BAB 2

659 30 1
                                    

Kuas itu menari-nari. Kanvas yang awalnya putih kini sudah berubah. Bukan warna-warni yang beragam. Hanya ada dua warna saja. Hitam dan putih. Gambarnyapun tidak bisa dibilang bagus, karena coretan itu hanya bisa dimengerti oleh pelukisnya saja. Alunan musik pop rock mengema ditelinga Fransisca. Ia menyukai kagiatannya yang satu ini. Melukis sambil menikmati alunan musik. Serasa dunia hanya miliknya.

"Frans.." suara itu sudah memanggilnya hampir lima kali. Namun pemilik nama masih diam, terlalu terbuai dengan kegiatannya.

Merasa ada tepukan kecil di pundaknya, Fransisca melepas heardphone berwarna hijau tosca dengan perpaduan warna putih itu. Fransisca mendongak melihat siapa yang berdiri di sampingnya. Ternyata itu Diana, mama Fransisca.

"Adek makan dulu ya, udah jam makan siang." Memang Diana selalu menaruh perhatian lebih kepada Fransisca.

"Iya Mah."

Diana tersenyum, ia mendorong kursi roda milik Fransisca. Sesekali mereka tertawa. Ada sepasang mata yang menatap dari balik pintu, ia menatap penuh iri. Tapi perasaan itu segera ia tepis. Nggak, dia lebih butuh kasih sayang dari pada gue, batinnya menguatkan.

Kursi roda itu berhenti di ujung pintu yang memisahkan antara halaman belakang dengan dapur. Keadaan rumah yang terkesan terbuka membuat halaman belakang dan dapurnya hanya dibatasi oleh kaca. Diana terdiam, ia menatap putrinya itu dengan datar, "udah pulang kamu?"

Perempuan itu berusaha menyungingkan senyum. Meski otot wajahnya begitu kaku, "udah Mah. Baru aja nyampek rumah. Kalian udah makan?"

"Belum Kak, ini kita baru mau makan. Kakak ganti baju deh, terus gabung sama kita di meja makan," ujar Fransisca.

"Tumben kamu pulang siang? Biasanya sore kalau nggak malem baru sampek rumah."

Alice yang tadinya menatap Fransisca kini berganti menatap Diana, "ada rapat guru Mah. Jadi hari ini pulang cepet."

"Mama nggak tahu kalau kamu pulang cepet. Jadi mama nggak masak banyak."

Mending gue ngajak Kei tadi, batin Alice. Diana kembali mendorong kursi roda milik Fransisca. Bukan berhenti di dapur, tapi Diana mengantar ke kamar anaknya itu. Fransisca sebenarnya tahu, sejak kejadian sepuluh tahun yang lalu membuat hubungan Diana dan Alice merengang.

"Mamah mau ajakin kamu jalan-jalan. Jadi, sekarang kamu ganti baju dulu ya. Sekalian kita makan siang di luar," ujar Diana membongkar isi lemari milik Fransisca. Memilih beberapa pakaian yang cocok untuk dikenakan putrinya itu.

===

Kei merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur berbentuk mobil balap kesayangannya itu. Selain menjadi kapten basket, Kei juga menyukai dunia balap. Walaupun begitu ia sama sekali belum pernah mencova berada di area balap. Bisa diomelin mamanya kalau sampai terjadi.

"KEI! Mandi dulu!" teriakan itu mengema di rumah yang hanya dihuni oleh tiga orang saja.

"Udah mandi Mah!" Kei membalas ucapanMaya, mama Kei.

"Awas kalau bohong! Mama sunat lagi baru tahu," ancamnnya.

Seketika Kei langsung memegangi burungnya dengan kedua tangan, "abis dong Mah. Nanti nggak bisa buatin cucu buat Mama."

"Aborsi."

"Lah Mah? Belum bikin udah di aborsi."

"Adopsi maksud Mama! Buruan mandi!" Maya kembali menutup pintu kamar anak lelaki semata wayangnya itu.

Angin yang masuk membuat Kei menatap keluar, ia melangkah menuju balkon. Kamar di seberangnya masih tertutup rapat. Lo kemana? tanyanya dalam hati.

Kei masih berdiri di balkon kamarnya. Mengamati setiap jengkal sudut balkon yang berjarak beberapa meter darinya. Ia merindukan kenangan yang pernah tercipta di sana. Kei tersenyum hambar.

Dret...dret...dret...

Getaran di kantongnya membuat Kei goyang. Ia segera mengambil handphone warna hitam yang di sudut kanan dan kirinya ada dua nama. Nama Kei ada di bagian kanan. Dan nama Alice ada di bagian kiri. Jika tidak benar mengamati, kalian tidak akan menemukan kedua nama itu. Karena Kei memilih warna hitam yang senada dengan handphone nya.

Mantan kesayangan

Kei!!!!!!!!!
Gue laper:'(

Sini ke rumah gue, nyokap masak banyak:p

O

tw!!!!

Chat singkat dari Alice yang membuat Kei kembali tersenyum. Baru beberapa menit membalas, Alice sudah berdiri di belakang Kei. Maklum saja mereka sudah bertetangga lama. Jadi Alice sudah dianggap menjadi bagian dari keluarga Kei. Acara mandipun gagal. Kei memilih menemani Alice makan di rumahnya. Lagipula Maya tidak mempermasalahkannya.

"Nggak dikasih jatah makan lo? Rakus amat makan lo." Kei menatap sudut wajah Alice, "gue jadi kenyang lihat buaya makan."

Alice mengunyah makanannya dengan cepat, "en...aj...lo...om.."

"Telan dulu baru lo ngomong."

Dia menuruti perkataan Kei, "enak aja lo ngatain gue buaya. Kalau gue buaya lo apa buyut cicak?"

"Gue pawangnya hahah...."

"Gak lucu badak! Gue mau lanjut makan, jangan ganggu."

====

Rumah dengan gaya simple dengan ornamen Italy itu terlihat sepi. Mobil jaz berwarna merah memasuki perkarangan rumah. Lelaki itu keluar dari mobil, ia berjalan dengan jaket kulit dan tas yang melekat di badannya. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Tatapannya datar, rahangnya yang runcing itu semakin membuat dirinya terlihat sempurna.

"Amedeo, udah pulang?" sapa perempuan yang lebih tua tiga puluh tahun darinya.

Tatapan Alle menyipit, kedua alisnya menyatu. Membuat pemilik terlihat menakutkan untuk sesaat, "jangan panggil gue Amedeo! Lo nggak tahu kalau gue benci nama itu?!"

Venny, tante Alle membiarkan saja Alle masuk ke dalam kamarnya. Lelaku itu perlu beristirahat. Alle melempar tas pungungnya ke sembarang arah. Ia melepas kancing seragam sekolahnya. Getaran di saku celananya membuat Alle bangkit.

Nico

Nanti malem ke sini kan lo? Gue nggak mau tahu lo harus ke sini:'(

Y

Sudah sering Alle mengingatkan kalau dia tidak mau berdekatan dengan Nico. Tidak ada seorangpun yang Alle harapkan akan menjadi temannya. Meski begitu Nico tetap saja menganggu kehidupan Alle. Membuatnya dengan sangat terpaksa menerima kehadiram Nico.

Handuk yang tadi bertenger rapu kini sudah bergantu posisi di bahu Alle. Alle membuka lemari pakaiannya. Ia mengambil baju yang berasa di bagian atas. Selembar kertas jatuh menimpa wajah Alle sesaat. Bukan kertas, tapi sebuah foto. Seketika rahang lelaki itu mengeras, nafanya mulai memburu. Semua barang yang tadi rapi di atas meja, sudah menyentuh lantai. Emosi menguasainya. Foto yang kini sudah berada di lantai masih menghantui pikirannya.

Foto itu menampilkan anak lelaju yang sedang tersenyum lebar memperlihatkan gigi ompongnya. Kedua tangannya terbuka lebar, terlihat begitu bahagia di pundak lelaki berambut pirang itu. Di samping mereka ada perempuan berambut panjang yang manis. Kulitnya tidak terlalu putih, namun terawat.

"Brengsek! Brengsek! Ah!" teriak Alle kehilangan kendali.
====

07.03pm

Filantropi [SELESAI]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora