Minggu ini menjadi minggu tersibukku. Banyak yang harus ku urus dan ku tangani karena ada isu tidak benar mengenai kantor. Dan isu ini sudah menyebar di masyarakat sehingga sedikit sulit untuk dibenahi.
Lelah fisik dan batin membuat mood berantakan. Aku mudah sekali tersulut emosi oleh hal-hal sepele. Sungguh rasanya ingin sekali mengamuk sembari berteriak-teriak agar semua beban terasa hilang.
Jalanan Jakarta begitu macet sore ini, kaki sebelah kananku rasanya sudah ingin putus karena pegal menahan rem. Seakan kesabaranku benar-benar diuji.
Setelah dua jam di jalan, kini aku sudah tiba di rumah. Padahal bisa saja sampai sejam lebih cepat jika jalanan tidak menyebalkan seperti tadi.
Aku langsung melangkah ke arah dapur, mengambil segelas air karena sudah dehidrasi di jalanan sedari tadi. kemudian membawa gelas setengah penuh itu ke ruang tamu dan diletakan di atas meja.
Ku sandarkan pundak ke sofa sembari memejamkan mata. Walaupun fisikku sedang isitirahat, tetapi akal terus bekerja. Kepalaku terus berputar memikirkan pekerjaan.
"Kapan sampe?" tiba-tiba saja sebuah suara menginterupsi.
"Barusan." Jawabku tanpa membuka mata.
"Oh, cape banget keliatannya."
"Hem, emang." Lagi-lagi aku menanggapi tanpa membuka mata.
"Makanya nikah, cari suami kaya biar gausah cape-cape kerja."
Si makhluk kurang ajar ini mulai lagi. Aku menghela napas, mencoba menenangkan pikiran dan hati agar tidak tersulut emosi.
"Ngurus anak emang cape sih, ribet juga, tapi tetep ada kesenangan sendiri. Beda sama kerja di kantor." Lanjutnya.
Aku mulai membuka mata, masih dengan posisi yang sama ku lirik perempuan dengan rambut kuncir kuda itu. Dia adalah salah satu alasan mengapa aku ingin sekali punya rumah sendiri dan keluar dari rumah warisan kakek. Di sini aku tinggal dengan banyak sekali orang, ramai sekali jika jam-jam pulang kantor karena semua sudah di rumah. Seru sih karena tidak pernah merasa sepi, hanya saja privasiku sedikit terganggu.
"Nenek kemarin lagi nyari cowo buat dijodohin ke lo gue denger-denger,"
"Percuma. Bakalan gue tolak." Jawabku acuh dan membenarkan posisi duduk.
Ranti menoleh ke arahku. Kemudian ia kembali memandang lurus ke depan sembari menggelengkan kepalanya pelan. "yang kaya gini nih, lo jadi ga laku-laku. Hati-hati jadi perawan tua lo!"
"Biarin aja gue ini yang jadi perawan tua, kok lo ribet sih?!" emosi yang ku tahan mulai keluar sedikit-sedikit.
"Hati-hati sama omongan. Beneran jadi perawan tua aja lo. Udah galak makin galak nanti." Ranti kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Celibate
ChickLit[COMPLETED] Sebuah kisah yang tak diinginkan, namun dibutuhkan. Pic by genel.womenz.me edited by author [21-Dec-2018]