BAB 21

319 21 0
                                    

Fransisca mengamati ruangan yang berukuran dua kali tiga meter yang terletak di bawak tanga rumahnya. Ia duduk di kursi roda, melihat dinding ruangan itu yang hampir penuh dengan lukisannya. Dinding di hadapannya berbeda, lukisan itu belum jadi. Masih ada beberapa bagian yang harus di lengkapi. Namun, Fransisca membiarkan hal itu.

“semuanya sudah berubah,” ujarnya.

Ya benar kini semuanya sudah berubah. Ramalan takdir seseorang yang Fransisca lukis sudah berubah. Fransisca tersenyum, akhirnya ia bisa bernafas lega. Berbahagia karena ia sudah mendapatkan hatinya, hati Kei.

Merasa puas sudah mengamati ruangan yang hampir dua minggu ini tidak ia datangi. Fransisca mendorong kursi rodanya keluar, ia juga tidak lupa mengunci kembali ruangan itu.

“itu apa?” pertanyaan itu mengagetkan Fransisca yang sedang mengunci pintu.

“Kak Alice ngagetin aja. Bukan apa-apa kok Kak,” jawabnya.

Alice menganguk, ia meneguk minuman yang tadi ia bawa. Pandangan mereka bertemu. Fransisca mengamati kakaknya itu. Alice mengerutkan kening melihat wajah serius Fransisca.

“kamu ada acara nggak hari ini?” tanya Alice.

“nggak ada Kak, kenapa?”

“ikut aku yuk.”

Belum sempat menjawab Alice sudah mendorong kursi roda Fransisca. Fransisca hanya bisa pasrah, menuruti ajakan Alice yang ia sendiri belum tahu ke mana kakaknya itu akan mengajaknya.

Tidak ada yang mengeluarkan suara, mereka sibuk dengan pikirannya. Alice membuka gerbang, lalu kembali mendorong kursi roda Fransisca. Tujuannya adalah taman yang terletak di depan rumah mereka. Alice berhenti mendorong kursi roda Fransisca. Mereka sudah sampai, di bawah pohon yang paling besar di taman ini. Fransisca menatap Alice.

“tunggu dulu di sini,” ujar Alice meningalkan Fransisca.

Alice sedikit berlari ke taman yang dipenuhi anak-anak kecil. Fransisca masih bisa melihat Alice dari tempatnya duduk. Namun ia tidak tahu apa yang dilakukan Alice di sana. Alice kembali menghampiri Fransisca. Kedua tangannya terlipat kebelakang.

Alice duduk menghadap Franisca. Ia tersenyum, memberi Fransisca gelembung sabun dalam botol, “masih inget mainan ini?”

Fransisca menganguk. Bagaimaan ia lupa mainan kesukaannya dulu. Fransisca membuka botol itu, ia mencelupkan lalu meniup dengan kuat. Gelembung sabun itu tertiup angin, Fransisca tersenyum.

“maafin Kakak ya,” ujar Alice.

“maaf buat apa Kak?”

Alice menatap kumpulan gelembung sabun itu yang semakin tinggi tertiup angin. “maaf nggak bisa jadi kakak yang baik buat kamu. maaf juga udah buat kamu lumpuh kayak gini.”

“Mama udah cerita kejadian itu. Bukan Kakak yang salah, aku juga salah. Maafin aku juga Kak,” ujar Fransisca.

Alice memeluk Fransisca. Air matanya kemudian menetes, sudah berapa lama ia tidak merasakan seperti ini?

“main bareng yuk,” ujar Alice menyeka air matanya.

Fransisca mengangguk. Mereka masih di sana, di bawah pohon rindang. Sedang tertawa karena memainkan sebuah gelembung sabun. Tawa yang sudah lama tidak pernah ada. Alice mengamati Fransisca yang terlihat bahagia. Bibirnya membentuk senyuman. Sekarang Alice sudah merelakan Kei. Kalau memang Kei jodohnya ia akan kembali bersama Alice.

Alice mendorong kursi roda Fransisca. Sedangkan Fransisca meniup gelembung sabun sebanyak-banyaknya. Mereka kembali tertawa.

“Kak,” ujar Fransica membuat Alice berhenti mendorong kursi rodanya.
Fransisca mengurungkan niatnya membahas tentang Kei. Bukan sekarang waktu yang tepat menanyai perasaan Alice lagi. Lagian mereka berdua sudah lama tidak bersama, mungkin saja Fransisca berhasil mengubah perasan Kei.

Filantropi [SELESAI]Where stories live. Discover now