21. Memaafkan

1.4K 160 8
                                    

"Ini," aku meletakan map cokelat di atas meja Athena.

"Udah di-approve semua?" tanyanya sembari membuka map cokelat.

"Udah. Terus laporan dari masyarakat sendiri gimana?" aku meraih bangku di hadapan Athena dan mendaratkan bokong di sana.

Athena menghela napas. "Hampir semua ga setuju." Satu kalimat yang cukup menggambarkan konflik untuk kami.

"Tapi ada yang setuju?"

"Sedikit. Kaya 20% dari 80%."

"Kalo gitu jangan berharap semua setuju sama pembangunan ini. Kita butuh penukaran persentase aja. Kita buat yang setuju jadi 80% dan yang engga jadi 20%."

"Caranya? Mereka ga setuju karena limbah pabrik yang pasti mencemari lingkungan warga. Dan lo tau, limbah itu bukan hal mudah yang bisa ditangani karena akan terus-terusan berproduksi selama pabrik jalan terus." jelas Athena.

"Lho, bukannya perusahaan benang wol limbahnya organik?"

"Iya emang. Tapi susah kasih penjelasan ke masyarakatnya."

Aku mendecak, "come on, udah berapa lama jadi PR? Masa iya pendekatan ke masyarakat aja dipusingin sih?"

Athena tersenyum simpul. "Nanganin kasus hotel yang gitu-gitu aja beda urusan ya sama nanganin kasus pabrik kaya gini. But yeah, i'll try my best. Besok gue akan omongin sama pihak perusahaan untuk turun ke lapangan bareng."

"Good then,"

Drttt...drtt...

Alarm ponselku menyala. Sudah pukul dua siang, aku ada janji bertemu WO untuk mengurus pernikahan.

Karena Dimas dan aku sama-sama tahu kalau kita sibuk, jadi memang jasa WO adalah pilihan utama kami untuk mengurus resepsi dan akad. Orangtuanya dan orangtuaku pun tidak keberatan jika kita berdua tidak mengurus langsung acaranya.

"Uhm, Then. Gue harus pergi dulu ya, ada janji."

"Sama siapa?"

"WO."

Sontak mata Athena membesar, "buat lo?" hanya itu yang keluar dari mulutnya.

"Iyalah."

"Sama Dimas?" lagi-lagi dua kata.

Ku anggukan kepala sebagai jawaban dan mulai bangkit dari duduk. Kemudian tanpa ingin mendengar pertanyaan Athena lagi, aku memilih untuk melangkah menuju pintu.

"Hubungin gue aja soal perkembangannya ya." Tepat setelah mengucapkan kalimat ini, aku keluar ruangan. Menuruni tangga dan melangkah ke arah parkiran kecil kantor milik Athena.

Setelah tiba di dalam mobil dan menghidupkan mesin, aku langsung tancap gas menuju salah satu kafe untuk bertemu dengan si WO.

Sekitar 45 menit di jalan, akhirnya mobilku berhasil parkir persis depan kafe. Sebelum turun aku mencoba menghubungi Dimas lebih dahulu.

Panggilan pertama yang tidak membuahkan hasil membawaku melakukan panggilan kedua. Rupanya masih sama, Dimas tidak mengangkat. Tiba-tiba saja aku terpikirkan jika ia mungkin sedang bersama klien atau meeting penting. Oleh sebab itu aku mengiriminya pesan singkat alias SMS.

For: Dimas
Dim, aku udah sampe di kafe, kamu dimana? Cepet kesini.

Send.

Aku menunggu di dalam mobil selama 10 menit untuk mendapatkan balasan SMS, namun rupanya ia tetap tidak membalas. Hal ini membuatku gusar. Sebenarnya aku bukan tipe perempuan yang suka men-spm chat atau pesan singkat lainnya, namun kali ini jari-jariku terasa gemas untuk mengetik.

CelibateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang