-garis pada mesin disamping ranjang Ryan berubah tak beraturan, diselingi dengan nafas Ryan yang tak teratur. Mulut Ryan terbuka, mencoba menangkap oksigen. Namun, nihil.

Cokelat love story (END) Where stories live. Discover now