BAB 25

309 20 0
                                    

Fransisca sedang belajar berjalan di belakang rumahnya. Kei ada di sana untuk membantunya. Meski belum benar-benar bisa berjalan normal. Setidaknya Fransisca sudah bisa melangkah perlahan.

“awas, pelan-pelan,” ujar Kei yang berdiri di depan Fransisca.

Satu langkah…dua langkah…

Fransisca kembali terjatuh. Beruntung selalu ada Kei yang sigap menolongnya. Fransisca kembali duduk di kursi roda. Cukup latihan pagi ini menurutnya.

“kalau nanti aku udah bisa jalan lagi, aku mau satu sekolah sama Kakak,”: ujar Fransisca.

“makanya kamu harus semangat latihannya. Jangan ngeluh terus.”

Fransisca tersenyum. Harapannya kini terkabul. Kei menjadi miliknya. Rasanya kebahagiaannya sudah lengkap. Ia mempunyai keluarga yang menyayanginya. Dan Kei yang selalu ada untuknya.

“itu Kak Alice kan?” tanya Fransisca mempertajam penglihatannya.

Kei yang menghadap Fransisca harus membalikkan badannya. Benar, itu memang Alice.

Lo semalem dari mana Lice? batin Kei.

Alice menatap ke halaman belakang. Ia menemukan Kei dan Fransisca. Semakin hari mereka semakin bahagia saja, membuat dada Alice sesak. Tidak terasa gengaman gelas di tangan Alice menjadi erat.

“Alice!” suara itu membuat Alice tidak sengaja menjatuhkan gelas.

“Mama.”

“kenapa pulang? Dari mana aja kamu? di rumah ini ada aturannya, kalau kamu memang udah nggak mau tingal di rumah yaudah pergi. Mama sama papa nggak mau punya anak yang bisanya cuma keluyuran nggak jelas,” ujar Diana.

“Mama ngusir Alice? Ada Alice atau nggak di rumah prioritas Mama cuma Fransisca kan? Lama-lama aku jadi muak sendiri Mah. Sebenarnya mama sama papa itu anggap Alice nggak sih?”

Rafki datang karena mendengar keributan. Sedangkan Fransisca dan Kei tetap berada di sana. Dari tempat mereka berdua suara pertengkaran itu memang tidak terdengar. Hanya gerakan tubuh yang bisa Fransisca maupun Kei lihat.

“ada apa sih Mah?” tanya Rafki memegangi pundak istrinya.

Diana semakin terbakar emosi,”Mama cuma mau ngingetin.”

“Alice udah, kamu masuk aja ke kamar,” ujar Rafki dengan lembut.

Untung saja Raflki tidak seperti Diana yang gampang menuduh Alice.

“kenapa kamu masih belain dia? Bisa nglunjak anak itu nanti Pah,” ucap Diana tidak terima.

Alice yang baru saja melangkah berhenti menatap Diana yang masih menatapnya, “emang Alice nggak pernah bener di mata Mama.”

“…”

“Mau Mama apa sih?! Alice juga capek Mah, dimarahin terus. Apa Fransisca pernah Mama marahi? Semua keasalahan di mata Mama itu cuma salah Alice!”

“udah berani kamu lawan orang tua?!” nada Diana semakin meninggi membuat Fransisca dan Kei semakin jelas mendengarkannya.

“Mah udah! Alice masuk kamar.”
Perkataan Rafki rupannya tidak bisa menghentikan adu mulut keduannya, “oke, Alice bakalan keluar dari rumah.”

“mau jadi apa kamu di luar sana?! Jadi gelandangan?!” ujar Diana lagi.

Alice pergi membawa sisa-sisa kekecewaannya. Ia masuk ke dalam kamar, mengeluarkan sebagian bajunya. Tidak lupa juga novel pemberian Alle ia ikut sertakan masuk ke dalam tas. Tekatnya sudah bulat, percuma bertahan di rumah ini. Bukannya rumah harusnya tempat untuk pulang? Tidak bagi Alice. Rumah adalah tempat mendapatkan luka.

Ia sudah siap membawa satu tas gendong. Alice keluar dari kamar, ia biarkan kamarnya tidak terkunci. Rafki yang sedang duduk membaca koran menatap Alice, “Alice kamu mau ke mana?”

