BAB 23

346 20 0
                                    

Kei sedang menikmati mendengarkan musik dari salah satu band rock favoritenya. tepukan dari belakang membuat Kei melepas earphone nya. Ia menatap ke belakang.

"sialan lo!" maki Kei saat melihat kedatangan lelaki seusia dengannya.

"galau terus lo. Gue bilangin mantan lo kalau lo gamon ye?" ujarnya.

"bilangin aja sana, bilangin. Sekalian bilangin juga kalau gue mau kawin sama dia."

Lelaki itu tertawa keras,"udahlah bro, lupain aja. Nih ya cewek juga masih banyak. Lo mau gue cariin berapa sih? Bilang aja sama gue."

"bilang sama lo apaan? Ngaca, lo aja jomlo!"

"elah, ikuno wes takdir. (itumah udah takdir)." Jawabnya merampas makanan yang tadi tergeletak di kasur Kei.

Kei membiarkan saja, toh percuma melarang orang ini. "Nic, lo ke mana aja? Gue kira lo udah mati. Lo pulang ke Jawa? Nanem cabe di sana?"

"gak sopan lo doain orang mati. Lagian gak usah ke jawa di sini udah banyak cabe. Gue itu lagi ada masalah," ujar Nico yang kini memperlihatkan muka seriusnya.

"masalah? Orang kaya lo punya masalah? Palingan juga masalah sama tante-tante lo itu ya?" tebak Kei.

Nico melempari Kei kulit kuaci yang tepat mengenai wajahnya, "enak aja lo. Mau juga lo tante-tante?"

"sori gue bukan pemuas tante. Gue masih suka anak perawan."

"kebanyakan gaya lo. Mending sama tante nggak bikin sakit hati," jawab Nico melahap kuaci yang sudah ia kupas.

Kei memutar mata malas, "nggak bikin sakit hati, tapi bikin sakit mata."

Nico menaruh sisa kuaci itu di meja dekat ranjang Kei. Ia duduk di sebelah Kei, "kali ini gue beneran lagi ada masalah."

"lo ada masalah apa? Masalah club lo itu?"

Nico menganguk, ia merebahkan dirinya menatap langit- langit kamar Kei. "club gue udah gue jual buat bayar utang bokap gue. apartemen gue juga ikutan ke jual."

"mending lo sekolah. Biar nanti gue bilang sama bokap, gimanapun juga lo sepupu gue. gue bakalan bantuin lo," Kei menatap Nico.

"gue nggak mau sekolah. Sekarang yang gue butuhin cuma kerjaan sama tempat tinggal."

Kei menghela nafas. Ia tahu kenapa Nico enggan meneruskan sekolah. Baginya sekolah hanya membuang-buang waktunya. Padahal dulu saat satu sekolah dengan Kei, Nico termasuk murid yang cerdas.

"gue nggak mau sekolah. Sekolah itu cuma buat gue tertekan. Percuma kalau bokap sama nyokap gue nggak pernah peduli sama gue. percuma mati-matian gue belajar kalau bokap gue nggak pernah bangga sama nilai gue, nyokap gue yang selalu marahin gue."

"Nic, nyokap sama bokap lo udah nggak ada. Nggak baik lo ngomong kayak gitu. Gue yakin mereka itu bangga sama lo. Mereka cari duit juga buat lo."

"nyokap lo baik dia perhatian sama lo. Dan bokap lo peduli sama sekolah lo. Lo nggak pernah ngerasain tamparan nyokap, lo nggak pernah ngerasain gak diangap sama bokap. Lo sama gue itu beda Kei!" deru nafas Nico tidak beraturan. Ia memejamkan mata, mengatur nafasnya.

"sekarang mau lo apa?" tanya Kei dengan pasrah.

Nico duduk menatap Kei, "gue cuma butuh tempat tingal sama kerjaan. Dan lo harus rahasiain keberadaan gue dari siapapun."

"kenapa?"

"ntar lo bakalan tau," ujar Nico yang matanya sedang memperhatikan perempuan yang berdiri di balkon seberang.

Filantropi [SELESAI]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora