BAB 8

411 27 0
                                    

Alle memarkirkan mobilnya, sedangkan Venny terlebih dahulu masuk ke dalam restoran. Beruntung, masih ada satu tempat yang kosong. Setelahnya Alle mengikuti Venny yang sudah duduk di dalam. Ia berjalan membuka pintu.

Kling..

Pintu terbuka. Restoran ini tidak pernah sepi, selalu ramai pembeli. Restoran yang mengingatkan dengan negara kelahirannya. Italy. Setiap sudut tidak lepas dari pengamatan Alle, termasuk meja yang berada di belakangnya. Meja yang menampilkan perempuan aneh yang sudah beberapa hari ini berada di dalam pikiran Alle.

Gue beruntung atau sial ketemu dia di sini? batin Alle.

Saat pesanan di meja Alice sudah datang, ia harus pergi ke toilet. Menjauh dari tatapan milik Alle.

Sialan, kenapa gue ketemu itu bule terus sih? batin Alice.

Tangannya sudah kembali kering. Alice keluar dari toilet wanita. Tepat di dinding berbata warna merah, lelaki itu menyenderkan tubuhnya. Mendekap kedua tangannya di depan dada. Membuat jantung Alice ingin berlonjak melihatnya, "Ngapain lo ngintilin gue sampek ke sini? Jangan-jangan lo homo?"

"Kalau gue homo ngapain gue di toilet cewek? Lo masih punya utang sama gue."

Mulut Alice sudah mengangga lebar. Jika tidak segera ia tutup, lalat akan masuk ke dalam mulutnya, "Hah?! Gue utang apa sama lo. Ketemu lo aja sial."

Kali ini Alle memaksa Alice untuk menghadap ke arahnya, "Nggak inget siapa yang nolong lo kemarin waktu jatoh?"

"Gue kan nggak minta tolong sama lo. Lagian, ngapain kemarin lo nolongin gue? Sok mau jadi pahlawan buat gue?" Tanya Alice kesal.

tampang ganteng campur brengsek ya gini, kelakuan jadi aneh, batinnya.

"Iya, gue mau jadi pahlawan buat lo. Sekarang ikut gue." Alle menarik paksa tangan Alice.

Sentuhan itu membuat Alice mematung. Bukan hanya sentuhan Alle sebenarnya, tapi kehadiran Kei yang membuat Alice sulit bernafas.

Kei yang tadi menunduk, kini mendongak. Menatap kedua orang yang sedang bergandengan tangan di hadapannya. Mereka semua diam. Tidak ada yang membuka mulut mengeluarkan suara. Kedua tangan milik Kei sudah mengepal. Ingin melayangkan tinju untuk Alle yang berani menyentuh Alicenya. Alicenya? Apa Alice benar masih miliknya?

"Mau ke mana lo?"

"Lo siapanya dia sih? Pacar? Bukankan. Gue mau ngajakin dia pergi," ujar Alle.

Kei menahan tangan Alice yang sedang berada di gengaman Alle. Alice diam, sungguh situasi ini membuatnya serba bersalah. Apa dia harus kembali ke meja makan dengan Kei. Atau justru mengiyakan ajakan Alle? Pilihan mana yang lebih bagus untuk Alice?

"Gue emang bukan pacarnya. Tapi, gue nggak suka dia pergi bareng sama lo. Cowok brengsek," jawab Kei menunjuk Alle dengan jari telunjuknya.

"Udah! Kei, gue udah terlanjur janji sama Alle. Lagian kemarin dia juga udah bawa gue ke UKS." Alice berusaha menjelaskan kepada Kei. Tapi lelaki itu mengelengkan kepalanya.

Kei masih menahan tangan Alice, "Lice..." kalimat itu mengantung, seakan Kei menginginkan Alice menolak ajakan Alle.

"Udah sana ketoilet. Gue pergi dulu ya, bilangin ke mama sama papa." ujar Alice melepaskan tangan Kei.

Diam. Pengecut. Kei menjadi pengecut karena tidak bisa mencegah Alice. Harusnya mereka bisa seperti dulu. Jalan bareng, makan bareng seperti lima tahun terakhir ini. Tapi apa sekarang, Alice memilih Alle.

Inget Lice, gue nggak bakalan rela lo sama Alle. Lo itu cuma buat gue, dan gue bakalan tetep perjuangin lo. Sampai kapanpun, batin Kei.

===

Mobil berwarna merah dengan aroma jeruk membuat Alice tidak bisa tenang. Perasaannya risau, mau di bawa ke mana dia? Kalau Kei yang membawanya ia tidak akan merasa keberatan, tapi ini. Seorang Alle yang baru mengenalnya tiga hari yang lalu yang membawanya entah ke mana.

"Nggak usah tegang kalik. Gue nggak bakalan nyulik lo," ujar Alle menatap Alice.

Banyak yang mengira Alle itu dingin. Tidak pernah senyum, dan berkata kasar kepada semua. Tapi sekarang, dia bisa berkata sedikit melembut di hadapan Alice. Dari jarak dekat, Alle bisa mencium aroma parfum milik Alice. Aroma vanila.

"Gue cuma mau lo temenin gue ke toko buku."

"Toko buku? Lo mau nyuruh gue maling buku? Nggak, nggak. Gue nggak mau maling. Gue.." belum selesai bicara mulut Alice sudah ditempeli tangan kekar Alle.

Untung saja lampu masih merah, membuat Alle bisa menatap Alice sedikit lama.

"Cerewet, kalau orang belum selesai bicara itu didengerin. Lo kira gue nggak mampu beli buku?"

Alice diam, tangan Alle turun,"Masih bagus gue tutup pakek tangan mulut lo. Mau gue tutup pakek bibir gue?" Alle mendekatkan wajahnya. Damn, bibirnya ngodain iman gue, batin Alle.
Karena jarak mereka dekat.

Alice memundurkan kepala Alle mengunakan kedua tangannya, "Berani lo nyentuh gue. Gue patahin leher lo!"

Alle terkekeh sebelum kembali menginjak pedal gasnya. Kembali lagi hening. Sepuluh menit kemudian mereka sampai. Tempatnya yang sepi membuat bulukuduk Alice merinding.

Duh, jangan-jangan gue mau dimutilasi sama dia. Ya Allah lindungi hamba, batin Alice.

"Jangan natap gue kayak gitu. Lo pikir gue singa, mau makan lo?"nada bicara Alle sedikit meninggi.

Alice mengikuti ke mana Alle pergi. Deru ombak dan lelehan pasir putih menyambut kedatangan mereka. Alice mengucir rambutnya ke atas. Alle terdiam melihat setiap gerakan yang dilakukan Alice. "Lo sama Kei ada hubungan apasih?"

Bukannya menjawab, Alice merebahkan pantatnya di atas pasir putih. Ia mengamati wajah Alle. Alle mengusap pipi Alice, dengan reflek Alice menjauhkan tangan Alle.

"Jangan urusin apa yang bukan urusan lo. Lagian tadi lo bilang mau ngajakin gue ke toko buku, kenapa jadinya ke pantai?"

"Oh, lo mau gue ajak ke toko buku? Yaudah besok kita ke sana. Dan perlu lo tahu Lice, sejak pikiran gue cuma terpusat sama lo. Lo jadi urusan gue," ujar Alle membuat Alice semakin menyipitkan mata.

"Maksud lo?"

"Lo itu udah kayak setan. Gue tidur lo ada di mimpi gue, gue ke sekolah lo ada. Gue juga nggak tau sejak kapan gue jadi terbiasa mikirin lo."

Alle menatap ombak yang terpecah akibat bertabrakan dengan karang. Menunggu jawaban selalu membuatnya bosan.

"Biasain juga lupain gue. Nggak baik mikirin gue terus, kayak orang begok."

"Gue bakalan berhenti mikirin lo. Kalau dihidup lo udah ada orang spesial. Kei misalnya?" Ujar Alle yang lebih mirip dengan sebuah pertanyaan.

"Gue sama Kei itu.."

"Pacaran?"

Alice menghela nafas, "gue sama dia temenan dari dulu."

"Emang ada cowok sama cewek yang temenan lama? Nggak mungkin kalau satu diantara kalian atau bahkan kalian berdua ada rasa." Alle seperti bisa menerawang masa lalu Alice, "Dari kelaukuan Kei tadi, gue jadi ragu kalau kalian itu cuma sahabatan."

"Kalau lo masih bahas ini, gue mau pulang." Alice pergi meningalkan Alle yang dari belakang mencoba meraih tangannya.

"Tunggu!"

"Lo mau nganter gua apa nggak? Gue masih tau kok jalan pulang."
Alle mengalah. Baru kali ini ia mau mengalah dengan perempuan. Ini yang pertama.

Apa ini perkembangan yang baik? Cewek aneh yang buat gue penasaran, batin Alle.

"Masa lalu hanya membuat sesak di dada. Jadi berhenti membahasnya."
====

Filantropi [SELESAI]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant