BAB 31

320 19 0
                                    

“meratapi kersalahan itu seperti merasakan luka, sama-sama sakit”

ruangan ini sudah lama ia biarkan terkunci. Mungkin karena ia pikir bahagia sudah memihak kepadanya. Atau mungkin karena ia yakin takdir sudah berubah. Lukisan di dinding itu belum juga bisa ia selesaikan.

Fransisca berjalan mengamati lukisannya sendiri. Masih banyak puzzle di lukisan itu yang harus ia selesaikan.
Fransisca duduk di lantai, masih menikmati lukisannya. Perlahan air matanya kembali menetes, ada rasa bersalah sekaligus kesal. Bersalah merebut kebahagiaan Alice, dan kesal karena lagi-lagi Alice yang berhasil mendapatkan Kei.

“ini lukisan lo? Bagus juga.”

Komentar yang baru saja terdengar membuat isakan Fransisca terhenti. Ia menatap lama orang yang sedang berjalan mengamati ruangan ini.

“Alle?”

“sori gue masuk nggak ijin. Tadinya gue mau ketemu Alice, eh keduluan Kei. Sialan itu cowok.” Nama itu lagi.

Nama yang membuat dada Fransisca kembali merasa sakit. Fransisca membiarkan saja Alle menyusuri lukisannya satu-persatu.
Pandangan Alle menatap ke dinding bagian kanan. Lukisan yang masih belum jadi itu menarik perhatiannya.

“kenapa nggak lo terusin lukisan itu? Kehabisan cat minyak lo?”

“nggak ada waktu.”

“gue rasa lo payah kalau bohong. Alice banyak cerita sama gue tentang lo. Dia bilang lo itu orang yang harus bisa Alice bahagiakan. Dan karena itu juga gue jadi sayang sama adik gue. Gue pengen jadi kakak kayak Alice, biar adik gue beruntung.”

Walaupun Fransisca diam, ia tetap mendengarkan ucapan Alle. sebegitu berharganya ia di mata Alice. Kalau memang dari dulu Alice menginginkan Fransisca bahagia, kenapa justru Fransisca tega merampas kebahagiaan Alice demi dirinya sendiri?

“lo itu beruntung punya dia. Bahkan kakak lo relain pacar dia sendiri buat lo. Lo sama Kei gimana?”

“…”

Alle menarik nafas, “kalau lo nggak mau cerita juga nggak papa, gue nggak maksa. Beberapa jam sebelum Alice kecelakaan, gue nembak dia. Tapi sialnya gue di tolak. Cowok ganteng kayak gue malah dia tolak. Eh kesem-semnya malah sama Kei.”

“di lukisan itu ada tiga warna.” Fransisca menunjuk lukisan di hadapannya, “ada hitam, putih, dan merah. Semua pasti setuju kalau warna hitam itu cocok sama warna putih. Ada hitam pasti ada putih, sebaliknya begitu. Pandangan itu sampai kapanpun nggak akan pernah bisa dirubah. Bahkan saat ada warna lain seperti merah, hitam tetap cocok dengan putih.”

“warna putih itu bisa aja nyatu sama semua warna, kayak kalau manusia itu dia bisa nyesuain sama siapa dia sekarang,” ujar Alle.

“kayak Kak Alice.”

Jawaban singkat dari bibir Fransisca membuat Alle bisa menyimpulkan maksud dari ucapannya tadi. Warna hitam untuk Kei, putih untuk Alice, dan merah untuk Fransisca.

“warna merah artinya berani. Ya dia terlalu berani merebut semuanya, sampai penyesalan datang. Dan semuanya sudah terlambat untuk di benahi.”

“nggak ada kata terlambat kalau lo punya waktu. Gue rasa lo masih ada minat untuk nyelesaiin lukisan ini,” ucap Alle.

“…”

“gue tunggu lukisan ini selesai. Anggap saja semua bisa lo benahi kalau lukisan ini bisa lo selesain. Sedikit kebahagiaan itu penting untuk dibagi, dari pada banyak kebahagiaan yang lo beri tapi cuma settingan.”

Fransisca mendengarkan dengan baik perkataan Alle sebelum lelaki itu pergi.

===

Alice diam memandang kolam renang di hadapannya. Kei menemaninya, tapi rasanya ia tidak membutuhkan siapapun lagi.

“kenapa harus gue yang cacat Kei?! Kenapa gue?!”

“karena lo cewek yang tabah. Tuhan sayang sama lo, dan gue bakalan jagain lo.”

Alice mengelengkan kepalanya. Apa tadi kata Kei? Menjaga dirinya? “walaupun gue cacat gue masih bisa jaga diri Kei. Gue nggak perlu lo kasihani, lo itu cuma orang asing.”

“gue nggak kasihan sama lo. Gue masih sayang sama lo Lice. Dan sekarang, gue nggak bakalan lagi nuruti kemauan lo lagi. Gue gak mau jauhin lo lagi Lice,” ujar Kei.

“pergi! Gue benci sama lo! Pergi!”

Diana yang sedari tadi berdiri di belakang Alice dan Kei mulai terisak. Ia mendekat kearah Alice, menatap putrinya itu yang kini sedang menangis.

“kalian semua kemana waktu aku baik-baik aja? Aku nggak butuh kalian kasihani!” Alice menata Diana yang langsung menghentikan langkahnya.

“kenapa Mama peduli sama Alice?! Pergi! Alice nggak butuh kalian!”

“apa aku harus cacat biar Mama tahu kehadiranku?” pertanyaan Alice membuat dada Diana sesak.

Kei merangkul tubuh Alice yang meronta-ronta. Karena merasa lelah, Alice hanya bisa menangis di pelukan Kei, “gue nggak mau cacat Kei. Kenapa harus gue? salah gue apa Kei?”

“usstt…diem. Lo nggak boleh nyerah sama keadaan, gue yakin lo itu kuat. Buktiin kalau emang lo itu kuat.”

“gue nggak kuat Kei! Gue cacat! Gue nggak bisa jalan lagi. Mimpi gue masih banyak Kei, gue nggak mau kayak gini. Gue…”

Alice menelan ludahnya dengan susah payah. Hanya isakan yang kini Kei dengar keluar dari mulutnya. Diana membekap mulutnya, menahan suara isakannya.

Diana mengusap punggung Alice dengan lembut, “maafin mama sayang.”
===

Filantropi [SELESAI]Onde histórias criam vida. Descubra agora