BAB 6

425 26 0
                                    

"Masih sibuk ngelukis? Baca buku bareng yuk, jangan ngelukis terus. Kan kamu tahu Kakak nggak bisa ngelukis," rengek Alice yang malam ini menemani Fransisca melukis.

Fransisca menyukai halaman belakang rumahnya. Hampir separuh waktu dia selalu di sana. Entah melamun atau melukis. "Ih nangung Kak. Lagian lukisan initu penting."

"Kenapa kamu nggak buka pameran? Lagian lukisan kamu juga udah banyak kan yang menang lomba?"

"Cuma lima kok. Kakak jangan ganggu aku ngelukis deh. Nanti gambarnya jadi jelek kayak Kakak," ledek Fransisca.

"Enak aja."

Kembali hening. Sebenarnya Fransisca ingin sekali marah melihat kejadian sore tadi. Tapi apa daya, ia tak bisa. Karena bosan, Alice memilih berbaring di rerumputan. Menatap bintang yang sedang berkedip mengejeknya.

Dulu, Kei selalu menemaninya di sini. Duduk atau tidur di rerumputan sembari mengamati langit malam. Rasanya baru kemarin Alice melakukannya dengan Kei. Tapi kini ia merindukan hal kecil itu. Lagi dan lagi, ia selalu merindukannya.

"Kamu lebih suka mana? Bulan apa bintang?" Alice mengangkat tangannya. Menunjuk bulan dan bintang secara bergantian.

"Kalau aku lebih suka bintang. Lucu kecil-kecil jadi ngingetin aku sama kuaci."

"Akusih nggak suka bintang apa lagi bulan."

Alice menatapnya,"kenapa?"

"Karena aku lebih suka kamu."

"Ihh, gombal," Alice memukul dada bidang milik Kei. Kei langsung memeluk Alice. Keduanya tertawa lepas.

"Lucu," ujar Alice tanpa sadar membuat Fransisca menatapnya.

"Siapa yang lucu? Kakak nggak gila kan senyum sendiri?"

Alice memutar mata malas. Adiknya ini terlalu polos, yang terkadang membuatnya geram sendiri. "Aku yang lucu. Wlekk....."

Fransisca memperlihatkan tampang jijiknya sebelum kembali hanyut dalam lukisannya.

===

Coklat panas selalu menjadi favorite nya. Kebiasaan sebelum tidur yang selalu ia lakukan. Seperti sekarang. Kei sedang berdiri di balkon sambil menikmati coklat panasnya. Kamar di hadapannya tertutup dan gelap. Ia bertanya kemana pemiliknya? Tidak tahu kalau dirinya selalu menunggu pintu itu terbuka dan ada senyum yang menyapannya. Uap cokelat masuk ke dalam penciuman Kei. Kei memejamkan mata.

"Mau tidur aja kenapa harus minum coklat sih? Nggak takut ngompol?"

Pertanyaan yang Kei rindukan. Dan detik berikutnya ia tersenyum.
Pintu kamar itu terbuka. Memperlihatkan perempuan dengan baju bergambar spongebob. Ia tidak tersenyum, tapi Kei masih suka melihatnya. Jarak balkon kamar mereka tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat.

Rambut perempuan itu yang ia biarkan tergerai disapu angin, menjadikan Kei ingin mengusapnya.

Dret...dret..dret..

Kei mengambil ponsel di kantong celananya. Bahagia. Melihat nama yang tertera memanggilnya. Semoga kali ini dia tidak sedang berhalusinasi atau bermimpi.

"Mau tidur aja kenapa harus minum coklat sih? Nggak takut ngompol?" pertanyaan yang selalu ingin ia dengar.

Udara malam berhembus. Mencium kulit mereka, membuat suasana hangat justru tercipta."Nggak, takutnya malah kamu hilang."

"Hemm...di minum dong. Masak dari tadi cuma dipegang."

Alice menatap Kei yang menuruti permintaannya. Lama ia mengunci tatapannya di sana. Rindu terbesit, dan rasa sayang kembali menyapanya. Kei kembali menatap Alice yang sibuk dengan cemilannya.

"Masih suka kuaci?"

"Iya abis suka bangetnya ke kamu." Alice terkekeh begitu juga dengan Kei. Percakapan yang setiap malam selalu sama. Tentang coklat yang panas atau kuaci kesayangan Alice. Percakapan yang sudah beberapa bulan ini mereka rindukan.

"Kalau makan kuaci dikupas dong. Emang enak kulitnya dimakan?" Kei memperlihatkan senyumnya.

"Abis kulitnya juga enak sih. Lagian kulitnyakan nggak aku telen, cuma aku emut bentar."

"Udah lama ya kita nggak kayak gini. Gimana kaki lo? Udah sembuh?"
Kembali. Suasana sekarang kembali menjadi cangung. Kei tidak mau melanjutkan pertanyaan yang hanya membuat dadanya sesak.

"Udah lumayan. Masih sedikit sakit sih, tapi gue udah bisa jalan kok."

"Syukur kalau lo udah sembuh. Jadi lo nggak ngerepotin gue lagi."

"Sial lo," ujar Alice tertawa. Kei menyukai tawa itu. Tawa yang membuat kedua mata Alice sedikit menyipit. Tawa yang selalu membuat detak jantung Kei menjadi cepat.
Alice menarik nafas pelan yang masih bisa didengar oleh Kei dari balik telponnya. "Kei.."

Kei menunggu Alice meneruskan ucapannya. Tapi ternyata dia sudah berhenti. Tidak lagi membicarakan sesuatu. Hening. Telpon itu masih terhubung. Alice dan Kei juga masih diam di balkon. Saling menatap. Jutaan harap terlintas dibenak Kei. Dan banyak rindu yang ingin disampaikan Alice.

"Lo udah ngantuk?" Pertanyaan yang tersisa di kepala Kei. Alice menganguk saat Kei menatapnya.

"Masuk gih, gue temenin lo sampek tidur."

Alice menurut, dia merebahkan tubuhnya. Menutup matanya meski telpon itu belum terputus. Kei masih di sana, berdiri menatap kamar milik Alice yang kini kembali tertutup. Sesak itu sedikit menghilang. Hembusan nafas teratur milik Alice seperti penganti oksigen bagi Kei. Membuatnya tenang. Kei menutup telponnya. Ia masuk ke dalam kamar, mencoba terlelap.

“I love you.”ujar Kei.

Dret...dret..dret...

Handphone milik Kei kembali berdering. Bukannya Alice udah tidur? batinnya.

Tanpa melihat siapa penelpon itu, Kei mengangkatnya. "Nggak jadi tidur lo?"

"Aku nggak bisa tidur Kak. Aku nggak ganggu kamu kan?" jawabnya.

"Nggak kok. Kenapa nggak bisa tidur? Mau aku nyanyiin?" tawar Kei. Rasa itu tidak kunjung hadir. Sekuat apapun Kei mencoba suka sama Fransisca. Hasilnya sama saja.

"Jangan nyanyi, suara Kakak nggak bagus. Aku maunya Kakak diem, tapi jangan dimatiin telponnya sebelum aku bobok."

Kei masih bingung, "kenapa aku disuruh diem?"

"Aku cuma mau denger nafas Kakak. Biar bisa cepet tidur. Nggak papakan Kak?" Ujar Fransisca.

Kei mengangguk, "Nggakpapa. Aku temenin sampek tidur."

Kei menempelkan handphone nya. Matanya menerawang, menatap langit-langit kamarnya. Ia menarik nafas panjang, "good night." Lalu telpon terputus.

"Sehebat apapun sandiwara suatu saat lelah pasti membuatmu menyerah."

===

Filantropi [SELESAI]Where stories live. Discover now