27. Sinar

1.3K 126 0
                                    

Pintu kedai kue terbuka. Seorang wanita muncul dengan raut wajah serius setengah bingung, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari. Pandangan mengedar ke seluruh kedai.

Ku angkat tangan sembari melambai. Ia terlihat menghela napas dan langsung melangkah ke arahku. Mendekat dan memelukku begitu saja. Napasnya yang terengah-engah ditambah pelukan erat membuatku merasa cukup sesak.

"Gue khawatir banget." Ujarnya.

Ujung bibir tertarik ke atas membentuk sebuah senyum simpul. "I am fine." balasku sembari menepuk punggungnya.

Athena melepas pelukannya dariku kemudian menarik kursi di sebrang. Mendaratkan bokongnya di sana dan langsung menatapku dalam. Walaupun terbalut riasan, wajah lelah itu tetap nampak jelas ditambah lagi raut khawatir kentara sekali.

Ia menggengam tanganku, erat sekali sampai membuat telapak terasa panas. "Gue ga butuh lo cerita sekarang. I don't want to be a bitch, but are you okay right now?"

Ku anggukan kepala pelan. "Bohong sih kalo bilang gue gapapa, tapi memang agak sedikit lebih baik dibanding kemarin. Well, i will get used to it."

"You mean the pain?"

Ku gelengkan kepala. "Gosip orang-orang tentang gue yang gagal nikah. Tentang gue yang nanti akan jadi perawan tua karena asumsi masyarakat gue trauma dari gagal nikah ini. Tentang gue...," tiba-tiba saja bibir terasa kaku dan lidah pun kelu. Mata mulai memanas layaknya keadaan hati sekarang. Dada yang sesak membuat mulut refleks terbuka mencoba menghirup udara yang ku tahu tidak akan memperbaiki kondisi hati.

Genggaman Athena mengerat. Dan aku pun balas menggengam tangannya. Mencoba untuk menguatkan hati yang sepertinya sudah terlalu lemah.

"Mereka akan bilang gue terlalu berambisi dengan karir. Atau mungkin gue terlalu pemilih karena nyari yang perfect. Tapi kenyataannya i was there. Gue berusaha cari pasangan agar desakan nikah dari keluarga berhenti, agar orang-orang di lingkungan gue ga cap gue perawan tua dan berakhir jadi aib keluarga. And look what i've got now?" Aku mencoba mengatur napas dengan menghirup dan membuangnya berkali-kali. Mencoba agar hal ini berskala agar rasa sesak itu hilang. Airmata mulai menetes, dan ku biarkan saja hal ini terjadi agar Athena melihat bahwa aku memang benar-benar hancur.

"They calling me the GOAT, but maybe not with the love." Sudut bibir sebelah kiri tertarik ke atas. Membuat sebuah senyum miris paling sakit. Detik berikutnya airmata kembali menetes. Ku tarik tangan dari genggaman Athena untuk menutupi wajah. Aku terisak, sekuat tenaga menahan bibir agar tidak mengeluarkan erangan paling memalukan.

Aku selalu memilih rumahku atau rumah Athena sebagai tempat untuk curhat sampai menangis, tapi kini rumah adalah hal yang paling ku hindari saat sedih. Jika keluargaku tahu aku masih sangat terpukul, mereka pasti akan sangat merasa bersalah karena mendesakku menikah. Sementara di rumah Athena, aku malah akan menambah label 'menyedihkan' di jidat dari keluarga Athena. Kedai kue memang bukan pilihan baik untuk menangis karena tempat umum, tapi setidaknya mereka tidak tahu apa penyebab tangisan itu.

Tangan yang semula menutupi wajah kini mulai turun dan kembali ke tempat semula setelah sebelumnya mengelap wajah dengan tisu. Aku menatap Athena yang matanya digenangi airmata. Melihat tatapan iba di matanya malah membuatku semakin ingin mengasihani diri sendiri.

"Like what i just said, jangan terburu-buru." Hanya itu yang lolos dari bibirnya.

Ku anggukan kepala sebagai tanggapan. Kemudian menyeruput mint tea hangat dari cangkir. Memberikan sugesti tenang kepada diri sendiri setelah teh itu menjalar ke tubuh melalui kerongkongan.

"Tuhan masih baik untuk kasih lo petunjuk di awal. Kalo aja dikasih tahu pas lo udah nikah, apa ga lebih parah?" Kini tatapan ibanya berubah menjadi tatapan tegas yang membuat mataku terkunci.

"Saat lo udah nikah dan lo merasa kalo dia yang akan menghabiskan waktu dengan lo selamanya, impian soal keluarga yang hangat dengan jumlah anak impian juga udah dirangkai sedemikian rupa setelah malam pertama. Tapi semuanya mendadak gelap setelah lo tahu kenyataan. Bukannya itu akan jauh lebih sakit?" Tatapan Athena terasa menusuk hati Laura, tepat di bagian tengah. She clearly hit the point.

"Omongan orang bukan hanya perkara trauma pria lagi tapi mereka akan nilai lo ga becus jadi istri, apalagi kalo udah ada anak mereka akan nuduh lo ibu ga baik. Lo balik kerja lagi dan mereka berasumsi lo berusaha menarik perhatian pria lain untuk nikah lagi, lo ga kerja lo dinilai ga punya pikiran. Bukan cuma sekedar sakit, tapi udah perih. Jiwa raga lo dibuat mati sama omongan orang-orang yang gatau kejadian sebenarnya." Athena menggelengkan kepala pelan masih dengan tatapan dalamnya. Ia berbicara sembari menunjuk meja dengan jari telunjuk, membuat makna tegas dari komunikasi non verbal.

"Lo ga akan bisa jalan lagi kalo mikirin asumsi orang-orang. Dan lo juga gabisa ngelarang mereka berasumsi. That's how the life works. Yang lo perluin itu sembuhin hati dengan ngelakuin yang lo suka. Lo udah terbiasa jalan dengan kedua kaki lo sendiri, lo ga butuh empat kaki untuk menyempurnakan langkah menuju puncak." Athena kembali menggengam tanganku. Kalimatnya terasa seperti hantaran listrik yang kembali menghidupkan sesuatu dalam jiwa. Tidak sepenuhnya terang, tapi sinarnya mulai terlihat.

Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan untuk merasa sembuh dari sakit hati. Tapi setidaknya aku sudah mendapatkan sedikit semangat untuk memulai semuanya lagi. Tidak memulai dari awal karena hal seperti ini tentunya bukanlah sesuatu yang harus ku lupakan, melainkan terima sebagai pelajaran mahal dalam hidup agar tidak terlalu teburu-buru mengenai sesuatu yang berkaitan dengan perasaan.

Continued

CelibateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang