[24] Priority

12.5K 754 1
                                    

Anna baru saja keluar dari rumahnya dan berencana untuk pergi ke mansion Danzell. Entah kenapa, dia memiliki feeling yang tidak enak mengenai pria itu.

Anna menyetir mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi, ingin segera tiba di tempat tujuannya.

Tetapi kekhawatiran timbul di hati Anna karena dia merasa ada sedan hitam mengikutinya sedari tadi. Anna sengaja membelokkan mobilnya ke kiri, ke jalan sempit, tetapi mobil itu tetap mengikutinya.

Anna mempercepat mobilnya, khawatir sekaligus cemas. Rasanya ingin menangis sekarang.

Sedan hitam yang mengikutinya itu semakin mengebut, dan sekarang berhenti tepat di depan mobil Anna. Anna langsung mengerem mobilnya mendadak.

'Oh, God. Aku akan mati. Danzell... Please.' Anna segera menekan nomor Danzell, menunggu pria itu menjawab.

Anna melihat 2 pria dengan wajah menyeramkan turun dari mobil sedan hitam itu.

"Danzell, please!" Anna menggigit bibir bawahnya. Dia takut setengah mati saat ini! Anna mulai memejamkan matanya, siap-siap untuk apa yang akan terjadi setelah ini.

Saat 2 pria itu hampir sampai di mobilnya, Anna mendengar suara tembakan.

Anna membuka matanya perlahan, dan melihat 2 orang itu sudah terkapar di aspal.

Anna melihat teman Danzell menghampiri mobilnya dan mengetuk kaca jendelanya.

Anna membuka pintu mobil dan turun.

"You okay?" Anna menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan Ben.

"I'm Ben. Sahabat Danzell."

"Dimana Danzell?"

"Dia sedang menghabis... Maksudku... Dia sedang ada urusan."

"Aku tahu bahwa dia seorang mafia." Ben menghela napas, lalu menceritakan semuanya pada Anna.

Mengenai pertemuan mereka dengan Paul beberapa saat yang lalu. Bagaimana Paul menghancurkan kehidupan paman Danzell.

"Apa Danzell baik-baik saja? Kenapa kau yang menjemputku? Kenapa..."

Belum sempat menjawab rentetan pertanyaan Anna, smartphone Ben berbunyi.

Ben langsung mengangkatnya, berusaha mengontrol raut wajahnya saat mendapat kabar dari salah satu temannya bahwa Danzell tertembak dan sekarang sedang dibawa ke rumah sakit.

Ben memasukkan smartphonenya kembali ke dalam saku celana.

"Kita harus pergi sekarang."

"Apa Danzell baik-baik saja?" Kali ini mereka bertatapan, membuat Ben tak bisa membohongi wanita di depannya ini.

"Danzell tertembak dan sekarang sedang dibawa ke rumah sakit."

"No. No... Dia..."

"Anna... Please, tenangkan dirimu. Danzell pasti akan baik-baik saja. Ayo, ikut denganku dan kita akan langsung ke rumah sakit." Anna menarik napas sedalam-dalamnya dan menghembuskan napasnya, berusaha menenangkan diri.

Anna langsung menganggukkan kepalanya, setuju akan ajakan Ben, dan sama sekali tak memedulikan mobilnya. Karena saat ini, keselamatan Danzell adalah yang utama bagi dirinya.

***

Saat tiba di rumah sakit, Anna bisa melihat orang tua Danzell berada di depan ruang operasi.

Saat melihat Anna, tangis Belinda langsung pecah kembali. Wanita itu memeluk Anna erat dan menangis.

"Anna... Anakku... Danzell." Anna menepuk punggung Belinda, berusaha menenangkannya.

Sedari tadi Anna berusaha positive thinking, tak ingin memikirkan yang macam-macam. Tapi setelah bertemu Belinda yang menangis, Anna langsung ikut meneteskan air matanya.

"Danzell..." Belinda terus menerus memanggil nama anaknya, sangat takut akan kemungkinan buruk yang terjadi.

Setelah beberapa jam menunggu, dokter pun keluar dari ruang operasi. Orang tua Danzell dan Anna otomatis langsung berdiri.

"Keluarga Mr. Linwood?"

"Yes. Dokter, bagaimana kabar anak Saya?"

"Untuk saat ini, Mr. Linwood masih dalam kondisi kritis. Tapi operasi berjalan dengan lancar. Sebentar lagi kami akan memindahkan Mr. Linwood ke ruang rawat inap dan kalian bisa mengunjunginya. Saya permisi dulu." Anna menatap dokter itu dengan kerutan di dahi, tetapi langsung terfokus pada Danzell.

Kini orang tua Danzell dan Anna bisa bernapas sedikit lega setelah mengetahui bahwa operasi yang dijalani Danzell berjalan lancar.

Anna mengeluarkan smartphonenya, memberi kabar pada Ben bahwa operasi Danzell berhasil.

Lalu Anna menelepon Rebecca, berusaha sebisa mungkin menghindari menelepon pamannya, karena pamannya pasti akan sangat marah karena malam-malam seperti ini dia tak ada di rumah.

"Anna, Oh My God. Where are you?"

"Becca, saat ini aku ada di rumah sakit."

"Oh, God! Apa yang terjadi?! Apa kau..."

"I'm fine, Becca. Aku disini karena Danzell... Aku tak bisa menceritakannya sekarang, Becca. Aku hanya ingin mengabarimu bahwa aku tak akan pulang malam ini. Aku harus..."

"Baiklah, Anna. Kau jaga dirimu baik-baik disana, okay?"

"Iya, Becca. Sampaikan juga pada Uncle Chris."

"Pasti, sayang."

"Thanks, Becca. Love you."

"Love you too, honey."

Next update: Minggu

[2] Tamed By Miss. Spencer (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang