29. Perkara Hati

2.8K 144 5
                                    

Kopi hitam di atas cangkir membuat kepulan asap pendek karena panas. Kopi hitam tanpa gula, pahit seperti yang punya.

Lagi-lagi ku usap airmata yang mencoba menetes. Menatap ke arah lain guna mengatasi rasa sakit hati yang sebenarnya tidak ada guna. Dada kembali sesak, ku pikir ini akan menjadi lebih baik namun nyatanya sama saja.

"Kenapa aku?" setelah sepuluh menit duduk bersama tanpa suara, aku memilih membuka mulut lebih dulu.

"Aku ga bermaksud jadiin kamu korban. Sama sekali ga ada niat. Pas Dian coba untuk ngingetin aku sama kamu, i thought there will be just friendship things. Tapi arah obrolannya seakan dia mau comblangin kita. Aku gamau ngecewain Dian aja awalnya, that's why i seems like have no interest in our first so called date. But after spending time with you, i could say you are adorable. I mean extremely attractive." Matanya memancarkan kilat di akhir kalimat, seakan ia benar-benar tulus.

Pikiranku tertarik pada dating pertama di restoran Sushi. Kepala me-recall betapa menyebalkannya waktu itu. Dimas benar-benar terasa tidak tertarik dengan topik pembicaraanku. Seharusnya dari situ saja aku tahu bahwa dia memang tidak sepenuh hati menjalani sedari awal.

"Lo kan bisa nolak permintaan Dian kalo emang lo ngerasa seakan dia minta kita buat pacaran. Atau kenapa lo ga tiba-tiba ngilang aja? Seengganya kalo lo pergi di awal, harapan itu ga akan sebesar kemarin."

"Aku kepikiran buat ngilang. Tapi aku selalu kebayang betapa antusiasnya kamu kalo cerita, seolah-olah kamu kumpulin semua cerita dan cuma mau bagi itu sama aku. Jujur aja aku ngerasa senang, seperti dispesialin. Saat aku bilang aku sayang kamu, aku beneran sayang. Cuma aku ga cinta."

Kalimat Dimas yang satu ini seakan meremas hati. Perih sekali. Mengapa ia menjelaskan bagian tidak cinta? Bisakah ia berhenti dibagian dimana ia menyayangiku? Setidaknya buatlah aku merasa sedikit berharga.

"Kenapa ga bilang dari awal?" Tidak banyak kata yang mampu lolos. Padahal pikiran sangat kalut dipenuhi kata-kata yang ingin terucap namun tak pernah berhasil keluar.

Dimas menatapku dalam dan diam. Keheningan melalui tatapannya membuat sekujur tubuhku lemas. Tatapannya terasa mengunci, seolah kedua tangan besar itu menggengam lenganku agar diam.

"Karena udah terlanjur, El." Suaranya terdengar pelan namun tidak lembut. Ada rasa sedih dalam intonasi Dimas. Sangat sedih sampai kedua mata itu kini mulai berkaca-kaca.

Sungguh, rasanya aku lupa kapan terakhir kali merasakan sakit hati sedalam ini. Mulut refleks terbuka karena dada terlalu sesak. Ku coba tarik napas dari hidung dan mulut guna mengatasi rasa sesak yang tak kunjung hilang. Airmata menetes begitu saja, kepala refleks menoleh ke kanan, menatap ke arah lain restoran yang kini sedang sepi.

"Gue ga abis pikir lo setega ini." Ku gelengkan kepala. Menatapnya lalu kembali membuang arah pandangan. "Kalo aja gue masih gatau soal ini, lo pasti masih nutupin kan? Dasar Bajingan." Kepala kembali ku toleh ke arah Dimas, menatapnya dengan tatapan marah yang menyedihkan. Airmata mengalir begitu saja dan aku tidak berniat menghapusnya. Biar saja ia tahu bahwa aku sakit hati.

"Aku ga pernah milih untuk jalan di jalanan ini, El. Aku juga ga pernah niat jadiin kamu korban, aku punya hati. Tapi semua terasa seakan diatur, aku ga punya pilihan kecuali menjalani keduanya. Kamu harus paham."

"Gue ga mempermasalahkan hal lainnya yang lo nilai rumit di kehidupan lo, Dim. Yang gue permasalahkan kenapa lo gunain gue untuk nutupin semua?"

"Aku ga gunain kamu—,"

"Kalo ga gunain gue kenapa lo nahan gue? Kenapa ga biarin aja gue pergi dan tahu kenyataannya dari awal? Lo terus denial padahal udah jelas, Dim." Nadaku sedikit meninggi. Rasanya sangat panas ingin marah dan membentak, tapi aku sadar diri.

"Lo gatau kan kalo gue bukan cuma sumbang tenaga dalam persiapan nikah kita, tapi gue juga sumbang harapan di sana. Gue rangkai semua biar sama kaya pernikahan impian gue. Gue terlalu sibuk dengan mimpi gue sampai gue lupa bahwa lo ga pernah sumbang apa-apa di sana. Lo ga pernah coba partisipasi, tapi gue malah menutup mata dan coba percaya sama lo. Sakit hati gue bukan cuma soal rusaknya kepercayaan gue ke lo, tapi juga tentang harapan gue yang hilang gitu aja." Seakan ada batu di dalam dada, berat dan sesak sekali. Aku bersyukur mulut sudah mau membantu kepala yang sedari tadi mumet dengan kata-kata.

"El, aku minta maaf. Aku bener-bener minta maaf. Aku terlalu egois, aku sadar." Matanya menatapku nanar. Ia menggenggam satu tanganku yang berada di atas meja.

Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut. Mudah saja untuk berkata 'aku maafkan' tapi hati seakan menolak keras. Ia sudah tidak sanggup lagi berpura-pura kuat. Mungkin hatiku juga sedang terpuruk dan sangat jatuh sampai tidak ada ruang untuk mencoba bersikap baik-baik saja. Kalian bisa bayangkan betapa kuatnya hatiku yang sudah pernah dikecewakan Keanu, dibuat merasa bersalah dengan Fadli, dan dihilangkan harapan oleh Dimas. Semua terjadi dalam jangka waktu yang tak begitu jauh, membuat hati mendapat luka secara berskala. Jika saja aku tidak terlalu keras pada bagian paling rapuh ini dari awal, mungkin ia tidak akan seterpuruk ini.

"Kamu pantas disayangi, El. Dicintai dengan tulus. Kamu akan dapat yang lebih baik. Dan aku pantas menerima rasa benci dari kamu." Dimas memberi tatapan yang sulit diartikan. Ia benar-benar merasa bersalah. Tatapannya nanar dan mata yang berkaca-kaca itu mulai meneteskan airmata. Sedikit memang tapi aku tahu hatinya juga terluka. Karena saat kita menyakiti orang lain, tidak selalu kita tidak merasakan sakit juga.

Aku menarik tanganku darinya. Menghapus airmata dengan kedua tangan. Lalu menyeruput teh yang sudah dingin di cangkir. Mencoba membuat suasana jauh lebih tenang walau sulit.

"Gue gabisa maafin sekarang, tapi gue akan maafin. Anggap aja ini pelajaran hidup buat kita berdua." Padahal aku sudah mencoba merangkai kalimat panjang sebagai jawaban. Lagi-lagi hanya segelintir yang mampu keluar dari mulut.

Dimas tersenyum tipis. "Kalo aja gue ketemu lo lebih dulu, mungkin kita ga akan kaya gini."

Ku gelengkan kepala. "Kalo aja lo jujur lebih dulu, mungkin kita ga akan kaya gini." Ujarku mengkoreksi kalimatnya.

Tidak peduli siapa yang bertemu dengannya lebih dulu, jika cinta ya cinta. Mungkin saja ia tidak akan tertarik padaku jika aku bertemu dengannya lagi lebih dulu dari ia bertemu kekasihnya. Atau mungkin bisa saja kami berpacaran tapi ia tetap akan selingkuh karena bertemu yang jauh lebih ia cintai? Semua yang dipertanyakan dengan kata 'mungkin' belum tentu akan berakhir berbeda seperti keadaan sekarang, karena memang mungkin saja bisa sama. Daripada berandai-andai tentang kejadian yang akan terjadi jika kita tidak salah langkah dalam masa lalu, lebih baik semua ini dijadikan pelajaran agar tidak kembali salah di masa depan. Apalagi perkara hati.

Continued

CelibateWhere stories live. Discover now