18. Cinta Berfisik

1.7K 164 7
                                    

Berulang kali aku menghela napas kemudian menghembuskannya perlahan. Mengulangnya lagi dan lagi untuk meredakan detak jantung yang berdetak cepat.

Ku remas ponsel sembari mondar-mandir ruang keluarga. Banyak gambaran tentang apa yang akan terjadi hari ini. Gambaran bersifat postif maupun negatif.

Tling

Sebuah notifikasi pesan WhatsApp muncul di layar ponsel. Pesan itu dari Dimas yang memberikan kabar bahwa ia sudah di depan rumah. Dengan sigap aku sedikit berlari ke arah pagar dan membukakan pintu pagar untuknya.

Dimas memarkirkan mobil di pekarangan rumahku. Tidak lama mobil itu terparkir ia keluar dari kendaraan roda empatnya. Terlihat segar dengan rambut yang sudah diberikan pomade. Dimas tampak manis dengan kemeja warna hijau army dan celana hitam yang mengatung di atas mata kaki.

"Hei," ujarnya mendekat ke arahku. Ia membuka kedua tangannya, mengharapkan sebuah pelukan.

Aku memeluknya selama beberapa detik. Merasakan aroma parfume dari dada yang terbalut kain kemeja itu. Tubuh Dimas yang dua kali lipat lebih besar dariku terasa sangat nyaman untuk dipeluk. Imajinasi cuddling setiap malam dengannya pun mulai muncul di benak. Jadi semakin tidak sabar untuk menikah.

"Ibu kamu udah ada di dalam?" tanyanya sangat manis hari ini.

Ku anggukan kepala yang masih menempel di dadanya. Dimas tidak terasa keberatan ku peluk lebih lama. Ia malah mengusap kepalaku.

"Laura," suara Nenek membuatku tersadar bahwa rumahku diisi oleh banyak makhluk hidup. Buru-buru aku melepaskan pelukan Dimas.

Alih-alih marah karena tidak senonoh pelukan di depan rumah, Nenek malah tersenyum melihat ke arah kami. Senyum sumringah yang sudah lama tak ku lihat itu. Wajah Nenek terlihat seperti ia mendapatkan apa yang ia ingin selama ini.

Aku melangkah lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah diikuti oleh Dimas yang mengekor. "Nek, ini Dimas."

"Saya Dimas, Nek. Pacar Laura." perkenalan manis yang membuatku salah tingkah sendiri.

"Rupanya Laura susah mencari jodoh karena dia suka yang tampan seperti kamu toh," canda Nenek.

Dimas melirik ke arahku. Aku hanya menunduk malu dan merasa kikuk digoda oleh Nenek seperti itu.

"Eh udah sampe," Ibu datang dari dalam rumah. Kehadirannya langsung disambut oleh cium tangan dan perkenalan Dimas yang sama seperti perkenalan kepada Nenek.

"Ayo masuk, Dimas. Kita duduk di dalam," Ibu memimpin arah menuju ruang keluarga.

Rumah sedang tidak begitu ramai karena Tante dan sepupu-sepupuku banyak yang sedang beraktivitas. Aku sengaja memilih pertemuan ini hari produktif seperti Jumat agar suasana rumah jauh lebih kondusif.

"Makan, Dimas. Tante buat pie brownis khusus buat tamu spesial kali ini."

Dimas hanya tersenyum malu. Ia sangat sangat manis saat tersenyum. Gula pun bisa dijadikan lawan senyum Dimas.

Dimas meraih satu potong kue yang berbentuk kecil-kecil itu. Ia mengigitnya kemudian menganggukan kepala semangat. "Enak, Tante," puji Dimas.

"Ah masa?" balas ibu pura-pura merendah.

"Iya serius," Dimas meyakinkan ibu dengan bantuan gerakan alis yang menaik.

"Panggil Ibu aja, Dim. Kan bentar lagi juga jadi Ibu mertua,"

Dimas seketika terdiam, ia terkejut. Namun detik berikutnya ia kembali mengangguk dan tertawa kecil sembari mengiyakan perintah Ibu.

