BAB 17

372 21 0
                                    

Hari Rabu yang cerah tapi tidak secerah wajah Fransisca. Hari ini ia harus pergi ke rumah sakit, kunjungan rutin yang membuat Fransisca muak. Diana membantu Fransisca masuk ke dalam mobil. Tidak ada percakapan panjang, selalu seperti itu jika mereka pergi ke rumah sakit.

“Mah, percuma aku ke rumah sakit. Aku tetep lumpuh, nggak ada perubahan Mah,” ujar Fransisca membuat Diana meletakkan hapenya.

“Dek, ini juga demi kebaikan kamu. kata dokter kemarin kalau kamu latihan rutin, kamu bisa jalan lagikan?”

“kalaupun takdirnya aku lumpuh sampai matipun aku tetep lumpuh. Mama nggak bisa ngerubah takdir itu. Aku pergi ke rumah sakit itu juga sia-sia, cuma buang-buang waktu.”

“dek..” ujar Diana melembut.

Di belakang Fransisca menyenderkan tubuhnya, “adek capek Mah, adek nggak mau lagi ke rumah sakit.”

“…”

“Mah janji ini terakhir kalinya adek ke rumah sakit. Janji Mah?” Diana mengangguk kaku. Perasaannya campur aduk. Tapi bagaimanapun juga, ia harus tetap bisa menenangkan putrinya itu.

Fransisca memasuki rumah sakit dengan kursi rodanya. Karena Diana masih mengurus adminitrasi, Fransisca harus sendiri menemui Dokter Irwan. Dokter yang menangani dan menyuruhnya selalu datang ke sini.

“aduh…” Fransisca menatap lelaki yang kini berada di depannya.

Tatapan mereka bertemu, tanpa terasa Fransisca sudah menahan nafasnya.

“maaf, tadi aku nggak lihat,” ujar Fransisca penuh penyesalan.

no problem, lo mau ke mana? Mau gue antar?” tawarnya.

“ke ruangan itu.” Fransisca menunjuk ruangan di ujung koridor.

Dengan santainnya lelaki itu membantu Fransisca ke sana. Yang di dorong hanya menundukkan wajah, tidak berani menatap lelaki di belakangnya. Setelah sampai lelaki itu meningalkan Fransisca, Fransisca menoleh.

“tunggu!” teriak Fransisca menghentikan langkah lelaki itu, “nama kamu siapa?”

“Alle nggak doble Alle,” jawabnya pergi berlalu.

Fransisca tertawa melihat tingkahnya. Ternyata namanya Alle, ganteng juga, batinnya.

===

Tidak ada pasien di ruangan itu kecuali dirinya. Ia masih menatap ruangan yang dari dulu tidak pernah berubah. Seingat Alle terakhir kali dirinya pergi ke sini satu bulan yang lalu. Itu juga karena Venny yang memaksanya pergi ke tempat memuakkan bagi Alle.

“pagi Om,” sapa Alle menyambut kedatangan Davit.

“Amedeo,” sapannya membuat Alle memutarkan mata malas.

Sudah sering sebenarnya Alle mengingatkan Davit untuk memangilnya Alle, bukan Amedeo. Tapi ya sudahlah, percuma mengingatkan Davit lagi.

“udah nggak takut lagi sama Om?”

“siapa juga yang takut?” tantang Alle.

Davit duduk di depan Alle, “kalau begitu, udah mau cerita sama Om?”

Sorot mata Alle lebih tajam, dahinya berkerut membuat kedua alisnya hampir menyatu. Perubahan itu bisa Davit lihat, “hallo Justin, udah lama kita nggak ketemu.”

“hem…”

“Jadi Justin kenapa kamu ganggu Alle?” pertanyaan dari Davit masih mengantung di udara, “apa yang membuat kamu bersikeras di tubuh Alle?”

“….”

Tidak ada respon dari Alle. Davit masih bersabar, “oke, cerita semuanya sama Om. Om nggak akan nyakitin kamu sama Alle. Om cuma mau bantuin kamu.”

Filantropi [SELESAI]Where stories live. Discover now