BAB 5

495 28 0
                                    

Alle berjalan cepat melewati koridor. Bukan karena dia terlambat atau di hukum lagi. Tapi karena banyak perempuan yang sudah mengikutinya di belakang. Alle memilih masuk ke dalam gudang. Lagipula tidak ada siapapun yang bisa melihatnya di sini. Dasar cewek dikira gue diskon apa diserbu terus? batin Alle.

Telinga Alle sudah tersumpal earphone berwarna merah dengan perpaduan warna hitam dan putih itu. Sesekali kepalanya mengangguk, mengikuti musik yang sedang ia dengarkan. Kegiatan yang selalu ia lakukan hampir setiap hari. Mendengarkan musik di gudang yang terletak di belakang kantin.

Suara berisik dari luar mengusik ketenangan Alle. Alle kembali membuka earphone nya. Ia berjalan keluar dari gudang. Anjir, kucing. Gue kira apa, batinnya.

"Hus...hus...jauh..jauh dari gue..aggkk!" teriakan dari arah belakang membuat Alle membalikkan badan. Dia lagi, batin Alle.

Perempuan itu terlihat ketakutan,"Lo takut sama kucing?"

"Menurut lo? Udah usirin itu kucing dong. Kok lo diem sih? Budek?" Tanyanya.

Lucu juga, batin Alle saat melihat kelakuan perempuan itu. Tanpa Alle sadari, seutas senyum terlihat di wajahnya.

Ngapain dia senyum sih? Dipikir nggak pegel apa berdiri di atas kursi? batin Alice memaki lelaki di hadapannya.

"Kucingnya udah pergi. Bisa turun nggak lo? Perlu gue bantu?" tanya Alle mengulurkan tangannya.

"Nggak perlu, gue bisa sendiri," ujar Alice mengambil ancang-ancang.

Bruk!

"Aww...!" Alice meringis kesakitan.

"Mending tadi gue bantu biar lo nggak jatuh. Makanya kalo mau turun hati-hati jangan asal lompat." Baru kali ini Alle bisa berbicara panjang dengan orang lain.

Alice mengerucutkan bibirnya. Tangannya memegangi kaki kiri, masih terasa sakit. Melihat itu Alle segera membopong tubuh Alice. Alice yang tadinya tidak siap, meronta-ronta. Tapi percuma. Tenaga Alle lebih banyak dibandingkan dengan tenaganya. Alice memilih menengelamkan kepalanya, ia tidak suka dilihati seperti itu dengan fans Alle. Ingin rasanya ia menghilang sekarang.

Anjir! Anjir, anjir...gue jadi mirip tersangka. Abis ini siap-siap gue jadi objek bully, batin Alice berteriak.

"Turunin gue, fans lo bikin darah gue berhenti," bisik Alice.

Alle diam, ia tidak memperdulikan sekitarnya. Tidak mendengarkan teriakan fans yang sebenarnya membuat telingannya sakit.

“gue mau juga dong di gendong.”

“anjir, keren banget.”

“aggg…sakit hati dedek bang.”

“ganjen banget sih sama bebeb gue.”

"Alice?" Suara itu membuat Alice menoleh. Tatapan mata mereka bertemu sejenak, sebelum Alle kembali melanjutkan jalannya.

Kei mengekor di belakang.
Ruang UKS terlihat sepi. Alle merebahkan tubuh Alice dengan hati-hati, "Kaki lo masih sakit?"

"Lo kenapa Lice? Lo nggak papakan? Mau gue antar pulang sekarang?" Bukan dari Alle pertanyaan itu, tapi dari Kei yang berdiri di belakang Alle.

"Gue nggak papa kok. Cuma masih sakit dikit."

Alle duduk di samping ranjang Alice. Ia menatap perempuan itu lekat, "Hei bule, ngapain lo melototin gue?"

Dada Kei sesak. Untuk pertama kalinya Alice mengacuhkan dirinya. Kei menatap wajah Alle, dari awal mereka dekat Kei jadi tidak pernah menyukai Alle.

"Lo cantik," ujar Alle membuat Alice dan Kei mengangga.

"Gombal terus, ada gue di sini! Nggak usah sok mesra deh lo. Mending pergi, biar gue yang jaga Alice." Tatapan Kei sudah tidak lagi bersahabat.

Alle mengerutkan keningnnya,"Nggak suka lo lihat gue sama Alice? Yaudah pergi sana. Gue masih mau di sini."

"Mending lo semua keluar, gue mau tidur!" Nada bicara Alice sedikit meninggi. Ia tidak mau melihat perdebatan tidak penting ini. Karena Alice benar-benar tidak mau diusik. Ia memejamkan mata, berpura-pura tidur. Asik juga direbutin cogan, batinnya.

===

Karena kakinya sakit ia jadi tidak punya pilihan. Dengan terpaksa Alice harus mau diantar pulang Kei. Beruntung, hari ini Kei membawa mobil. Dengan perlahan Kei membantu Alice berjalan. Demi mengantar Alice pulang, Kei rela tidak mengikuti latihan basket. Demi lo gue rela ngelakuin apa aja Lice, batin Kei.

"Bukannya hari ini lo latihan?" Tanya Alice saat Kei sudah dalam posisi duduk di balik kemudi.

Kei menginjak pedal gasnya, "Lo lebih penting dari urusan gue. Gue nggak bisa tenang lihat lo yang kesakitan."

Sebenarnya bukan kata manis, tapi berhasil membuat jutaan kupu-kupu terbang di perut Alice. Perasaan itu kembali ada, selalu ada sebenarnya. Tapi Alice terlalu pintar menyembunyikannya. Hening. Lagu scorpions menemani kecangungan mereka.

If we'd go again
All the way from the start
I would try to change
The things that killed our love Yes, I've hurt your pride and I know
What you've been through You should give me a chance
This can't be the end
I'm still loving you
I'm still loving, I need your love I'm still loving you

Puas, itu yang dirasakan Kei. Lagu ini mewakili perasaannya. Yes! I'm still loving you, Lice, batin Kei.

Alice tidak berani menatap Kei. Ia memilih membuang muka menatap jalanan yang sedang ramai. Ada rasa sesak di dadanya mendengar lagu ini. Alice tahu, Kei berusaha memberi tahu dia tentang hatinya. Sori Kei, gara-gara kemauan gue lo jadi sakit hati. Gue emang nggak pantas buat lo, batin Alice.

Satu air mata menetes, segera Alice seka sebelum Kei melihatnya. "Lo tahu Lice, sesuatu yang dipaksa itu nggak akan baik."

"..."

"Kayak perasaan gue misalnya. Emang lo udah nggak cinta lagi sama gue?"

"..."

"Lice, jawab gue. Nggak ada kesempatan lagi buat kita balikan?" Kei memegang erat kemudinya. Menatap ke arah Alice yang membisu, "Sorot mata lo beda Lice, gue tahu kalau sebenarnya lo masih cinta sama gue. Lice.."

Alice mengatur nafasnya, "Stop! please Kei jangan bahas ini lagi oke?. "

"Gue salah tanya kek gitu? Lice, gue sayang sama lo."

Gue juga Kei, batin Alice. Kali ini Alice memberanikan diri menatap ke arah Kei, "Dari awal kita sahabatan, jadi nggak sulitkan kalau kita kayak dulu lagi? Lo harus paham kondisi gue sekarang Kei. Mungkin lo bener kalau gue egois, kerena gue mentingin kemauan gue sendiri. Kalau lo jadi gue, lo bakalan lakuin apa yang gue lakuin."

"Oke kalau itu mau lo. Gue mau sahabatan lagi kayak dulu. Gue cuma minta satu aja Lice," ujar Kei masih dengan tampang seriusnya.

"Apa?" Suara Alice parau.

"Jangan pernah nyuruh gue lupain lo. Jangan pernah nyuruh gue jauh dari lo. Jangan pernah nyuruh gue berhenti jatuh cinta sama lo. Jangan, sekalipun gue memintanya, Lice."

Alice masih mencoba memahami permintaan Kei. Kata itu terlalu cepat meluncur. Membuat dada Alice tidak siap menerimanya.

Bukan cuma lo yang sakit Kei. Gue jauh lebih sakit dari lo, batin Alice.

Mobil berwana putih itu berhenti di depan gerbang. Alice membuka pintu, tapi tangan Kei menghalanginya. Alice mematung. Tangan besar itu sudah memeluknya. Hangat. Pelukan yang masih sama. Pelukan yang selalu saja Alice rindukan. Kei memelukknya, begitu erat. Hanya lima menit, lalu Alice pergi.

Alice menatap sebentar Fransisca yang ternyata sudah berada di depan gerbang. Fransisca yang hanya diam duduk di atas kursi roda itu melihat kejadian selama lima menit. Kejadian yang membuatnya sesak.       

"Kalau sudah mencangkup permasalah hati siapa yang bisa disalahkan? "   
===

Filantropi [SELESAI]Where stories live. Discover now