BAB 12

362 22 0
                                    

Setelah kejadian kemarin Fransisca memilih menghindar dari Kei. Kebiasaannya melukis di halaman terpaksa harus berpindah di dalam kamarnya. Sekarang, sudah ada kanvas kosong yang menantangnya. Gambar yang masih sama seperti sebelumnya. Ia hanya mengunakan tiga warna saja, hitam, putih, dan merah. Belum ada warna lain yang memikat hatinya. Atau memang hatinya tidak terikat dengan apa-apa.

Sudah setengah jam, dan kanvas itu masih kosong. Cat minyak juga belum Fransisca sentuh.
Banyangan dua orang yang tertawa lebar membuat dadanya sakit. Kejadian sepuluh tahun yang lalu, yang membuatnya harus menderita seperti sekarang. Kenapa harus Fransisca yang menderita? Kenapa bukan Alice saja?

“enak ya jadi Kak Alice. Bisa sekolah, punya temen, nggak kayak aku yang bisanya cuma ngrepotin orang aja. Kenapa Tuhan? Kenapa harus aku?” ujar Fransisca.

Tok! Tok! Tok!

“siapa?”

“Kei.”

Suara itu lemah, antara cemas dan berharap, “pergi Kak! Aku nggak mau ketemu Kakak!”

“nggak! Frans…ijinin aku masuk. Jangan kayak gini dong. Oke, kalau kamu nggak mau bukain pintu, biar aku dobrak,” ujar Kei.

Satu detik…dua detik…tiga detik Fransisca menyerah. Akhirnya dia membukakan pintu kamarnya. Kei menatap isi kamar Fransisca yang sedikit berantakan. Ia juga mengamati wajah perempuan yang menundukkan kepalanya itu.

Kei berjongkok menjejerkan tubuhnya dengan Fransisca, “hey, kamu kenapa nangis?”

“…”

“masih ngambek sama aku? Nggak mau cokelat? Aku juga punya lollipop, nggak mau nih?” Kei mengambil kantung plastik yang tadi ia pegang. Cuma itu cara untuk membujuk Fransisca.

Fransisca membuang muka. Ia menimbang-nimbang, apa harus memaafkan Kei demi cokelat dan lollipop? Atau tetap memusuhinya?

“yaudah deh kalau nggak mau, aku kasih Alice.”

“aku mau!” ujar Fransisca yang membuat Kei tersenyum.

Kei memberikan cokelat dan lollipop, ia beranjak mengamati lukisan Fransisca yang sebenarnya belum ada apa-apanya itu.

“tumben kamu belum ngelukis? Lagi nggak ada ide?”

Fransisca mendorong kursi rodanya kembali menghadap kearah kanvas, “ada kok, cuma lagi nggak mood aja.”

“emang kamu mau gambar apa? Bunga? Kartun? Atau gambar aku? Hayo ngaku,” ujar Kei.

“kepo deh. Lihat aja nanti kalau udah jadi.”

Kei menatap Fransisca, “terus lukisan kamu yang udah jadi mana? Aku mau lihat. Pasti bagus, udah jadikan?”

“eh, nggak boleh. Lukisanku hasilnya nggak boleh dilihat sekarang. Nanti, kalau udah waktunya aku bakalan nunjukin.”

“sok misterius kayak limbat aja. Fransisca krimbat, lurus rambutnya kriting tangannya.” Fransisca melempar kuas kearah Kei.

“receh!” teriak Fransisca yang masih tertawa.

Diam-diam Alice berada di pintu mengamati kedua orang tersebut. Meski hatinya sekarang hancur, tapi ia bahagia melihat adiknya kembali tertawa. Adiknya yang beberapa waktu lalu mengemis menyuruhnya menjauh dari Kei.

“lo marah sama gue?” pertanyaan itu Kei lontarkan ketika melihat Alice yang menghindarinya.

“lepasin tangan gue.” Alice terus meronta dari genggaman Kei.

Koridor sekolah sudah sepi, jam pulang sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Alice sengaja memilih pergi ke perpustakaan terlebih dahulu untuk menghindari ajakan pulang Kei. Kei yang mengetahui itu segera mengejar Alice, “nggak, lo ngomong baru gue lepasin.”

“oke kalau itu mau lo. Mulai sekarang jangan pernah deketin gue lagi Kei, sekalipun di sekolah. Gue udah nggak suka sama lo, dan kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi, sekali lagi gue nggak mau lihat lo ada di deket gue lagi.”

Kei melepaskan gengamannya, “bilang sama gue kalau lo bohong?”

“buat apa sih gue bohong sama lo? Lo itu pacar adek gue, lo harusnya bisa bikin dia bahagia. Bukannya bikin adek gue nangis semaleman.”

“kita masih sahabatan kan?” tanya Kei.

“kan gue udah bilang, mulai sekarang kita ggak ada hubungan apa-apa lagi! Lo bukan lagi sahabat gue,” jawab Alice.

Alle menguping pembicaraan mereka. Koridor yang sepi membuatnya bisa mendengar perdebatan kedua orang itu dengan jelas, “Lice, lo belum pulang?”

“nebeng sama lo ya?” ujar Alice.

“boleh.”

Pergelangan tangan Alice tertahan Kei, “apa karena dia lo berubah?lo udah suka sama orang lainkan? Kalau itu alasan lo nyuruh gue pergi, gue bakalan pergi.”

Salah bukan karena perasannya sudah berubah. Bukan juga karena Alle, Alice menyuruh Kei pergi dari hidupnya. Tapi, ini semua karena permintaan dari Fransisca.

“iya, dan lo harus sadar diri kalau udah ngerti.”

Tatapan Kei mengunci mata Alice. Menyadari ia sudah ketahuan berada di depan kamar Fransisca, segera Alice pergi. Untung saja Fransisca tidak mengetahui keberadaannya.

“lihat apa Kak?” tanya Fransisca.

“nggak kok, hari ini aku nemenin kamu ngelukis ya?” ujar Kei yang tentu saja membuat Fransisca semakin kegirangan. Ia segera mengangguk dan meraih kembali kuas yang tadinya ia lempar.

“Kakak mau denger cerita nggak?” tanya Fransisca yang masih meneruskan lukisannya.

“boleh.”

“mama! Papa! Alice keguguran?!” teriakan maraton di pagi hari membuat seisi rumah bangun. Diana segera pergi menuju kamar anaknya itu.

“emang kamu hamil?!”

“nggak sih Mah.”

“kalau Kakak nggak hamil, kenapa teriak keguguran?” tanya Fransisca yang duduk di kursi roda. Dengan mata yang masih mengantuk dirinya melihat kakaknya yang sedang kepanikan itu.

Alice mengerucutkan bibir, “abis tadi aku bangun tidur ada noda merah. Di celanaku juga ada Mah. Terus kalau aku nggak hamil aku kenapa?”

“itu artinya kamu datang bulan. Udah nanti mama beliin softex.”

Kei tidak bisa menyembunyikan tawannya. Ternyata dari dulu kelakuan Alice tidak pernah berubah. Selalu seenaknya sendiri. Fransisca mengamati perubahan wajah Kei yang terlihat lebih sumringah itu.

Ternyata cuma Kak Alice yang bisa buat Kak Kei bahagia, batin Fransisca.

"Aku bodoh memperjuangkan rasa yang salah. Harusnya aku tahu kalau hatimu sudah tertutup untukku."
===

Filantropi [SELESAI]Where stories live. Discover now