“pergi cari kehidupan baru.”

“dengerin papa, mama kamu tadi lagi emosi. Dia nggak berniat ngusir kamu Lice.”

Alice mengelengkan kepalannya,”Alice tahu diri kok Pah buat pergi. Alice udah capek tinggal di sini, nggak ada yang ngertiin Alice. Maafin Alice Pah.”

“Kak Alice..” panggilan itu tidak menghentikan langkah Alice untuk pergi.

===

“gue tidur di mana ya?” ujar Alice.
Sudah satu jam ia berjalan tanpa tujuan. Alice mengamati restoran di sampingnya, “dibutuhkan karyawan/karyawati berumur 17-23 tahun. Keknya gue bisa kerja di sini.”

Alice memasuki restoran yang sedang ramai pengunjung itu. Ia menghampiri meja kasir, “Mbak di sini lagi nyari lowongan kerja ya?”

“iya, Mbak mau daftar?” tanyanya yang dibalas angguklan Alice.

“Mbak jalan lurus dari sini terus belok ke kanan, di situ ada ruangan yang punya restoran. Mbak bisa pergi ke sana.”

“terimakasih,” ujar Alice.
Alice berjalan mencari ruangan itu. Ia mengetuk pintu  di hadapannya. Setelah mendegar suara perintah untuk masuk baru Alice membuka pintu. Ia mengerutkan kening, perempuan yang masih sibuk dengan telepon di gengamannya itu terlihat tidak asing banginya.

“tante Venny?”

“Alice? Duduk Lice,” ujarnya.

“jadi restoran ini milik Tante?” tanya Alice yang masih tidak percaya dengan semuanya.

“iya, kamu ada keperluan apa Lice ke sini?” Alice bingung harus bicara dari mana. Tapi sepertinya lebih baik jika dia menceritakan semuanya.

Venny diam mendengar cerita dari Alice. Ada perasaan kasihan yang terbesit di hatinya, “kamu bisa kerja di sini. Dan tempat tinggal, kamu bisa tinggal di rumah tante.”

“jangan di rumah Tante, bukannya gimana-gimana sih Tan. Emang di sini nggak ada ruangan kosong?” tanya Alice.

“sebenernya ada, tapi udah lama nggak kepakek jadinya kotor.”

Dengan mata berbinar-binar Alice tersenyum, “boleh Alice tempati? Nanti biar Alice sendiri yang bersihin.”

“boleh.”

===

Kali ini Alle tidak berniat untuk membolos menemui dokter Davit. Buktinya hari ini ia datang tepat waktu, dan sepertinya Venny masih berada di perjalanan menuju ke sini. Davit membuka pintu, senyumnya terukir melihat satu pasien yang dirindukannya datang.

“om kira kamu lupa” ujarnya basa-basi.

“Alle kira Om yang lupa.”

Mereka tertawa. Pintu kembali terbuka, menampakkan Venny yang baru saja tiba. Venny mengambil kursi duduk di samping Alle.

“jadi bagaimana?”

“akhir-akhir ini Justin udah nggak muncul Om. Tiap kali Alle bisa nahan emosi, dia nggak pernah ganggu Alle. Dan kejadian itu, Justin juga yang udah bunuh Papa,” ujar Alle.

Davit menganguk-anguk memahami penjelasan Alle,”sebisa mungkin kamu tetap harus mengontrol emosi. Justin itu ada karena emosi kamu yang tidak tersalurkan. Sebenarnya, om juga sudah menebak siapa pelaku pembunuhan itu.”

“jadi, Alle udah nggak perlu ke sini lagi kan Om?” tanya Alle.

“kalau kondisi kamu semakin baik Om rasa nggak perlu. Tapi ingat, jangan sembunyiin apapun. Bisa bahayain diri kamu sendiri nanti,” jawab Davit.

“kalau gitu kita permisi pulang,” ujar Venny.

“Maafin Alle ya Tan kalau buat Tante marah. Alle juga udah nggak sopan sama Tante,” ujar Alle yang menyesali semua sikapnnya.

“iya udah tante maafin sekarang. Oiya tante lupa, Alice sekarang kerja dan dia juga tinggal di restoran tante.”

“hah?! Emang dia kenapa Tan?”

“kamu tanya aja langsung ke dia.”
===

Filantropi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang