Part 21. Cruel

1.3K 160 14
                                    

Awan tidak akan selamanya mampu menahan beban air pada tubuhnya.

Untuk itu, hujan ada sebagai jawaban atas ketidaksanggupan awan dalam mengemban kehidupan.

---- Dream: So Far Away ----


"Dokter, tolong selamatkan nenekku."

Suara pilu seorang pemuda membuat salah satu dokter itu menghentikan langkahnya.

"Nenekku sedang sangat kesakitan sekarang. Aku berjanji akan membayar biaya rumah sakit secepatnya. Tolonglah sekali lagi dokter."

Dengan mengubur harga dirinya Jimin bersimpuh, meletakkan kedua tangannya yang mengepal erat diatas kedua kakinya yang tertekuk, bertumpu di atas dinginnya lantai.

Wajahnya kian tertunduk dengan derai air mata yang tak henti-hentinya keluar dari celah obsidian. Hanya nada keputusasaan yang keluar dari celah bibirnya, mencari sisa asa dari belah kasih untuk nenek tercinta.

"Kumohon.."

Tangannya terangkat meraih tangan sang dokter sambil terus bergumam mengucapkan kata tolong berkali-kali. Jimin sudah tidak peduli dengan keadaan sekitar yang tampaknya menjadikan aksinya sebagai tontonan menyedihkan di koridor rumah sakit.

Saat ini yang ada di kepala Jimin hanyalah bagaimana caranya agar neneknya yang saat ini sedang sekarat di Unit Gawat Darurat bisa segera ditangani.

Dokter tersebut masih tak bergeming. Ia hanya menghela napas lirih menunjukkan raut ketidaktegaannya. Namun bagaimana pun bukan dirinya yang memiliki wewenang atas itu semuanya. Ia hanyalah seorang dokter yang tidak memiliki kapasitas apapun dalam hal prosedur ketat dari rumah sakit tempatnya bekerja.

Sedikit meremat pinggir jasnya sambil memejamkan matanya sebentar, sang dokter kemudian menangkup kedua tangan pemuda itu, mengajaknya untuk kembali berdiri. Digenggamnya erat-erat tangannya, lantas dokter tersebut akhirnya membuka suara saat matanya sudah beradu dengan kedua mata sembab Jimin, menatapnya dengan penuh penyesalan.

"Maafkan aku, nak. Aku hanya mengikuti prosedur rumah sakit ini."

Bagai terjun dari ketinggian beribu-ribu meter, hati Jimin begitu sakit. Harapan satu-satunya untuk menyelamatkan nenek pupus sudah. Bahkan cara mengemis belas kasihan seperti ini pun tidak bisa untuk merubah keadaan.

Air mata semakin deras turun dari mata, tak bisa ia bendung. Jimin merasa sedih, kecewa, dan juga marah secara bersamaan. Marah pada keadaan, marah pada takdir yang begitu keji.

Dengan cepat ia menarik kedua tangannya dari genggaman sang dokter, lantas mata sembabnya menajam menatap lekat dokter itu.

"Kau dokter, kan? Apa sesungguhnya pekerjaanmu? Bukankah dokter ada untuk menolong orang sakit? Nenekku sedang sakit. Kenapa tidak ada satupun yang mau menolongnya hanya karena kami miskin. Apa kalian semua tidak punya hati?"

Jimin berteriak sekuat tenaganya. Tidak tahan dengan semua keegoisan sistem yang diciptakan oleh orang-orang dewasa. Mereka harus membayar tagihan dulu baru bisa ditangani? yang benar saja! Kenapa dunia diciptakan untuk mengungkung orang-orang miskin sepertinya? Kenapa?

Neneknya sekarang sedang sekarat di dalam sana dan membutuhkan tindakan operasi segera. Tapi kenapa seolah tidak ada yang peduli. Keluarganya memang tidak bisa membayar biaya operasi dan pengobatannya sekarang karena keterbatasan mereka. Namun Jimin dan ayahnya berkali-kali pula menekankan akan melunasinya. Bahkan Jimin dan ayahnya berani menjamin dengan nyawa mereka sendiri.

Tapi, seolah semuanya tuli dan buta. Uang diatas kemanusiaan. Apakah dunia memang sekejam ini? Jimin ingin berteriak sekeras mungkin.

Berbeda dengan kondisi Jimin yang menangis tersedu, ayah Jimin nampak lebih tegar mendekat pada anaknya. Merangkul serta mengelus pundak sang anak, sambil berujar lirih agar Jimin bisa tenang. Ia berusaha menyadarkan Jimin bahwa mereka ini sedang di rumah sakit. Apa yang Jimin lakukan bisa membuat kegaduhan dan bisa mengganggu para pasien yang ada disana.

DREAM - So far Away [End]✔Where stories live. Discover now