22. Lukanya

1.4K 147 4
                                    

Melihat sampel undangan yang dikirimkan dari pihak WO barusan, benar-benar menggangu konsentrasiku kerja. Alih-alih fokus menyelesaikan siaran pers, aku malah tertarik untuk melihat-lihat sampel undangan.

Hampir semua memiliki warna soft, mungkin karena temanya musim semi. Undangan yang sudah dituliskan harga satuan dibagian depannya benar-benar menarik perhatian.

Karena warnanya hampir senada aku jadi bingung dan gemas sendiri karena tidak bisa menentukan mana yang bagus. Berulang kali aku tata di atas meja dan mencoba mengambil kandidat yang kemungkinan akan ku pilih, eh malah berakhir aku memilih empat dari lima contoh undangan. Tiba-tiba saja aku teringat akan seseorang untuk diandalkan memilih hal-hal semacam ini.

Aku men-shut down laptopku dan bangkit dari duduk. Keluar ruangan menuju ruang yang terletak paling kanan di lantai ini. Ruangan yang tidak jauh dari lift.

Aku mencoba mengetuk pintu sebelum memutar knop.

"Masuk," ujar seseorang di dalam.

Tanpa pikir panjang aku memutar knop pintu dan masuk ke dalam.

Ia menoleh dan tampak terkejut dengan kehadiranku. "Hei," sapa Fadli sembari mengklik mouse komputer.

"Sibuk ya?" tanyaku sembari mendekat.

"Engga. Duduk, El," tawarnya mempersilahkanku duduk di kursi yang berhadapan dengan Fadli.

"Ada apa?" ia melipat kedua tangan di atas meja dan mulai memberikan perhatian penuh padaku.

Ku letakan lima macam undangan di atas meja. "Bagusan yang mana?" tanyaku padanya sembari ikut melihat ke arah undangan.

"Uhm...," ia tampak menimbang-nimbang jawaban. "Nih." berakhir dengan menunjuk undangan berwarna cokelat dengan pita satin warna gading sebagai hiasan.

"Kenapa?"

"Simple tapi manis."

"Oke, makasih." Karena aku sudah percaya dengan Fadli dan pilihannya, jadi aku tidak berniat memperdebatkan perihal undangan ini.

"Buat siapa? Sepupu lo?"

Ku alihkan pandangan ke arahnya, menatap Fadli sebal dengan sedikit memanyunkan bibir. "Huh enak aja. Buat gue lah."

Mata Fadli membesar, ia tampak terkejut. "Serius?"

"Emang gue keliatan bercanda?"

"Sama siapa?"

"Dimas. Temen kampus gue dulu. Kita udah pacaran sih walaupun ga lama-lama amat, gue juga yang kebelet mau nikah. Jadinya yaudah deh, kemungkinan kita akan nikah akhir tahun nanti." jelasku.

Manik matanya bergerak ke kiri sebelum pada akhirnya ia menghela napas. Kepalanya nengangguk sedikit beberapa kali. "Well, congrats." Ucapan selamat tanpa nada bahagia pertama dari Fadli yang ku dapatkan selama mengenalnya.

"You good?" satu alisku terangkat. Raut wajah Fadli tampak lebih redup dari sebelumnya.

"Yeah, just about to move on." Bahunya terangkat saat ia mengucapkan kata pertama dan disusul senyum miris saat kata keduanya mulai terlontar.

Aku menatapnya dalam, ada rasa aneh di dalam diriku melihat Fadli sekarang. Ia memang pernah mengatakan soal pernikahan beda agama yang agaknya menjurus ke kami berdua, tapi saat itu aku berpikir bahwa itu hanya pertanyaan biasa tanpa ada campur rasa di dalamnya.

"Sejak kapan?" tidak tau apa yang baru saja membentur kepalaku, dari sekian banyak kata dan kalimat, malah pertanyaan ini yang terlontar.

Kini giliran Fadli menatapku. Dalam dan intens selama beberapa detik hingga pada akhirnya ia mengalah dan memandang arah lain. "Udah lama. Mungkin dari kita awal deket."

"Kenapa?" lagi, aku merasa bodoh dengan pertanyaan yang spontan terlontar.

Ia tersenyum miring. "Kenapa? Well, banyak sebab sampai susah buat gue untuk nyanggah perasaan ini sendiri dan bilang ke diri gue kalo gue ga ada rasa tertarik sama lo."

Aku menelan ludah mendengar jawaban Fadli. Tiba-tiba saja dadaku sesak. Oksigen terasa sangat sedikit di ruangan ini.

Jika kalian berpikir menolak seseorang itu mudah dan tidak menyakitkan, kalian salah besar. Sebagai manusia biasa yang berperasaan, aku selalu merasa ikut sakit hati saat menyakiti orang lain. Terlebih Fadli adalah sahabat. Aku merasa brengsek sekali mengetahui ia memendam perasaan ini dari lama dan aku tidak pernah menyadarinya.

"Kenapa ga diungkapin?" tanyaku lagi.

"Akan selalu ada jawaban yang sama. Kita beda. Bukan cuma soal keyakinan tapi soal perasaan juga. Gue yang menginginkan hubungan itu ada dan lo yang engga. Gue cukup sadar untuk ga melangkah lebih jauh, terlebih saat malam itu. Malam dimana gue bilang ke lo kalo gue ga pernah masalah dengan perbedaan tapi menurut lo itu masalah. Apa ada yang harus gue lakuin lagi untuk memperjuangkan hal yang gue tau gue ga akan menang?"

Mataku memanas. Sungguh setiap kata yang keluar darinya benar-benar membuatku merasa seperti bajingan. Aku telah menyakiti orang terbaik di hidupku dan tidak menyadarinya. Aku memang tertarik dengan Fadli, tapi jauh dalam lubuk hatiku, tidak ada rasa ingin bergerak dari hubungan pertemanan. Aku bukan tipikal seseorang yang senang hal beresiko seperti menjalin hubungan dengan perbedaan semacam itu.

"Maaf." hanya ini yang bisa terlontar dari mulutku. Sungguh rasanya ingin memaki diri sendiri karena telah menjadi orang paling bodoh.

"Gapapa," jawabnya. "Memang seharusnya gue ga pernah kasih tau lo soal ini, tapi berhubung lo mau nikah juga dan ga akan ada perubahaan apa-apa, gue rasa lo berhak tau soal perasaan gue yang nanti bisa lo jadiin kenangan sekaligus pelajaran ke depannya." lanjut Fadli.

Aku tidak berani menatap matanya. Rasanya terlalu sakit melihat wajah manis itu menjadi kehilangan cahayanya karena aku. Jika saja aku bisa memilih semuanya, mungkin aku akan memilih untuk memiliki persamaan dibandingkan perbedaan dengan Fadli. Dan menjalani hubungan dengan pria paling baik yang pernah ku temui ini. Tapi sayangnya, aku tidak bisa memilih hal-hal semacam itu.

Aku bangkit dari duduk. "Makasih udah mau melontarkan semuanya. Makasih udah mau jadi teman terbaik orang yang gabisa kasih lo kebahagiaan ini. Maaf untuk semua hal, Dli." Dengan sangat canggung, aku mulai bergerak menjauh darinya. Melangkah menuju pintu.

"Jangan lupa undangan buat gue satu. Have fun ya." Tepat sebelum aku memutar knop pintu, suaranya kembali terdengar.

Aku hanya mengangguk tanpa menoleh dan melanjutkan langkah keluar ruangan. Begitu pintu kembali tertutup dan aku sudah berada di luar, mataku ku pejamkan dan menikmati aliran air mata yang menetes.

Jatuh cinta itu memang bukan pilihan. Ku yakin Fadli tidak memilihku pada awalnya sebagai seseorang yang ia cinta, begitupun dengan aku yang memilih tidak cinta dengannya. Cinta merupakan hal yang tidak bisa dikuasai. Semakin dihindari malah ada yang semakin jadi. Meski diusir berkali-kali, tetap saja menghampiri.

Tidak ada yang bisa disesali. Rasa sakit hati Fadli adalah tanggung jawabnya, begitupun dengan memilih untuk tidak cinta padanya yang menjadi urusanku. Seharusnya memang tak serumit ini, tapi tetap saja menyakiti hati seseorang adalah hal yang sangat ku hindari.

Aku tidak pernah kepikiran tentang ada hati yang harus disingkirkan saat menuju hari bahagia. Dan adanya sebuah luka sebelum tawa. Jika pun memang harus ada, aku selalu berharap biar aku saja yang menerima. Bukan dia, seseorang yang hatinya paling berharga.

Continued

An: Hai, semuanya.

Biar semakin dapet feelnya, aku kasih lagi blackpink yg  judulnya hope not. Kalo biasanya cerita aku isinya si tokoh utama yg disakitin, kali ini aku mau ceritain gimana jdi seseorang yg gabisa ngebalas perasaan org lain alias buat org lain sakit hati. Dan kalo kalian buka videonya, arti lirik lagu itu pas banget buat part ini.

So enjoy ya. Jangan lupa vomments 💋

Xo

CelibateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang