BAB 19

326 20 0
                                    

Hujan menyisakan kelam, perasaan yang sama pekatnya dengan awan. Alice turun dari mobil milik Alle. Ia sudah kembali ceria, itu juga berkat usaha Alle. Alle tersenyum melihat kedua sudut bibir Alice yang tertarik. Meski hujan menerpa wajah mereka, senyum Alice masih membekas di sana.

Alice melambaikan tangan menyambut kepergian Alle.
Alice menatap ke atas, menatap bulir hujan satu persatu membasahi wajahnya. Ia memejamkan mata, merentangkan kedua tangannya dengan lebar.

Senyum itu masih menghiasi wajah Alice, ia memutar-mutar badannya kegirangan. Sudah lama Alice tidak menikmati hujan, sudah lama sejak hujan tak lagi menyapannya.

“jangan hujan-hujan nanti kamu sakit!” suara itu masih membekas di ingatan Alice.

“kalau dibilangin dengerin dong! Aku nggak suka ya kalau kamu sakit. Ngerepotin.”

Terlintas lagi kenangan itu. Kenangan di mana dirinya sedang menikmati hujan di sore hari. Dan menatap lelaki yang berteriak dari atas balkon kamarnya. Tidak perlu mendekat, namun Alice sudah bisa menebak apa yang di bawa lelaki itu di gengamannya. Secangkir cokelat panas. Alice tersenyum ke arahnya.

“aku bilangin tante Diana kamu ya!”anak itu masih berteriak, padahal Alice tidak memperdulikannya. Alice menjulurkan lidah mengejeknya.

Beberapa menit kemudia anak itu berlari mendekati Alice, membawakan payung untuknya.
Alice mengerutkan keningnya, karena tidak lagi merasakan hujan. Apa hujan sudah berhenti? Untuk memastikannya Alice membuka mata. Kali ini bukan Kei yang berlari memberi payung untuknya.

“Alle?”

“mobil gue mogok di depan, jadi gue balik lagi ke sini. Ngapain lo hujan-hujan?” tanya Alle.

Alice manarik tangan Alle untuk masuk ke rumah, “masuk ke rumah gue yuk!”

Belum sempat pintu terbuka, handphone Alle berbunyi. Alice melepaskan tangan Alle, menunggu Alle yang berjalan dua langkah menjauhinya.

“Mobil gue masih mogok.”

“..”

“gue di rumah Alice.”

“…”

“iyaudah gue ke sana!” bentak Alle mematikan telpone sepihak.

Alle kembali mendekati Alice. Alice terlihat jauh lebih baik dari pada tadi, “Gue pergi dulu ya. Lain kali gue ngapelin lo lagi.”

“hem…bukannya mobil lo mogok?”

“gue naik taksi.”

Alice menganguk. Sebelum pergi Alice dikagetkan ciuman yang mendarat di dahinya. Alle tersenyum melihat wajah Alice yang terkejut. Kemudian dia sudah menghilang menerobos hujan yang belum reda.

===

Nico sedang duduk menikmati hujan di balkon apartemennya. Alle yang dari tadi ia tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal Nico sedang butuh bantuan dia. Hanya Alle mungkin yang bisa membantu menyelesaikan masalahnya.

“kenapa lo telpon gue?” tanya Alle to the point.

Secangkir kopi kembali Nico letakkan di meja. Satu minggu Alle tidak bertemu dengan Nico, dan sekarang keadaan Nico cukup membuat Alle terkejut. Nico yang lebih kurus dari biasanya, kantong mata hitam dan kopi digengamannya. Bukannya Nico tidak menyukai kopi?

“kayaknya usaha gue bakalan bangkrut. Gue udah nggak punya uang buat bayar utang bokap gue, dan terpaksa gue harus jual club kesayangan gue.” Nico menghentikan sejenak ucapannya, “lo bisa gak bantuin gue? Pinjemin gue uang, biar club gue nggak tutup.”

Filantropi [SELESAI]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora