BAB 3

572 29 0
                                    

Alunan musik begitu keras. Namun bagi semua orang di sini tidak merasa terganggu. Justru mereka menikmatinya. Melngak-lenggokkan tubuhnya mengikuti alunan musik. Tertawa keras atau sekedar meneguk minuman. Di sudut ruangan yang tidak jauh dari dance floor, seorang lelaki berdiri mengapit batang rokok di jemari tangannya. Asap mengepul, menyapa beberapa orang yang melintas. Lelaki itu tidak peduli dengan pandangan perempuan yang menginginkan dirinya. Pikirannya kosong. Tidak benar-benar kosong. Hanya saja percikan masa lalu kembali menghantuinnya. Damn! batinnya.

Ini adalah rokok ketigannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu di sini. Asap terakhir dan ia membuang putung rokok, lalu menginjaknya. Tatapannya amsih datar. Lengan vaju ia tekuk hingga siku tangannya. Kemanapun dia melangkah, tatapan perempuan-perempuan itu tidak akan mau lepas. Setelah ia meneguk satu gelas vodka, orang yang ia tunggu datang.

Cengiran kuda yang mujarab ia perlihatkan, "sori gue telat. Lo nggak lamakan nunggunya?"

Ia mengeleng, "enamouluh lima menit. Tiga rokok, satu vodka dan lo datang."

"Yaudah deh sori. Nggak usah ngambek sama gue. Malam ini gue mau ngajak lo seneng-seneng." Nico merangkul pundak Alle, "biar hidup lo nggak datar-datar banget kayak muka lo."

Alle mendengus kesal. Nico menurunkan tangannya, "lo nggak mau ikut party?"

"Nggak."

"Tapi gue nggak mau ada tolakan."

Alle masih diam tidak bereaksi. Nico yang menyadari itu menarik tangan Alle. Membawanya naik melewati tangga. Di lantai tiga, kamar paling ujung adalah lokasi yang mereka tuju. Nico membuka pintu, mempersilahkan Alle masuk dahulu. Sialan, gue kejebak, batin Alle.

Menyadari perubahan wajah Alle, Nico terkekeh. Kamar itu sudah terisi beberapa wanita yang sengaja Nico undang. "Khusus malam ini buat lo. Udah nikmatin aja, nggak usah banyak bacot."

Kalau saja Alle tidak terpengaruh alkohol, ia akan menghajar wajah Nico habis-habisan. Nico kembali menutup pintu. Sah satu wanita itu menghampiri Alle yang masih diam, "hallo baby."

Alle menyingkirkan tangan wanita jalang itu yang sudah membelai rambutnya. Kepalanya terasa pusing. Alle membiarkan bibir wanita itu menari mendekap bibirnya. Suasana itu membuat Alle akhirnya menyerah.

===

"Kakak lucu deh." Mereka berdua tertawa. Membuat sepasang mata yang menatapdari jauh memanas. Dadanya semakin sesak.

"Baru nyadar kalau aku lucu?" Lelaki itu tersenyum sambil memasukkan kripik ke dalam mulutnya. Perempuan di sebelahnya menyenderkan kepala. Ia merasa nyaman dengan keadaan ini.

"Aku sayang sama Kakak," ujarnya membuat lelaki itu berhenti bergerak. Dia bungkan. Kata yang seharusnya membuat jantungnya berdegub kencang. Tapi tidak, dadanya justru sesak. Bukan itu yang ingin dia dengar sekarang.

Kei kembali memebelai rambut ikal milik Fransisca. Bibirnya tersenyum tipis. Bukan bahagia, tapi tersenyumgetir. Mengapa keadaan seakan mempermainkannya? Bukannya saling mencintai sudah cukup untuk sebuah hubungan? Kei masih membelai rambut Fransisca. Bodoh. Kenapa gue ingetnya lo terus Lice? batinnya berteriak.

Fransisca menikmati sentuhan yang diberikan Kei. Sentuhan yang selalu membuaynya nyaman. Dia adalah orang yang beruntung, bisa mendapatkan Kei. Sungguh, Fransisca tidak ingin ini segera berakhir. Ia selalu berharap jika esok waktu masih mengijinkannya menemui sosok Kei. Menemukan Kei yang selalu menatapnya. Yang selalu bisa membuatnya tertawa lepas,membuatnya bahagua. Tatapan Kei kosong. Gue kangen sama lo Lice. Apa lo juga kangen sama gue? batin Kei.

Apa membohongi diri sendiri demi kebaikan orang lain sudah benar? Iya menurut Alice. Tapi tidak menurut Kei. Alice yang selalu mendahulukan kebahagiaan Fransisca. Dan Kei yang menjadi korban. Salah. Seharusnya tidak seperti ini. Sah jika Alice menangis melihat Kei dan Fransisca yang begitu dekat. Harusnya dia bahagia karena Fransisca bahagia. Seharusnya begitu. Gue nggak boleh lemah. Fransisca lebih butuh Kei dari pada gue, batin Alice.

Nafas Fransisca begitu teratur. Ternyata dia sudah terlelap di dalam dekapan Kei. Selalu seperti itu. Hanya Kei yang dia mau berada di sampingnya. Karena Kei alasan dia bertahan. Kei adalah segalanya. Dan saat Kei hilang, segalanya dalam hidup Fransisca akan hilang. Tugasnya hari iji sudah selesai. Kei mengendong Fransisca dan merebahkan gadis itu ke tempat tidur.  Ia menarik selimut, mengamati sebentar wajahnya dan keluar.

Bukannya segera pergi, Kei diam. Atsmotsfir cangung menyerang. Bola mata bulat yang ia rindu menatapnya. Aroma vanila memasuki indra penciumannya. Senyum. Tidak ada senyim yang terpancar. Dia datar, dan Kei membencinya. Ingin sekarang juga Kei maju dan memeluknya. Mencium keningnya dan mengucapkan beribu kalimat rindu. Tapi tidak bisa. Dia sudah berjanji akan melakukannya. Kei tidak ingin melihat perempuan itu kecewa, jika Kei melangar janjinya.

"Malem..." Sapa Kei mengantung.

"Nggak usah cangung deh. Kayak oeang asing aja lo. Pulang sana udah malem. Ngapelin adek guenya besok lagi aja ya," ujar Alice dengan senyum. Senyum kaku yang ia paksakan.

Kei mendekat, "gue mau ngomong lama sama lo bisa?"

Terkadang keberadaan Alice membuatnya merasa cangung. Karena Kei  bingung harus memulai percakapan dari mana. Bukan karena ia tidak punya topik perbincangan. Tapi, justru du dalam otaknnya ada jutaan pertanyaan yang masih tersimpan di sel kepalanya. Kei menunggu Alice menjawab.

"Gue nggak bisa lama."

Kei memahaminya. Ia mengajak Alice keluar dari rumah, berjalan emnjauh dari halaman rumahnya. Kei memilih taman yang berada di depanrumah Alice. Angin malam berhembus cukup kencang. Helaian rambut Alice berterbangan. Melihat itu Kei mendekap. Wajah mereka hanya berjarak satu jengkal saja. Kei menyelipkan rambut Alice, agar ia leluasa memandanginya.

"Gue bingung harus ngomong dari mana." Kei menghembuskan nafas. Alice masih menatapnnya lekat, seperti besok sudah tidak lagi bisa memandang wajah di hadapannya ini. "Banyak hal yang pengen gue omongin. Tapi gue tahu, lo belum punya jawaban atas pertanyaan gue."

"Gue belum belajar sih. Lokan tahu kalau hmmm...gue begok
Makanya jangan ngasih gue pertanyaan yang sulit, gue takut remidial." Alice terkekeh mendengar ucapannya sendiri.

Sorot mata Kei berkata lain, ia ingin jawaban dari gadis itu sekarang. "Kalau masih ada gue di hati lo. Lo mau nampung gue kembali? Kalau perasaan gue masih buat lo, lo mau nerima gue lagi? Kalau gue nggak bisa jatuh cinta selain sama lo, masih mau lo berjuang sama gue lagi?"

"Kei..." Perkataan itu mengantung di udara. Tapi Kei masih setia, dia ingin mendengar lebih lanjut ucaapn perempuan itu, " ini bukan masah cinta atau masah perasaan. Ini masalah waktu. Waktu gue bareng sama lo udah habis. Sekarang giliran lo cari waktu sama yang lainnya. Bukan sama gue lagi, tapu Fransisca."

"Lo naif."

"Kei..."

Kei menyenderkan kepalanya di pundak kanan Alice, "ternyata ada ya manusia yang nggak bisa memahami dirinya sendiri. Di saat dia tahu kebahagiaan dia ada di mana, dia justru melepaskannya. Bahkan dia udah tahu kalau itu justru buat dia sakit."

"Dia nggak sakit, dia punya alasan kuat untuk bertahan," jawab Alice.

"Kalau dia punya alasan, kenapa dia nggak pernah ngasih gye penjelasan? Lo tahu, dalam cinta nggak hanya ada satu orang saja. Tapi ada dua orang saling cinta. Emang nggak cukup ya hubungan yang didasari saling cinta?"

Mata Alice memamas. Jangan, jangan sekarang. Gue nggak mau Kei tahu kalau gue nangis. Gue harus kuat, batin Alice.

"Cukup nggaknya tergantung mereka yang ngejalanin Kei. Sekarang satu orang itu mau lihat orang lain yang ia sayang bahagia. Gue mau lihat Fransisca bahagia."

Kei mengangkat wajahnya, "lo mau lihat Fransisca bahagia. Tapi lo nggak mau lihat gue yang sekarang terluka. Lo egois Lice."

Benar, benar yang dikatakan Kei. Alice egois. Suasana kembali hening. Jauh dari tempat mereka duduk, ada air mata yang menetes. Baru saja ia merasakan bahagia, nyatanya sekarang dia kembali terluka. Fransisca memegang dadanya yang mulai sesak.
===

Filantropi [SELESAI]Where stories live. Discover now