BAB 4

489 30 0
                                    

"lo mau bareng sama gue?" perkataan Kei membuat Alice melirik ke arah Fransisca. Ternyata Fransisca masih fokus dengan makanan di hadapannya.

"Oiya Lice, hari Papa nggak bisa nganterin kamu. Ada meeting pagi ini. Kamu bareng aja sama Kei," ujar Rafki, papa Alice.

Meja makan kembali hening. Harusnya dengan mudah Alice mengiyakan ucapan mereka. Bukannya dia bahagia bisa dekat dengan Kei? Seandainya semua seperti dulu. Mungkin gue bakalan seneng sama lo terus Kei. Tapi untuk saat ini ada hati yang perlu gue jaga, batin Alice.

"Kak Kei nanti pulang sekolah bisa anterin aku ke toko buku nggak?" Fransisca meeltakkan sendok yang sudah tidak ia gunakan lagi.

"Bisa." Kei yang sudah terlebih dahulu menghabiskan makanannya menyenggol lengan Alice, "ayo berangkat."

Alice menundukkan kepalanya. Ia tidak enak hati dengan Fransisca. Walaupun terlihat biasa saja, namun ia tahu kalau adiknya itu sedang cemburu. Kei menatap Alice yang masih diam, "buruan elah. Gue nggak mau telat cuma gara-gara lo ya."

"Iya bawel, brisik banget sih lo." Alice mendengus kesal. Ia mennagkap kunci motor yang dilempar oleh Kei. Ini yang Alice benci. Setiap mereka berangkat bersama, selalu Alice yang membonceng Kei. Motor ninja itu melaju dengan kecepatan sedang. Kei melingkarkan tangannya, memeluk Alice dari belakang. Biarkan saja, Alice juga butuh bahagia sebentar.

====

Membosankan. Itu satu kata yang selalu ada di kehidupan Fransisca. Lagi-lagi ia harus homeschooling. Pelajaran yang membosankan. Mungkin tidak membosankan jika Fransisca punya teman. Terakhir kali Fransisca merasakan bangku sekolah yaitu kelas dua SD. Rindu rasanya ia ingin mengulangi masa itu. Jika saja kejadian itu tidak pernah emnimpanya. Mungkin saja Fransisca bisa bersekolah dan mendapatkan teman seperti kakaknya Alice. Seandainnya.

"Udah siap?" tanya Intan, guru yang mengajar Fransisca.

Fransisca masih berada dalam lamunannya. Sesak dadanya menginggat takdirnya sendiri, "bisa nggak kalau sekarang libur dulu? Aku lagi nggak mood belajar Kak."

"Ada masalah? Mau cerita sama kakak?" Fransisca sudah mengangap Intan sebagai kakaknya sendiri. Intan menuruti permintaan Fransisca. Fransisca memang cepat menangkap semua mata pelajaran, sehingga tidak membuat Intan kewalahan menghadapinnya.

"Kalau Kakak suka sama seseorang, udah deket sama dia. Tapi Kakak tahu seberapa dekat, seberapa Kakak terobsesi dengan dia. Dia bukan takdir Kakak. Apa yang bakalan Kakak lakuin?"

Intan terdiam, "tergantung. Kalau itu buat Kakak bahagia, pasti Kakak pertahanin. Rasa itu bisa berubah seiring berjalannya waktu."

"Satu lagi Kak. Kalau ternyata hati dia cuma buat satu orang dan mereka saling cinta. Jahat nggak sih aklau aku ada di antara mereka?" tanya Fransisca lagi.

"Jahat, itu sama aja kamu merusak kebahagian mereka. Tapi kamu nggak salah, karena kamu juga berhak bahagia."

"Meski kebahagiaan itu membuat orang lain terluka?" Fransisca menatap lekat mata perempuan itu. Mencoba mencari jawaban. Namun Intan hanya tersenyum. Apa dia sudah benar melakukan ini? Tapi untuk sekarang ini sulit bagi Fransisca berhenti. Mungkin sudah tidak bisa.

Intan menemani Fransisca yang kembali melukis. Lagu beralunan cepat itu memenuhi pendengarannya. Ia sudah terlena dengan kanvas dan kuas di tangannya. Kini bukan hanya ada dua warna saja. Bukan hanya hitam dan putih, tapi ada merah. Tiga warna yang kini mengabung dalam kanvas. Fransisca dengan telaten mengusap kuas itu. Senyum terbesit di sana. Mereka serasi, batinnya.

Meskipun Fransisca menyukai dunia lukis sejak lama. Tidak mudah umtuk melukis takdie seseorang. Takdir yang suatu saatbakan menjadi bagian dari lukannya.

"Kayaknya ini berarti buat kamu," ujar Intan yang sedang mengamati gambaran Fransisca.

"Sangat. Di sini ada tiga hati, dua mencintai dan satu berharap." Fransisca menatap nanar kanvas itu, "mencoba merelakan dan menerima luka. Jika waktunya tiba aku nggak tahu bakalan kuat atau sekarat."

"Emang kamu ngelukis apa? Rangkaian teka-teki? Atau sebuah puzzle?" Intan mengerutkan keningnya.

"Lebih tepatnya curahan hati," jawabnya.

Waktu begitu lama. Fransisca tidak suka menunggu Kei pulang sekolah. Waktu yang membosankan katanya. Meskipun kejadian tadi pagi membuatnya terbakar api cemburu, Fransisca tetap diam. Berusaha mengondisikan emosinya sendiri. Disela lamunannya, kedua tangan yang sedikit kasar sudah menutup matanya. Ia tahu itu siapa.

"Kak Kei?" Fransisca melepaskan tangan itu, sehingga ia bisa melihat siapa yang melakukannya.

"Jadi beli buku?" Fransisca tidak bisa menyembunyikan wajah bahagiannya. Meskipun di situ ada Intan, ia tidak peduli. Fransisca mengiyakan ucapan Kei.

Sudah biasa rasanya ia melihat pemandangan seperti ini setiap harim pelukan yang seharusnya menjadi miliknya. Senyuman yang hanya ditunjukkan untuk dirinya. Sepasang tangan yang selalu mengenggam jemarinya. Bohong, jika Alice bilang tidak merindukannya. Gue rindu sama lo Kei. I still love you, batinnya.

===

Filantropi [SELESAI]Onde histórias criam vida. Descubra agora