"Eh iya bentar, Ibu panggil Bapakmu dulu, El." Ibu bangkit dari duduk, melangkah menuju kamar yang berada paling ujung ruangan.

Hanya tinggal aku, Dimas, dan Nenek sekarang. Cukup awkward sih sekarang, dan yang anehnya skill komunikasiku seakan menguap.

"Udah berapa lama pacaran kalian?" tanya Nenek yang memilih buka suara.

"Uhm mungkin udah enam bulan lebih," jawabku.

"Oh masih sebentar. Tapi bagus lah, jangan lama-lama pacaran. Dosa," ujar Nenek.

Kami berdua hanya tersenyum kikuk dan menganggukan kepala.

Bapak keluar dari kamar bersama Ibu. Mimik wajah kalemku mewarisi Bapak, jadi begitu ia keluar dari kamar auranya mendadak berbeda. Lebih hangat.

Dimas mengulangi perkenalannya lagi. Ia masih saja tersenyum manis dan terlihat santai. Seakan semua beban itu memang hanya ada padaku. Padahalkan seharusnya dia yang panik karena akan meminta restu.

"Ini yang mau bicara sama Bapak?" Bapak tersenyum sembari berjabat tangan dengan Dimas. Kemudian ia duduk.

"Jadi..., straight to the point aja. Kedatangan kamu kesini ada perlu apa?" masih dengan mimik wajah tenang seperti Dimas.

"Saya mau melamar Laura, Om." Jawaban Dimas pun sama, terkesan to the point.

Alih-alih terkejut, bapak malah tersenyum. "Kalian kenal dimana?" bapak justru memberi pertanyaan bukan jawaban.

"Kita satu kampus. Kenal di BEM. Kebetulan kembali dipertemukan melalui salah satu teman kita, Om. Saya sudah merasa cocok dan mengenal Laura, jadi saya berani memutuskan untuk melanjut ke jenjang yang lebih serius."

Jawaban Dimas membuat darah terasa mengalir deras di bagian dada. Rasa hangat dengan tenang menjalar di sekujut tubuh begitu mendengar penjelasannya. Tanpa ku sadar sudut bibirku tertarik ke atas membentuk senyuman.

"Apa yang membuat kamu mantap menikahi anak saya?" layaknya interview pekerjaan, bapak masih mau menggali banyak hal dari Dimas.

Dimas terdiam, ia memberikan tatapannya padaku. Hal ini membuat rasa tenang sebelumnya menguap berganti rasa gugup. Jika jawaban Dimas tidak enak, pasti bapak bisa langsung menolaknya mentah-mentah.

Sudut bibir pria itu tertarik ke atas, matanya beralih menatap lantai. "Saya belum pernah menemukan perempuan yang tangguh seperti Laura. Dia perempuan yang membuat saya jatuh cinta karena sifat dan sikapnya. Simple-nya, setelah menemukan Laura, saya sudah tidak terpikirkan tentang perempuan lain."

Jawaban yang sangat manis sampai membuat hatiku terasa penuh. Rasa senang itu bergemuruh di dada. Tanpa sadar mataku memanas. Sudah lama aku tidak merasakan senang sampai sebegininya.

Terjadi jeda selama sekitar dua menit, suasana terasa hening setelah Dimas berhenti bicara. Sampai pada akhirnya bapak berdekhem.

"Uhm, kapan kita bisa bertemu orangtua kamu?" tanya bapak yang menyiratkan persetujuaan atau penerimaan lamaran Dimas.

Mataku membesar, "Bapak izinin aku nikah sama Dimas?" refleksku.

"Kenapa engga?" jawabnya kalem.

Sungguh, hari ini adalah hari paling menyenangkan untukku. Hari dimana aku kembali memiliki harapan untuk kehidupan percintaan. Hari yang membuatku yakin bahwa cintaku sudah datang. Cinta sederhana yang wujudnya tak pernah ku tau dari siapa kini mulai berfisik. Terimakasih Tuhan sudah mempercayaiku untuk mencinta lagi.

continued

AN: hai, semuanya.
maaf baru update hehe lama ya:( psti kalian udh lupa sma cerita ini.

Jangan lupa vote dan komen ya sayang.

Xo 💋

CelibateWhere stories live. Discover now