BAB 22

330 20 0
                                    

Kepala Fransisca masih terasa pusing. Ia menatap sekelilingnya. Ingatan terakhirnya yaitu melihat Kei menolong Alice, kemudia ia tak sadarkan diri. Hanya itu yang Fransica lihat namun membuat hatinya retak.

Diana membuka pintu, melihat kedaan Fransisca, “udah enakan sayang?”

“masih pusing Mah,” jawab Fransisca.

“yaudah kamu istirahat dulu. Mama mau keluar ya.”

Kembali sendiri, Fransisca tiba-tiba memikirkan kejadian tadi. Apa Alice sengaja mencelakai Fransisca seperti dulu lagi? Kalau iya kenapa Alice juga ikut tertabrak tadi? Bukannya seharusnya hanya dia yang tertabrak?

Pintu kamar Franisca kembali terbuka. Fransisca memejamkan mata, berpura-pura tidur. Alice berdiri menatap Fransisca yang sedang memejamkan mata. Ia mendekat mengusap rambut Fransisca dengan lembut.

“maafin Kakak lagi ya, nggak bisa jaga kamu. Dua kali kamu celaka gara-gara kakak,” ujar Alice.

Tidak ada jawaban, “Pasti habis ini kamu bakalan marah sama kakak. Baru aja tadi kita ketawa bareng ya Ell. Kakak emang bukan kakak yang baik buat kamu.”

Isakan itu terdengar di telinga Fransisca. Kak Alice nangis? batinnya.

“cepet sembu ya, biar Mama nggak khawatir sama kamu,” ujar Alice. kemudia keluar dari kamar Fransisca.

Alice berhenti, ada Kei yang menghambat jalannya. Tatapan mata itu tidak lagi hangan seperti dulu, itu yang kini di rasakan oleh Alice. Senyum Kei mendadak hilang, bukan lagi milik Alice sekarang. Kei benar-benar sudah berubah, ia menjauh dari kehidupn Alice. Sekarang Alice harus kuat, tidak boleh bergantung dengan Kei seperti dulu.

Kei bergeser dua langkah, memberi Alice jalan untuk segera pergi darinya. Alice masih ingin berlama-lama menatap mata cokelat milik Kei. Ia juga mau menarik semua ucapannya. Rasanmya itu sudah terlambat. Tidak ada lagi celah Alice untuk kembali dengan Kei. Alice menghela nafas berat lalu berjalan meningalkan Kei.

Rambut Alice yang semakin panjang bergerak seiring langkahnya berjalan. Kei masih memandang pungung itu. Punggung yang dulu masih berada dalam dekapannya. Semua sudah berbeda, tidak ada kata bersama untuk mereka. Antara Kei dan Alice sudah berakhir, tidak ada hubungan special lagi. Bukan lagi kekasih dan bukan lagi seorang sahabat. Mereka, dua orang yang dulu saling cinta menjadi dua orang asing yang saling tak suka.

Sungguh hal ini sebenarnya menyiksa Alice. Ia membuka pintu menuju balkon di kamarnya. Hujan belum juga reda, langit masih hitam pekat. Alice meringkuk di lantai sambil menyenderkan tubuhnya ke tembok. Tatapannya lurus ke depan, kembali mengingat kenangan itu lagi.

“kamu ngapain duduk di lantai? Nanti masuk angin,” teriakan itu dari anak lelaki di seberang kamar Alice.

Saat itu Alice sedang menangis karena Diana memarahinya. Padahal Fransisca yang membuat tangannya sendiri terluka. Alice sudah mengingatkanny untuk tidak bermain pisau, tapi Fransisca tetap nekat dan Alice yang terkena marah.

“Reta nangis?!” suaranya semakin kencang karena sore itu hujan sedang turun.

Alice berdiri memegang pagar tepian balkon, ia menundukkan kepala. Kei masuk ke dalam kamar mengambil dua kaleng yang sudah terhubung benang.

“tangkap ya!” serunya.
Alice yang memahami maksud Kei segera menganguk.

Satu kali percobaan, kaleng itu tidak sampai di Alice. Kei tetap berusaha, sampai lemparan ke lima Alice berhasil menangkap kaleng itu. Mereka tertawa.

“hallo!” Alice menempelkan kaleng itu di telingannya untuk mendengar suara dari Kei.

“hai!”

Filantropi [SELESAI]Where stories live. Discover now