26. Mencoba Kembali

1.3K 132 0
                                    

Merasa harus bangkit dari keterpurukan, aku mulai memberanikan diri untuk keluar dari rumah setelah seminggu berada dalam suasana sama dan mengasihani diri dalam kamar. Seluruh orang di rumah menatap nanar ke arahku saat keluar kamar tadi dengan pakaian rapih bersiap untuk kembali kerja. Tatapan seperti itulah yang akan menjadi beban besar untuk hari-hari ke depan.

Mencoba untuk terus sadar dengan mendengarkan lagu-lagu yang diputar salah satu stasiun radio favorit, tetap saja terkadang membuat pandangan ke arah jalanan yang macet membawa pikiran tertarik kepada nasib yang sedang dijalani. Ku pejamkan mata seperkian detik saat lampu jalan berubah merah dan persneling sudah dalam keadaan netral. Menarik napas untuk memberikan rongga dada udara dan disalurkan ke kepala agar tidak terlalu suntuk.

Melihat gedung kantor yang tidak mengalami perubahan selama ku tinggal membuat sedikit gugup. Setelah izin untuk tidak masuk selama seminggu pada Maria dengan alasan keluar kota untuk pulang kampung karena saudara sakit, aku yakin pasti gosip mengenai gagalnya pernikahanku sudah terdengar ke seluruh penjuru kantor. Alasan seperti apapun itu sudah tidak ada arti karena undangan pun sudah disebar untuk beberapa anak kantor dan sudah ku bilang juga kepada salah satu dari mereka bahwa pernikahanku gagal. I know, iam so though.

Setelah keluar dari parkiran aku langsung memasuki gedung. Melangkah menuju lift untuk ke kantor. Dan saat menunggu lift, beberapa mata tampak melirik ke arahku beberapa kali dengan pandangan tidak enak. Here we go, Laura dengan virus mematikan sudah sangat siap mendapat pandangan aneh dari seluruh kantor.

Begitu pintu lift terbuka, aku segera masuk. Berbalik arah dan menatap ke arah kerumunan yang juga ingin masuk ke dalam lift. Seperti yang sudah dibayangkan, mereka memberiku tatapan aneh nanar yang memberikan sorot kasihan. Tidak perlu menduga lagi, ini sudah sangat akurat bahwa selama aku tidak masuk kantor seluruh manusia di sini membicarakan Laura yang terkena virus paling mematikan, yaitu gagal nikah.

Begitu lift terbuka dan lantai kantorku terlihat. Tanpa ragu ku langkahkan kaki keluar lift. Berjalan seolah-olah tidak ada hal yang ku tutupi, tidak ada kesedihan, tidak ada masalah kecuali urusan kantor, and look like having that bad bitch energy. Walaupun secara psikologis justru kebalikan dari semua.

Maria yang baru keluar dari ruangannya melihatku dengan mulut yang sedikit terbuka. Kacamata cat eye keluaran Dior itu ia turunkan. Menatap Laura dengan mata telanjang dari ujung kaki sampai bawah, memastikan bahwa apa yang ia lihat sekarang adalah aku.

"Like what i said, a week." Ujarku sembari tersenyum lebar. Entah terlihat aneh atau tidak, aku sudah mencoba berakting sebaik mungkin.

Ia langsung mendekat dan memelukku. Tiba-tiba saja suasana sassy yang sudah ku bangun setiba di gedung luntur begitu Maria memelukku. Mata terasa memanas kembali. Walaupun aku tidak memberitahunya soal gagal nikah, tapi gosip satu kantor pasti sudah memenuhi rongga telinga Maria selama seminggu belakangan.

"I know it's personal and i already know about it. I am sorry." Bisiknya.

Airmata menggenang di pelupuk mata, siap tumpah kapan saja. Namun aku mencoba untuk menahan tangis karena ku rasa sudah saatnya aku berhenti mengasihani diri sendiri dan mulai tegar karena sekarang orang-orang sekitar yang akan mengasihani. Jika aku mengikuti kemauan hati untuk terus terpuruk, maka tidak akan ada perubahan.

"Iam good right now." Ujarku mencoba untuk mengubah cara pandang Maria pada keadaan sekarang.

Ia melepaskan pelukannya. Tersenyum sembari menggengam dua sisi pundakku. "Udah siap sibuk lagi?" candanya.

"Itu yang saya nanti." Jawaban penuh percaya diri dariku membuatnya tertawa kecil.

"It's obviously his lost." Senyum lembut dari Maria yang jarang ku lihat bagaikan sengatan listrik yang menghantarkan rasa percaya diri. Pandangan iba sedetik lalu hilang tergantikan oleh tatapan bangga yang membuatku kewalahan menerima pandangannya.

"Kerjasama dengan pihak JFW sempet ada kendala saat kamu pergi, coba urus ya."

"Siap, Bu."

"Akhir tahun kita mau keluarin jaket. Well, udah sisa dua minggu lagi sih sebelum event launching jadi jangan lupa siapin media kit dan undangan untuk media. Kalo kesulitan, kita hire anak magang kemarin selama kamu ga masuk, minta bantuan dia aja. By the way, Influencers awards gimana? Selama kamu ga masuk saya lupa minta anak magang untuk follow up mengenai yang satu itu."

Astaga, aku hampir lupa dengan event yang satu itu. Sudah sekitaran seminggu lebih juga aku tidak  follow up event itu.

"Nanti akan saya segera kabarkan, Bu." Karena terlalu banyak yang harus dikerjakan aku mencatat seluruh ucapannya di memo ponsel. Biasanya jika kerjaan datang mendadak seperti ini akan ku catat di memo ponsel lalu ku salin di buku dan post it.

Maria mengucapkannya sembari berlalu, jadi aku mengikutinya dari belakang sembari mencatat. Langkahnya terhenti begitu tiba di depan ruanganku. Kemudian ia membalikan badan dalam sekali putaran. "Jangan lupa untuk teliti." Sembari menepuk pundakku pelan.

Aku menatapnya dengan tatapan yakin kemudian sudut bibir tertarik untuk tersenyum. "Yes, Mam." jawabku sembari meletakan satu tangan di depan dada dan menundukan kepala saat mengucapkannya.

Maria tertawa, memasang kembali kacamatanya dan berlalu. Suara hak 7cm itu terdengar walaupun tubuh wanita itu sudah tidak terlihat setelah berbelok menuju arah lift.

Ku putar posisi tubuh ke sebelah kanan. Melihat pintu kaca yang menjadi pintu ruangan pribadiku menimbulkan rasa rindu menggelitik. Ku genggam knop pintu dan mendorongnya. Aroma pembersih lantai langsung tercium begitu pintu terbuka. Selama aku menempati ruangan ini, aromanya akan sama dengan parfum yang ku tinggalkan di atas meja. Ku langkahkan kaki menuju meja kerja. Semua masih rapih seperti terakhir kali ku tinggal. Dokumen di atas meja juga masih berada diposisi sama. Post it yang ku tempel di monitor masih menempel sempurna. Aneh, padahal hanya seminggu tapi rasanya aku sangat merindukan ruanganku ini. Salah-salah bukan ruangan, tapi pekerjaan. Rasanya tidak sabar untuk sibuk lagi hingga kembali lupa untuk mengurusi percintaan. Semoga kesibukanku nanti bisa membuatku benar-benar lupa dengan semua rasa sakit yang telah ku alami.

Continued

CelibateWhere stories live. Discover now