BAB 7

429 27 0
                                    

Tempat ini adalah rumah kedua baginya. Hampir setiap hari Alle menghambiskan malamnya di sini. Entah sekedar minum vodka atau berdansa dengan wanita. Yang terpenting, semua bebannya serasa hilang.

Sekarang Alle sedang duduk bersama Nico di sofa yang dikerubungi beberapa wanita dengan mini dress. Tidak ada kegiatan sebenarnya di sana. Hanya bercerita sedikit tentang kemajuan club milik Nico ini.
Hal yang menyebalkan adalah, melihat Nico yang senaknya bermesraan di tempat umum. Seperti sekarang. Ia sedang berciuman dengan salah satu wanita yang bernama Ica.

Alle kembali meneguk vodka yang tinggal setengah gelas itu, mengacuhkan keberadaan Nico. Tatapan mata Alle berkeliling, melihat apa yang sedang beberapa orang lakukan. Ada yang bercumbu, ada juga yang tertawa, atau memilih duduk dengan kumpulan asap rokok miliknya. Hal yang selalu terjadi setiap hari di sini.

"Gue cabut," ujar Alle menepuk pundak Nico. Nico melepaskan pelukan Ica.

"Udah di sini aja dulu. Baru juga jam satu, udah mau cabut aja lo. Kayak anak prawan pulang malem takut diomelin."

Alle tidak memperdulikan ucapan Nico. Ia bangkit, lalu berjalan keluar. Nico yang memanggilnya kewalahan, karena Alle tidak menengok ke arahnya sedikitpun.

Keras kepala, batin Nico.

Kini Alle sudah berada di balik kemudi. Tangannya berputar memijit pelipis yang mulai pening itu. Ia masih berusaha sadar, lalu menginjak pedal gasnya. Jalanan begitu lengang membuat Alle dengan cepat sampai di rumah. Rumah yang sudah sepuluh tahun terakhir ia tempati.

Alle masuk ke dalam rumah dengan hati-hati. Ia tidak mau membangunkan siapapun, termasuk tantenya.

Untung tante udah tidur,batinnya.

Baru satu tangga Alle melangkah, "Dari mana kamu?"

"Bukan urusan Tante." Jawab Alle.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aroma alhkohol berhasil masuk ke dalam hidung Venny. Membuat Alle segera menutup mulutnya karena menyadari kesalahnya itu.

Sial! Bisa mampus gue, batin Alle.

"Kamu mabok kan?! Jawab! Tante tau apa yang kamu lakuin selama ini. Jangan kira kamu bisa seenaknya kayak gitu ya. Sekali lagi tante tau kamu mabok..."

"Kenapa? Tante mau ngusir Alle?!" bukannya takut, Alle seakan menantang Venny dengan ucapannya barusan. "Alle udah gede. Ini kehidupan Alle, kalau Tante nggak suka mending Alle pergi aja dari sini."

"Alle!"

"Mulai besok Alle mau tinggal di apartemen."

"Nggak! Tante nggak ngijinin kamu tinggal di sana. Kamu masih tanggung jawab tente," ujar Venny yang sudah tidak dihiraukan Alle. Alle berjalan masuk ke dalam kamar dan terlelap.

===

Hari libur adalah hari yang membuat seorang Alice betah menutup mata. Tepat pukul sembilan waktu Indonesia bagian barat, Alice masih ditemukan dengan selimut tebal yang menutup hampir semua tubuhnya.

Sinar mentari yang membuat kamar miliknya semakin terang juga tidak membuatnya bangun. Ia mengeliat, mengaruk kepalanya dan kembali terlelap.

Kamar milik Alice terlihat berantakan. Kulit kuaci yang sudah tiduran di lantai dan beberapa kemasan coklat yang menambah tingkat kekotorannya itu, membuat seseorang yang baru membuka pintu mengelengkan kepala.

"Ini anak udah siang belum juga bangun."

"Alice!" Nadanya tinggi membuat pemilik nama itu langsung duduk. Matanya masih separuh terpejam, kemudian kembali merebahkan tubuhnya.

"Kamu denger Mama ngomong nggak sih? Bangun udah siang. Anak gadis kok suka bangun siang." Gerutu Diana.

"Nanti."

"Nanti jam berapa? Yaudah kalau kamu mau di rumah sendirian. Mama, Papa sama Adek mau pergi."

Dengan semangat empat lima, Alice membuka mata. "Aku ikut, lima menit Alice mandinya."

Benar, ia cuma mandi dalam waktu lima menit. Lalu pergi ke bawah. Tatapannya menatap Kei.

Anjir, kalau tau mantan gue ikut mending gue tidur lagi, batin Alice.

"Udah siapkan? Yaudah masuk," ujar Rafki yang dibalas anggukan dari semuanya.

Alice masuk terlebih dahulu, ia duduk di kursi paling belakang. Fransisca dibantu Kei duduk di depan Alice. Alice menghiraukan mereka berdua.

Di perjalanan Alice memilih menyumpali telingannya dengan headset. Ia memilih mendengarkan lagu that should be me milik Justin. Sesekali bibirnya yang tipis menirukan lagu itu tanpa mengeluarkan suara.

That should be me, holding your hand That should be me, making you laugh That should be me, this is so sad
That should be me
That should be me
That should be me, feeling your kiss That should be me, buying you gifts This is so wrong I can't go on
Till you believe
That should be me

Lagu yang tepat di saat yang tidak tepat. Tepat untuk hatinya, tidak tepat karena waktunya. Ia tidak mungkin merenunggi lagu ini dan menangis sekarang. Tatapan Alice menuju jalanan. Tidak terasa jika ada bola mata yang diam-diam meliriknya. Ingin mengusap rambut hitam miliknya. Atau merindukan aroma vanilla dari tubuhnya.

"Kak Alice dengerin lagu pakek headset. Tapi headset nya nggak nyangkut," ujar Fransisca menyadarkan kesalahan Alice.

Alice menatap kabel headset itu. Sial, gue ketauan lagi galau. Mana mantan di depan, bikin gamon aja, gerutunya.

"Heheh...lupa kalau belum nancep."
Mereka sudah sampai di salah satu restoran Italy. Restoran itu milik Rara, tante Alice dan juga Fransisca.

Restoran yang menyediakan masakan khas Italy, membuatnya tidak pernah sepi hampir setiap hari restoran ini penuh.

Kling..

Bunyi pintu yang sedang terbuka. Aroma vanila masuk ke dalam indra penciuman. Setiap kali pergi ke sini Alice selalu menutup matanya. Menikmati aroma yang membuatnya tidak pernah bosan. Arsitektur tempat ini mengingatkan Alice, membuat dirinya rindu kembali ke negara itu. Negara yang pernah ia tempati, dulu.

"Buon pomeriggio, pesan apa? " ujar waiter itu dengan sopan.
*selamat siang

Fransisca membolak balik buku menu itu, "Pasta carbonara, risotto, dan lasagna. Oiya, tambah dessert classic tiramisu sama gelato."

"Pizza sama emm..sama sushi," ujar Alice dengan senyum.

Kei langsung menatap Alice, "kalau begok jangan kebangetan ngapa. Ini restoran Italy mana ada sushi?"

"Serah gue dong mau pesen apa. Kali aja ada sushi di sini. Yaudah saya pesen pizza sama macaroni. Satu lagi nambah pasta aglio olio."

"Samain aja kayak dia," ucap Kei membuat Alice terdiam. Fransisca hanya berpura-pura tidak perduli. Padahal hatinya sudah berteriak tidak karuan.

"Lasagna sama ayam parmigiana, dua" ujar Rafki.

"aspetta un minuto." waiter itu meningalkan meja setelah selesai mencatat pesanan.
*tunggu sebentar

Kling...

Pintu kembali terbuka. Membuat Alice yang tidak melakukan apa-apa menatap ke arah pintu. Ngapain itu orang ke sini? batinnya.

Alice menghiraukan tatapan itu. Ia kembali memainkan handphone miliknya. Meski sesekali tatapannya melirik ke meja yang berada di ujung ruangan.

"Tuhan selalu punya rencana ditiap waktu. Jadi mulailah terbiasa dengan hal itu."

===

Filantropi [SELESAI]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt