13. Gelang Permintaan Maaf

1.7K 195 8
                                    

Hujan sore membasahi jalanan kota. Membuat ruangan dengan pendingin ini semakin terasa dingin. Aku menggesekan kedua telapak tangan agar menimbulkan efek hangat untuk diberikan pada leher.

Melakukannya berulang kali guna menghangatkan diri karena aku hanya memakai blouse warna hijau tua yang lumayan tipis. Jika tahu akan turun hujan dan sedingin ini, aku pasti akan memakai sweater rajut untuk luaran.

Ku lihat jam tangan di lengan sebelah kiri, sudah lewat setengah jam dari waktu yang ditentukan. Rasa bosan sudah mulai menyerang ditambah lagi ponselku lowbat. Jika lima belas menit lagi ia tidak sampai, lebih baik aku pulang.

Asap yang mengepul dari secangkir kopi sudah tak lagi terlihat, karena latte karamel di hadapanku sudah tidak lagi panas. Aku kembali meneguknya untuk membasahkan kerongkongan sembari melihat ke arah luar jendela bosan.

Lagi-lagi aku melihat ke arah jam dan waktu terasa lama bila ditunggu seperti ini. Niat menunggu lima belas menit lagi pun ku urungkan karena aku sudah terlanjur bosan dan mati gaya di kafe ini sendirian. Setelah latte itu berhasil ku habiskan, aku segera bangkit dari duduk.

Baru saja ingin mengangkat bokong dari kursi, sepasang tangan menghentikan dengan menggengam kedua lenganku. "Mau kemana?" tanyanya.

Aku terdiam, menghembuskan napas sebal dan memutar bola mata jengah. "Aku hampir lumutan nunggu kamu di sini."

"Tapi belum kan? Ayo duduk lagi," ia memposisikan tubuhku untuk kembali duduk di kursi. Kemudian Dimas menarik kursi dihadapanku dan duduk di sana.

Ia melirik ke arah cangkirku yang sudah mulai kosong. "Maaf ya kelamaan," tanpa bertanya aku menunggu berapa lama, ia langsung menyimpulkan kata-kata untuk diucapkan.

Aku hanya diam karena malas meladeni. Kemudian aku memilih untuk menopang dagu dengan tangan sebelah kanan, mood-ku untuk mengobrol menguap begitu saja karena sudah lama menunggu.

"Aku tadi harus ada yang diurus di kantor, El. Biasa, ada proyek baru dan aku yang jadi leader-nya lagi." Jelasnya tanpa ku tanya.

"Ya emang kamu doang, aku juga sibuk." celetukku sebal.

Dimas menatapku, alisnya bertaut. "Loh, El? Biasanya juga selalu aku yang sampe duluan kan? Kamu nunggu sebentar aja udah bawel."

"Sebentar? Aku nunggu kamu 40 menit di sini. Aku ninggalin kantor lebih awal padahal masih ada kerjaan biar bisa ketemu dan ngobrol sama kamu. Masih ada yang harus aku kerjain lagi di rumah nanti. Dan duduk nunggu kamu di sini lebih dari setengah jam itu buang-buang waktu produktif aku."

"Aku yang selama ini nunggu kamu kalo kita ketemuan,"

"Tapi ga selama aku."

"Ayolah, aku kan ada urusan mendadak tadi. Kalo ga ada juga aku pasti ya on time kaya biasa. Kamu beruntung aja hari ini dateng lebih dulu karena aku ada kendala, jadi kamu bisa mempermasalahkan hal ini."

Dahiku berkerut, tiba-tiba saja dadaku terasa panas mendengar ucapan Dimas. "Beruntung? beruntung ninggalin kerjaan demi cowo yang ga pernah respect sama aku? Gitu?"

Rahang Dimas tampak mengeras. Ia menatapku tajam. "Laura, aku lagi cape dan gamau marah. Lebih baik kamu diem." Sangsinya.

Aku menatapnya selama beberapa detik, kemudian memilih menghembuskan napas sebal sembari menyandarkan tubuh di kursi. Tiba-tiba saja aku terpikirkan akan kata-kata Athena tentang tahu belum tentu kenal, bahkan kenal pun belum tentu cocok. Aku jadi dilema. Terlebih lagi kami berdua sudah jarang berkomunikasi selama dua bulan karena Dimas sibuk. Kami hanya berkomunikasi melalui chatting. Dan sekalinya bertemu, bukan memunculkan momen manis justru malah sebaliknya.

Dimas memesan kopi hitam dengan croissant isi. Ia menatapku yang masih bungkam dan enggan berbicara.

"El, jangan marah dong. Yaudah iya aku minta maaf karena udah ngebiarin kamu nunggu. Tapi kan aku emang lagi sibuk."

Aku meliriknya sebal. "Gausah minta maaf kalo ga beneran menyesal."

Dimas mendecak, mengusap wajahnya frustasi. "Aku cape banget, El. Please,"

Ku hembuskan napas sebal. Memejamkan mata untuk menghilangkan amarah. "Pesenin aku matcha latte yang dingin, tanpa whipped cream."

Dimas memandangku selama beberapa detik, seakan mengerti bahwa ini adalah sebuah perintah, ia langsung bangkit dari duduk dan menuju meja pemesanan.

Tidak lama kemudian ia kembali datang dengan matcha latte pesananku. Ia meletakannya di atas meja. "Spesial untuk Nona Laura," ujarnya diakhiri dengan senyum manis.

Ku raih minuman dalam gelas plastik bening. Menyedot cairan dengan rasa teh dan campuran susu itu hingga seperempat penuh.

"Kamu tau, aku lagi ngerjain proyek untuk taman kota di daerah Bogor." Terdapat jeda dalam kalimatnya. "Uangnya gede banget." lanjut Dimas.

Ku anggukan kepala, "Selamat." Jawabku masih dengan rasa sedikit kesal.

"Masih marah? Ayolah, Laura. It's not a big deal," alisnya bertaut.

"Engga kok." balasku dengan senyum tipis yang sudah pasti terlihat terpaksa.

"Kalo liat ini, masih marah ngga?" Ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna rosegold sebesar asbak di atas meja. Menyodorkannya agar lebih dekat padaku.

"Apa nih?" tanyaku sembari menaikan sebelah alis, dan menyentuh kotak itu.

"Buka dong," ujarnya persuasif.

Ku buka kotak tersebut pelan-pelan dan sebuah gelang langsung memancarkan sinar ke mataku. Gelang emas kuning dengan hiasan mawar mengelilinginya.

Hatiku rasanya ingin menjerit kesenangan karena gelang dengan model seperti ini baru pertama kali ku lihat dan ini sangat amat cantik. Aku sangat suka dengan bunga mawar, dan sepertinya Dimas tahu akan hal ini.

"Aku custom, artinya cuma kamu yang punya di dunia ini."

Ku alihkan pandangan ke Dimas, "ahh, emang paling bisa." Pujiku sembari tersenyum lebar karena terlalu senang.

Dimas meraih gelang itu keluar dari kotaknya. Kemudian menarik tangan kananku yang kosong tanpa satu aksesoris pun. Ia memasangkan gelang itu. Dan hasilnya membuat tanganku terlihat sangat amat cantik.

"Makasih."

"Jangan marah lagi ya,"

Ku anggukan kepala.

Terserah mau dibilang murahan karena mudah memberi maaf hanya dengan sogokan gelang. I mean, who doesn't love roses and bracelet? He combine two of them. Ini adalah ide brilian paling manis yang pernah aku dapat dari seorang pria. Sungguh, tidak ada yang pernah memberikan ku hadiah sesering Dimas. Dan tidak pernah ada yang memiliki ide untuk membuatkan hal spesial untukku selain Dimas.

continued

An: Hai, semuanya.
Maaf udh lama ga nulis dan cuma bawa part pendek kaya gini. im really working on it. Berusaha mengumpulkan mood dan ide supaya bisa lanjut:( semoga kalian suka.

Jangan lupa vote dan komen.
Foto gelang dari Dimas ada ya di atas ☝🏻

Xo 💙

CelibateWhere stories live. Discover now