10. Secangkir Obrolan

2K 198 7
                                    

Kelas pilatesku selesai. Keringat yang keluar membuat tubuh terasa lembab. Sebelum mandi, aku mengabari Fadli bahwa aku sudah selesai latihan, jadi nanti aku tidak terlalu lama menunggu ia datang.

Seperti biasa, sehabis pilates aku pasti akan keramas. Sampo dan conditioner selalu ada di dalam tas olahragaku lengkap dengan hairdryer dan handuk bersih. Jadi aku selalu bawa dua handuk jika pilates. Yang ku gunakan untuk mengelap keringat akan langsung masuk tumpukan cucian kotor, sementara yang satunya akan ku gunakan untuk handukan saat keramas.

Saat tengah mengeringkan rambut dengan pengering rambut, ada satu panggilan masuk dengan nama Fadli tertera di layar. Aku segera mengusap layar ponsel pelan dan menerima panggilannya.

"Halo?" ujarku pada Fadli.

"Namaste," terdengar tawa renyah dari sebrang sana yang entah kenapa menular kepadaku.

"Apasih, Dli,"

"Hehehe, gue udah di luar ya. Tempatnya samping butik kan?"

"Iya, yaudah bentar gue keluar." Dengan rambut setengah kering, aku segera beranjak keluar dari ruang ganti sembari membawa tas olahraga.

Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan pagar tempat pilatesku. Dengan sedikit berlari aku mendekat ke arah mobil Fadli, kemudian langsung memasukinya.

"Lama ngga?" seperti biasa, basa-basi.

"Engga kok." Kemudian ia mulai menyalahkan lampu sein untuk kembali ke tengah jalan dan melesat pergi.

Sepanjang jalan aku dan Fadli seakan tidak pernah kehabisan topik. Ia adalah pria paling open minded yang pernah ku temui. Semua obrolan selalu terasa klik, ku rasa kami juga banyak memiliki pendapat dan pemikiran yang sama. Dari mulai soal politik sampai selera fashion. Satu hal yang membuatku benar-benar takjub adalah pemikirannya mengenai equality di Indonesia. Dulu waktu kami awal-awal kenal dan tidak sengaja membahas topik agak sensitif itu, ia seringkali mengemukakan opini mengenai artikel-artikel di internet. Sungguh, menyelami pemikiran Fadli adalah hal paling menakjubkan yang pernah ku rasakan. Ia benar-benar cerdas dan setiap kalimatnya seakan mengemukakan pendapatku juga.

"Dli, gue kesel deh sama orang-orang yang suka komentar tentang cara berpakaian gue di Instagram. Mereka ngetik kaya gitu seakan-akan hidup gue liar banget dan ga ada aturan." Ujarku di tengah perjalanan saat sedang iseng buka Instagram dan membaca komen-komen foto yang ku unggah.

"El, ini bukan kali pertamanya kan lo digituin?" balas Fadli santai masih menyetir.

"Bukan lah, lo kan tau gue udah sering dihujat hahaha."

"Yaudah, lakuin apa yang biasa lo lakuin aja. Lagian nih ya, komentar mereka ga akan buat gue menjauh dan berhenti jadi temen deket lo, El. I know you in a person, and they obviously don't."

Sungguh jawaban yang menenangkan hati. Fadli tidak butuh kata-kata puitis nan memotivasi seperti 'lo itu baik aslinya, lo itu cantik banget, dan bla-bla-bla', tapi ia cukup berkata 'gue tau lo dan mereka engga' itu sudah membuat hatiku tenang. Secara tersirat aku bisa menginterpretasi bahwa aku bukanlah sosok yang buruk untuk dijadikan teman dekat.

CelibateWhere stories live. Discover now