17. Rasa Ingin

1.6K 169 21
                                    

Fadli datang dengan tampilan santai kaus polo dan celana chino selutut. Terlihat lebih santai dan tampak lebih manis dibandingkan dengan setelan kerja.

"Lama banget ganti bajunya," celetuk Anggita.

"Sekalian siraman bentar," jawab Fadli dengan cengiran bodoh.

"Beli makan sana. Masa tamu cuma disediain air putih," ujar Anggita.

"Ih gapapa kok Tante. Aku juga gamau ngerepotin," ujarku tak enak hati.

"Ih jangan gitu. Fadli, gih sana beli."

"Ayo, El," Ajak Fadli santai.

"Permisi, Tante," aku bangkit dari duduk dan membungkukan badan sedikit untuk permisi.

Kami melangkah keluar rumah. Udara di sini lumayan sejuk karena banyak tanaman dan pohon-pohon. Agak seram sih, tapi mengingat suasana di dalam rumah hangat, kesan seram itu hilang.

"Beli nasi goreng abang-abang di depan aja mau ga?"

"Boleh," ku anggukan kepala sembari berjalan bersisian dengan Fadli.

"Mama ngomong apa tadi?"

Aku menoleh ke arahnya, mengangkat satu alis. "oh itu, soal...," aku berpikir sejenak, jika ku beri tahu Fadli soal cerita Anggita tadi, kira-kira ia marah tidak ya.

"Gue?" tanya Fadli lagi

"Eh,uhm," sialnya aku malah jadi gugup.

"Gue yang sebenernya ponakan dia?" tebak Fadli.

Ku anggukan kepala sebagai jawaban, kemudian tidak berniat menambahi karena ini adalah persoalan sensitif.

"Tumben dia mau cerita. Biasanya dia nutupin hal itu banget dari orang lain dengan alasan gamau gue nanti di-bully."

Samar-samar aku bisa melihat Fadli tersenyum miris. Mengingat cerita Anggita dan jawaban non-verbalnya membuat aku jadi salah tingkah dan tak enak hati.

"Im so sorry for your lost," hanya itu yang bisa meluncur dari mulut.

"Thanks," tanggapnya.

Merasa suasana mulai redup dan terasa sangat canggung. Aku mencoba mencari topik lain. "Well, im adore her. Dia perempuan independent yang keren di usianya. I know age is just a number tapi justru karena gue tau umur dia gue jadi ngefans."

Fadli menoleh ke arahku. Tersenyum manis. "Sepertinya dia juga seperti itu ke lo."

Satu alisku tertarik. "Maksud lo?"

"Gue jarang ngeliat Mama seakrab dan langsung bisa cerita soal rahasia yang dia tutupin selama ini ke orang asing, apalagi ini pertama kali kalian ketemu. Gue yakin aja ada sesuatu yang buat lo attractive di mata dia."

Agak-agak tersipu juga sih dipuji oleh Fadli. Pujian yang beda dari biasanya karena tidak memasukan kata-kata 'cantik' seperti pujian pada umumnya.

"Gue kan PR udah terbiasa harus kasih first impression yang bagus ke orang," jawabku mencoba menyanggah pujiannya.

"Mama juga ketemu banyak orang, tapi sikap ke lo itu beda."

Ku anggukan kepalaku sembari mengulum senyum. "ya, ya, ya. Udah ah jangan buat gue jadi makin geer," aku sedikit mendorong lengannya.

"Kalo dia suka lo gimana?" tanya Fadli masih sembari berjalan ke arah gerobak yang sudah tidak jauh lagi.

"Ya bagus lah, kita bisa temenan baik kalo gitu." tanggapku enteng.

CelibateWhere stories live. Discover now